Skip to content

10 Nasihat Imam Al-Ghazali Untuk Para Penguasa

Imam Al-Ghazali yang masyhur di bidang tasawuf ternyata memiliki pandangan tentang politik. Berikut 10 nasihat sang imam untuk para penguasa.

FOTO Manuskrip Al-Ihya’ karangan Imam Al-Ghazali
FOTO Manuskrip Al-Ihya’ karangan Imam Al-Ghazali

Sosok Imam Al-Ghazali yang kita kenal sebagai imam Ahlussunnah di bidang Akidah dan Tasawuf, ternyata memiliki pandangan tentang politik. Lebih tepatnya etika berpolitik para pemimpin yang tertuang dalam kitab At-Tibr Al-Masbuk fi Nashihat Al-Muluk. Kitab ini pada mulanya adalah nasehat untuk Malik Syah Dinasti Seljuk yang berbahasa Persia. Yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Arab oleh salah satu muridnya. Pandangan politik itu juga lahir dari kekacauan politik di masa hidup Imam Al-Ghazali. Isi dalam kitab ini juga sebagian dijelaskan dalam Al-Ihya’ dan Al-Iqtishad Fi Al-I’tiqad.

Politik dalam istilah Imam Al-Ghazali disebut al-wilayah (semacam mandat kekuasaan) yang Allah berikan pada manusia. Sehingga itu mandat bersifat teologis yang Imam Al-Ghazali ibaratkan seperti pohon iman (syajarat al-iman) yang berbasis Haq Al-Adami (hubungan sesama manusia). Maka dasar pemikiran politik Imam Al-Ghazali adalah mengedepankan maslahah ammah, ketaatan penuh pada pemerintah, dan menjauhi pemberontakan pada pemerintah yang sah. Posisi penguasa adalah persis berada di bawah Nabi sebab agama dan politik bagi Imam Al-Ghazali adalah saudara kandung dari satu ibu.

Berikut rangkuman sepuluh nasehat menarik Imam Al-Ghazali agar penguasa bisa bersifat adil:

1)     Mempunyai Landasan Iman yang Kuat

Memahami betul urgensitas kekuasaan (Al-Wilayah) yang dalam Islam itu bersifat sakral serta menyangkut harga mati iman. Pemimpin yang bisa menjalankan sebaik-baiknya, ia akan mendapatkan kebahagiaan yang abadi. Sebaliknya, kesengsaraan akan menanti pemimpin yang lalai bahkan sengaja menyelewengkan mandat tersebut. Tentang sakralitas ini, sebagaimana sabda Nabi, “Adilnya seorang pemimpin satu hari itu lebih dicintai di sisi Allah dari ibadah yang dilakukan selama tujuh puluh tahun”. Kemudian sabda Nabi, “Orang yang paling dicintai Allah dan yang paling dekat pada-Nya adalah pemimpin yang adil. Sedang orang yang paling dibenci di sisi Allah dan yang paling jauh dari-Nya adalah pemimpin yang zalim”.

Hadits yang lain, “Wahai para pemimpin Quraisy, berbuatlah pada rakyatmu dan pengikutmu dengan tiga perkara: jika mereka memohon kasih sayang, sayangilah mereka. Jika kalian memutuskan perkara, berbuat adil-lah untuk mereka. Bertindaklah konsisten dengan apa yang kalian ucapkan. Barang siapa (pemimpin) yang tidak berlandaskan hal ini, maka ia akan mendapatkan laknat Allah dan para malaikat-Nya, serta Allah tidak akan menerima ibadah wajib maupun sunnahnya (pemimpin) itu”. Berdasar hadits-hadits di atas, tidak ada nikmat yang paling agung menurut Imam Al-Ghazali dari nikmat amanah menjadi pemimpin. Sebaliknya, pemimpin yang tak memiliki dasar keyakinan (iman) ini, lalu terus menerus sewenang-wenang, bisa jadi Allah akan menjadikannya termasuk dari musuh-Nya.

2)     Selalu Dekat Dengan Ulama

Seorang pemimpin seyogianya memiliki kerinduan untuk selalu melihat para ulama dan mendengar nasehat-nasehatnya. Juga menurut Imam Al-Ghazali, ia harus hati-hati pada ulama as-su’ yang tujuannya hanya dunia semata. Sebab mereka (ulama as-su’) akan terus mendekati, memuji, dan mencari muka dihadapannya, agar mendapatkan keuntungan-keuntungan duniawi. Sebaliknya, ulama hakiki ialah orang yang tidak menginginkan apa-apa dari pemimpin tersebut: baik harta, jabatan hingga pujian. Ia selalu adil dalam nasehat dan tutur katanya.

3)     Tidak Kompromi Pada Kezaliman

Pemimpin tidak hanya tegas pada dirinya untuk menindak kezaliman, menurut Imam Al-Ghazali ia juga harus tegas pada bawahan-bawahannya, bahkan keluarganya sendiri. Ia harus mendidik anak-anaknya, kawan karibnya, menteri hingga buruhnya untuk menjauhi kezaliman. Sebab dosa saat mereka berbuat zalim akan juga ditanggung oleh pemimpin itu. Dalam kitab Taurat disebutkan, “Setiap kezaliman para pekerja yang diketahui oleh pemimpinnya, lalu ia (pemimpin) hanya mendiamkannya—atau bahkan kompromi, maka kezaliman itu akan dinisbatkan pada sang pemimpin itu. Ia akan disiksa akibat tindakan kompromi tersebut.

