Skip to content

Abdulqahir al-Jurjani, Sang Pelopor Paramasastra Arab

Riwayat hidup pelopor ilmu Balaghah. Sahib kitab Dalail al-I'jaz asal kota Jurjan.

Photo by Boudewijn Huysmans / Unsplash

Di kota Jurjan, lahir seorang anak dari keluarga biasa yang kelak menjadi ulama besar, masyhur, dan terkemuka. Karya-karyanya menjadi sumber rujukan, banyak menjadi objek kajian para cendekiawan dan para sarjana Islam. Dia adalah Abu Bakar Abdulqahir Al-Jurjani. Abdulqahir dikenal sebagai pelopor (mu'assis) sekaligus pencetus (wadhi’) ilmu Balaghah. Ia yang lahir di salah satu kota Iran ini berasal dari keturunan Persia. Para pakar sejarah lantas tidak menuliskan tahun kelahirannya. Hal itu memunculkan sebuah apriori bahwa keluarganya bukanlah dari keturunan bangsawan. Selain itu keluarga Abdulqahir bukanlah kalangan yang cukup terpandang, bahkan tidak mempunyai kedudukan yang krusial di wilayah Jurjan.

Biografi Pelopor Paramasastra (Balaghah)

Ia terlahir dari keluarga yang sederhana. Keluarganya berkehidupan sebagaimana mayoritas masyarakat Jurjan pada waktu itu, hanya cukup untuk makan sehari-hari saja. Bahkan keluarga Abdulqahir terbilang sebagai golongan yang miskin. Sebab itulah yang menjadikan ia tidak pernah keluar dari Jurjan untuk menimba ilmu kepada para pembesar ulama dan tokoh-tokoh cendekiawan Muslim di masanya. Ia hanya belajar kepada guru-guru besar yang bermukim di kota Jurjan.

Sejarawan mencatat bahwa Abdulqahir belajar kepada Abu Al-Husein Muhammad bin Al-Hasan bin Abdul Warits Al-Farisi An-Nahwi dan Abu Al-Hasan Ali bin Abdul Aziz Al-Jurjani (terkhusus nama terakhir sebagian sejarawan masih meragukan pertemuan mereka berdua). Di bawah bimbingan Abu Al-Husein, Abdulqahir mengaji, memahami dan mendalami ilmu-ilmu gramatika Arab.

Sosok Abu Al-Husein merupakan murid dari Abu Ali Al-Farisi, seorang pakar bahasa, sang penulis kitab Al-Idhah dalam ilmu Nahwu. Terdapat dugaan dan indikasi yang kuat bahwa Abu Al-Husein mengajarkan kitab Abu Ali Al-Farisi tersebut kepada murid-muridnya. Sehingga hal itu membuat Abdulqahir terpengaruh dan memberikan perhatian serius terhadap mahakarya Abu Ali Al-Farisi tersebut. Sampai di sini Abdulqahir lantas mensyarahkan kitab itu menjadi 30 jilid yang ia namai dengan al-Mughni. Selanjutnya ia meringkas kembali kitab tersebut menjadi 3 jilid yang dinamai dengan kitab Al-Muqtashid.

Sedangkan Abu Al-Hasan Al-Jurjani adalah seorang alim dan sosok sastrawan yang sangat berkompeten. Ia memiliki beberapa karya ilmiah, salah satunya AlWasathah baina AlMutanabbi wa Hushumihi. Bahkan, Al-Yaqut salah seorang pakar sejarah menghadirkan data yang dapat dipertanggungjawabkan, bahwa Abdulqahir membaca sekaligus mengkaji kitab Al-Wasathah kepada Abu Al-Hasan secara tatap muka dan komprehensif (talaqqi mubasyaratan). Lewat perantara ini Abduqahir meneguk samudera keilmuan Abu Al-Hasan.

Perempuan dalam Wacana Keislaman
Syekhul-Azhar Ahmad Ath-Thayyib menegaskan hak-hak perempuan melalui akun twitter resminya.

Terdapat komentar menarik yang dikemukakan oleh Dr. Ahmad Al-Badawi, ia meragukan ketersambungan keilmuan antara Abdulqahir Al-Jurjani dan Abu Al-Hasan Al-Jurjani. Sebab Abu Al-Hasan wafat pada tahun 392 H. Sedangkan Abdulqahir wafat pada tahun 471 H. Secara tinjauan logis, jika Abdulqahir mengambil sanad ilmu dari Abu Al-Hasan, maka Abdulqahir sudah tentu terlahir sebelum Abu Al-Hasan wafat. Minimal di usia 15 tahun sebelum Abu Al-Hasanwafat. Sehingga ia mampu berguru dan menguasai keilmuan Abu Al-Hasan yang dikenal alim dan luas cakrawala berpikirnya itu. Dengan demikian Abdulqahir lahir pada tahun 377 H dan hidup selama 90 tahun.

Tetapi identifikasi para pakar sejarah lain tidak memberikan isyarat secara tegas batas usia sosok Abduqahir, sehingga Dr. Ahmad Al-Badawi mengingkari pertemuan Abdulqahir dengan Abu Al-Hasan. Di samping itu al-Badawi hanya mengamini bahwa Abdulqahir terpengaruh oleh Abu Al-Hasan dari karyanya saja. Tanpa pernah belajar secara langsung di hadapan Abu Al-Hasan Al-Jurjani.

