3 Tips Agar Terhindar dari Salah-Tafsir Hadits-Hadits Fitnah Akhir Zaman

Di zaman sekarang, banyak orang melakukan tafsir yang serampangan pada hadits-hadits tentang fitnah akhir zaman. Mereka dengan mudahnya melakukan cocoklogi makna hadits dengan kejadian tertentu. Padahal jika di check and re-check makna hadits tersebut tidak sesuai, atau bahkan hadits tersebut belum benar-benar teruji kesahihannya. Jelas, menafsirkan hadits semaunya merupakan tindakan yang berbahaya yang dapat merusak ajaran agama Islam.

Dr. Nadi Abdullah Muhammad, salah satu dosen hadits di Fakultas Dirasat Islamiyah Universitas Al-Azhar Kairo, memberikan tiga tips untuk menghidari problematika salah tafsir sebuah hadits, khususnya hadits fitnah akhir zaman. Dalam tulisannya di Majalah Al-Azhar yang berjudul, At-Ta’wilat Al-Khati’ah Li Ahadits Al-Fitan wa Al-Malahim wa Dhararuha 'ala Al-Ummah, beliau menjelaskan bahwa problematika cocoklogi hadits ini sudah terjadi sejak zaman dinasti Islam, di mana mereka (para penguasa) menafsirkan hadits-hadits yang memberitakan hal gaib sesuai dengan kepentingan politis dan pragmatis mereka. Begitu pula zaman kita, sering kali terjadi kesalahan-penafsiran alias cocoklogi pada hadits-hadits tentang fitnah, mimpi, tanda-tanda kiamat yang kerap menyesatkan pemahaman umat akan ajaran Islam. Berikut tiga tips agar terhindar dari salah tafsir:

I. Memastikan apakah teks (nash) tersebut benar sahih atau tidak

Langkah pertama yang perlu kita lakukan ketika mendengar atau membaca sebuah hadits tentang fitnah atau kiamat, terlebih dahulu kita memastikan sumbernya dari mana. Kemudian, kita lihat apakah hadits tersebut memenuhi syarat Al-Qabul (diterima sebagai hadits sahih) seperti tersambungnya sanad, perawinya adil, Dhabith, dan tidak ada Illat maupun Syadz di dalam matannya. Setelah kita menemui hadits tersebut telah memenuhi syarat sahih, baru kemudian kita boleh menjadikannya sebagai dasar hukum. Sebagaimana dijelaskan dalam Ulumul Hadits bahwa status hadits sahih adalah boleh dijadikan argumentasi hukum.

Sebaliknya, jika kita menemui hadits tersebut tidak memenuhi syarat-syarat hadits sahih, maka kita seketika tidak bisa mengambil atau menjadikan hadits tersebut sebagai dasar hukum. Dalam kitab Dzamm At-Ta’wilat Ibnu Qudamah berkata, “Adapun hadits-hadits palsu yang dibuat ahli Zindiq agar mereka dapat membuat ragu keyakinan muslim, atau hadits-hadits daif yang disebabkan lemahnya perawi, atau ketidaktahuan mereka, atau karena illat tertentu, maka dua model hadits ini tidak boleh diucapkan (sebagai dalil), tidak pula diyakini isinya, akan tetapi keberadaannya sama dengan tiadanya.”

Bahasa Arab

Kumpulan tulisan terkait bahasa Arab dan khazanah ilmunya bisa teman-teman temukan

di sini

II. Kita perlu memahami hadits-hadits fitnah berdasarkan makna etimologis bahasa Arab yang benar dan pemaknaan ulama salaf.

Langkah kedua setelah kita melakukan verifikasi teks hadits secara dirayah, adalah memahami betul makna objektif yang dibawa oleh hadits tersebut. Makna objektif tersebut dapat digali dengan memahami maksud hadits berdasarkan makna tekstual yang tersurat terlebih dahulu. Hal itu dilakukan dengan merujuk kepada kamus-kamus bahasa Arab, tatanan gramatikal dalam ilmu nahwu maupun sharaf. Terakhir kita juga perlu membaca bagaimana ulama salaf mengomentari hadits tersebut dalam syarah mereka.

Sebaliknya, menurut Dr. Nadi, kita tidak boleh terburu-buru mencari konteks—alih-alih cocoklogi—pemahaman suatu hadits pada kejadian tertentu di masa sekarang. Sebab hal itu akan memaksa teks untuk keluar dari makna objektifnya baik secara etimologi maupun terminologi. Sebagaimana fenomena salah pahamnya sebagian orang awam pada hadits tentang tanda-tanda kiamat: kerusakan umat Islam, turunnya Al-Mahdi dsb, yang membuat mereka memilih bersikap pasrah saja menghadapi zaman. Mereka mengatakan percuma hari ini beramal, kita hanya perlu menunggu kedatangan Al-Mahdi dan Nabi Isa saja hingga umat Islam menang. Model pemahaman ini terjadi karena kesalahpahaman dan salah tafsir pada hadits-hadits tentang kiamat.

III. Merujuk kepada ahli dan pakar ilmu hadits, serta tidak tergesa-gesa dalam mengontekskan (tanzil) makna dalam suatu hadits pada kejadian tertentu.

Langkah ketiga adalah langkah yang paling praktis dalam kehidupan kita dan mudah untuk diimplementasikan. Yaitu lebih baik bertanya dan merujuk kepada pendapat para ulama yang pakar di bidang hadits-hadits tersebut. Sikap Nderek Dawuh Ulama’ adalah salah satu perintah Allah di dalam Surah An-Nahl ayat 43, “Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai ilmu jika kamu tidak mengetahui”. Yaitu, mereka yang sudah lama mempelajari, menggeluti bidang ilmu hadits dan pakar di dalamnya. Langkah ini jauh lebih menyelamatkan umat Islam daripada sikap terburu-buru memaknai atau mengklaim ini dan itu ketika membaca hadits-hadits fitnah akhir zaman.

Dr. Nadi Abdullah Muhammad memungkasi tulisannya, “Sesungguhnya hadits-hadits tentang fitnah, tanda-tanda kiamat, dan mimpi membawa kabar tertentu, tidak boleh bagi kita untuk menafsirkan dan mengambil argumentasi darinya dengan tanpa ilmu, penelitian (dirayah), dan merujuk kepada pakar di bidang hadits tersebut... begitu pula tidak boleh menggeneralisasi maknanya, dan cocoklogi pada satu kejadian tertentu dengan tanpa mendasarkan pada dasar-dasar syariat. Karena cara penafsiran yang serampangan tersebut... justru akan mendorong orang-orang untuk fatalistik pada hal-hal gaib, bahkan menumpulkan potensi dan daya ilmiah serta kreativitas umat sehingga berakhir pada kep utusasaan.”


💡
Baca juga artikel lain di rubrik MOZAIK atau tulisan menarik Lukman Hakim Rohim