Bahasa Arab

Kumpulan tulisan terkait bahasa Arab dan khazanah gramatikalnya bisa teman-teman temukan

di sini

4)     Menjauhi Sifat Sombong

Banyak seorang pemimpin yang sombong dan angkuh. Sifat ini menurut Imam Al-Ghazali rentan membawanya untuk mudah marah yang berujung pada dendam. Sedang sifat marah sejatinya adalah momok dan penyakit bagi akal waras manusia. Hal itu dijelaskan oleh Imam Al-Ghazali dalam Al-Ihya’ bab Rubu’ Al-Muhlikat. Jika sedang marah, hendaknya seseorang bersegera untuk menahan diri, dan membiasakan diri untuk bersikap tenang dan lemah lembut. Sifat-sifat tersebutlah suri teladan dari para nabi dan waliyullah. Akan tetapi jika ia terbiasa membiarkan amarahnya terus menerus, maka ia akan menyerupai binatang.

5)     Selalu di Pihak Rakyat

Apapun masalah yang menimpa seorang pemimpin, menurut Imam Al-Ghazali, ia harus memosisikan diri sebagai bagian dari rakyat. Hal apapun yang ia tidak rela menimpa pada dirinya, ia juga harus tidak rela hal itu menimpa umat Islam. Namun apabila ia rela pada sesuatu yang menimpa masyarakat, padahal ia tidak mau hal itu menimpa dirinya maka ia telah berhianat pada rakyatnya dan mandat kekuasaannya.

6)     Melayani Rakyat Sepenuh Hati

Seorang pemimpin seyogianya tidak ‘gengsi’ alih-alih meremehkan orang-orang yang ingin menemuinya untuk kebutuhan tertentu. Ia tidak boleh ‘gengsi’ walau hanya menunggui dan menyambut permintaan-permintaan rakyat yang membutuhkan (fakir-miskin) di depan pintu rumahnya. Bahkan menurut Imam Al-Ghazali memenuhi kebutuhan mereka lebih utama dari beribadah sunnah

7)     Tidak Hidup Glamor

Seorang pemimpin menurut Imam Al-Ghazali, seyogyanya tidak hidup glamor, bermewah-mewahan. Itu adalah tradisi buruk para penguasa yang perlu ditinggalkan seperti: memakai pakaian mewah yang dibanggakan, pesta pora makan minum dan sebagainya. Pemimpin sejati harusnya bersifat Qan’aah: menerima segala sesuatu. Sebab tidak ada keadilan tanpa sifat Qana’ah.

8)     Memprioritaskan Sifat Lemah Lembut

Jika suatu hal bisa disikapi secara lemah lembut, maka hal itu lebih utama dilakukan seorang pemimpin daripada bersikap keras. Sebab Nabi bersabda: “Setiap pemimpin yang tidak bersikap lemah lembut pada rakyatnya, Allah tidak akan bersikap lemah lembut padanya pada hari kiamat kelak.” Suatu ketika, Nabi juga berdoa, “Ya Allah bersikap lemah lembutlah pada setiap pemimpin yang lemah lembut pada rakyatnya. Dan bersikap keraslah pada setiap pemimpin yang keras pada rakyatnya.”

9)     Menjadi Pemimpin yang Dicintai Rakyatnya

Seorang pemimpin sebisa mungkin harus benar-benar dicintai oleh rakyatnya, selama tidak menuntutnya untuk melanggar syariat. Nabi bersabda pada para sahabatnya, “Sebaik-baiknya umatku, adalah mereka yang mencintai kalian, dan kalian mencintai mereka. Seburuk-buruknya umatku, ialah mereka yang membenci kalian dan kalian membenci mereka, mereka melaknat kalian dan kalian melaknat mereka.”

10)   Menjauhi Pragmatisme (Machiavellian)

Jangan sampai seorang pemimpin hanya karena ingin mendapatkan kekuasaan dan dukungan rakyatnya, ia menghalalkan segala cara—ala Machiavelli. Lebih-lebih dengan cara-cara yang melanggar syariat. Sayidina Umar bin Al-Khaththab RA suatu ketika berkata, “Sungguh aku menjadi (pemimpin) di saat separuh makhluk tengah murka padaku. Dan seseorang yang kebenaran diambil darinya, seharusnya ia murka. Tidak mungkin seseorang itu bisa memuaskan dua belah pihak (yang sedang bermusuhan). Kebanyakan kebodohan yang menimpa manusia, adalah ketika seseorang yang berani meninggalkan ridha Tuhan hanya demi menggapai rida makhluknya.” Wallau A’lam.


💡
Baca juga artikel lain di rubrik MOZAIK atau tulisan menarik Lukman Hakim Rohim

Latest