Al-I'jaz sebagai Cikal Bakal Ilmu Balaghah

Di antara karya Abdulqahir yang fenomenal dan menjadi magnum opus adalah Dalāil Al-I’jāz dan Asrār Al-Balâghah. Jika ditarik ulur, sebelum mahakaryanya lahir, di masa Abdulqahir banyak persinggungan dan perdebatan mengenai problematika ketuhanan, Al-Quran berikut sisi i’jaz-nya. Problematika tersebut sering kali digaungkan dalam forum-forum debat yang justru menimbulkan syubhat-syubhat mengenai eksistensi dan substansi agama. Khususnya paradigma aspek i’jaz Al-Quran.

I’jaz Al-Quran mudahnya kita pahami sebagai tantangan Al-Quran kepada bangsa Arab—masa jahiliah yang terkenal dengan tingginya nilai-nilai kesusastraan, lebih spesifik lagi unsur paramasastra—untuk mendatangkan surat yang sepadan seperti halnya Al-Quran. Lantas para penyair berikut sastrawan di masa itu tidak mempunyai jawaban dan tidak mampu melakukannya, atau dengan kata lain mereka tidak bisa menjawab tantangan aspek keluhuran sastrawi Al-Quran—pada waktu itu—sebagai bukti konkret atas kelemahan atau ketidakmampuan mereka menghadirkan karya ataupun gaya bahasa yang sebanding (I’jaz).

Abdulqahir kemudian berusaha menjawab argumentasi-argumentasi yang keliru dan seputar syubhat i’jaz Al-Quran. Ia memfokuskan diri dan berkontemplasi penuh untuk menganalisa problematika Al-I’jaz. Atas kesadaran dan kegelisahannya itu, Abduqahir seolah tidak rela jika sisi i’jaz Al-Quran sebatas dakwaan saja yang tidak bisa dibuktikan secara ilmiah dan argumentasi komprehensif. Ia juga tidak mau hanya sekadar ‘membebek’ atau taklid buta tanpa bisa mempertanggungjawabkan pendapatnya.

Latar belakang itulah yang membuat Abdulqahir menulis buku yang berjudul Asrar Al-Balaghah dan Dalail Al-I’jaz. Kata “Dalail” merupakan bentuk jamak dari kata “Dalil” yang dalam bahasa Arab memiliki arti “yang memberi petunjuk” (Al-Mursyid). Berarti Dalail Al-I’jaz bermaksud sebagai perantara-perantara atau petunjuk-petunjuk agar bisa sampai pada hakikat i’jaz. Ia berharap agar i’jaz bisa dibuktikan secara ilmiah dan argumentatif.

Menurut Abdulqahir, kunci pembahasan dalam i’jaz adalah nadzm (susunan). Untuk mengetahui susunan Al-Quran, dibutuhkan dua komponen utama; pengetahuan bahasa Arab (kaidah-kaidah bahasa Arab) dan mengetahui syair-syair Arab berikut kritik sastranya. Sebab, menurut Abdulqahir ketidaktahuan terhadap ilmu bahasa (kaidah-kaidah bahasa/grammar) adalah titik kelemahan dan kekurangan yang mencegah seseorang sampai pada hakikat i’jaz. Sedangkan syair merupakan buah karya ensiklopedia orang Arab dan dalil bagi mereka akan penguasaan aspek paramasastra. Sedangkan Al-Quran diturunkan dengan menggunakan lisan atau gaya bahasa Arab yang jelas. Mengetahui syair, kritik, dan ranah tazawwuq-nya antara syair fulan dan fulan yang lain akan mampu menimbang-nimbang dan mengetahui perbedaan susunan (nadzm) syair si A dan si B. Oleh karena itu, kepedulian Abdulqahir terhadap ilmu syair Arab seperti halnya wasilah untuk mengetahui i’jaz Al-Quran.

Nyala Api Menara
Menara tidak hanya digunakan untuk mengumandangkan azan. Ada fungsi lain yang cukup menarik untuk ditilik.

Abdulqahir meninggalkan warisan kitab-kitab yang berharga besar bagi kebudayaan Islam. Prof. Dr. Ibrahim Al-Khuli, salah satu guru besar Universitas Al-Azhar, memujinya sebagai sosok cendekiawan Muslim yang ensiklopedis—sekalipun fan keilmuan yang sangat dikuasainya dalam aspek pramasastra Arab. Menurut Dr. Al-Khuli, Abdulqahir telah mengerahkan segala kemampuannya untuk menyingkap sisi i’jaz Al-Quran. Sampai-sampai seluruh masa hidupnya digunakan untuk menjawab syubhat-syubhat terkait i’jaz Al-Quran yang tertuang di dua mahakaryanya; Dalail Al-I’jaz dan Asrar Al-Blaghah. Dua karyanya itu menjadi sumbangsih besar bagi warisan khazanah intelektual Islam (At-Turats Al-‘Arabi Al-Islami). Melalui dua karyanya itu juga Abdulqahir Al-Jurjani menjadi sosok yang cukup dikenang oleh umat Islam hingga saat ini.


💡
Baca juga artikel menarik lain di rubrik BIOGRAFI atau tulisan Irfan Rifqi Fauzi

Latest