Amnesia Sejarah Perempuan

Untuk membuktikan kesalahan atas anggapan buruk perempuan muslimah, maka lihatlah kondisi dunia saat Islam datang. Bandingkan kondisi perempuan dalam masyarakat pra-Islam dengan kondisinya ketika Islam hadir pertama kali. Kira-kira dari premis seperti inilah, Syekh Ahmad Ath-Thayyib menekankan ceramahnya. Ia seolah mau mengatakan, bacalah sejarah. Membaca sejarah membuat kita mampu untuk melihat suatu persoalan dengan jernih.

Sejarah—entah baik atau buruk, merupakan mahakarya masa lalu. Kita tak bisa menutup mata dari mahakarya itu, dari kenyataan masa lalu, dari sejarah. Sejarah mempunyai kebijaksanaan. Logikanya begini, jika mahakaryanya baik, kita akan menjadikannya acuan. Namun jika ia buruk-kelam, maka sebisa mungkin kekelaman masa lalu tidak terulang. Saya rasa alasan ini bisa kita gunakan ketika melihat sejarah perempuan lewat poin-poin berikut.

1/ Kondisi perempuan dalam peradaban Babilonia (Hammurabi 1750 SM), diibaratkan seperti hewan peliharaan. Perempuan dianggap binatang jinak oleh suami atau keluarganya.

2/ Hal serupa terjadi dalam tradisi Manu, seorang istri harus dibunuh atas kematian suaminya, ia akan dibakar hidup-hidup bersama suami dalam satu tungku. Bahkan dalam pandangan mereka, perempuan lebih buruk dari bisa ular dan dari neraka.

3/ Kondisi yang sama dialami oleh perempuan di peradaban Yunani. Aristoteles menyatakan perempuan dan laki-laki seperti budak dan tuannya. Artinya posisi perempuan lebih rendah dari laki-laki. Secara alamiah, laki-laki memiliki sisi rasionalitas lebih tinggi dari perempuan. Konsekuensinya dalam kerja-kerja publik, perempuan dilarang berkontribusi di ruang politik dan militer. Karena bagi mereka, perempuan hanyalah mesin reproduksi.

4/ Demikian juga, pengalaman perempuan dalam peradaban Romawi. Perempuan dalam anggapan orang Romawi, berada sebagai pihak lemah. Orang-orang Romawi melabeli perempuan sebagai sumber dosa. Pelabelan ini didasarkan pada kisah Nabi Adam dan Siti Hawa.

5/ Pada 586 M, orang-orang Prancis menggelar konferensi mengenai perempuan. Mereka mendiskusikan apakah perempuan termasuk manusia atau bukan. Kesimpulan saat itu perempuan adalah manusia, namun ia diciptakan hanya untuk melayani kaum laki-laki.

6/ Satu-satunya peradaban yang memberi hak pada perempuan dengan hak yang hampir sama dengan hak laki-laki adalah peradaban Mesir kuno. Perempuan Mesir kuno diberikan hak milik dan hak waris.

7/ Undang-undang Inggris tahun 1805 M mengatakan kebolehan suami menjual istrinya, saat itu harganya tak lebih dari 60 shilling, senilai 6.357 rupiah.

8/ Abad 19 awal di Eropa, cara pandang terhadap perempuan masih sama. Perempuan masih dinomorduakan, dibatasi ruang geraknya, dan dilarang mempunyai hak milik. Bahkan untuk membela diri di hadapan hakim, seorang istri harus dapat persetujuan suaminya.

Pertanyaan yang muncul kemudian: bagaimana kondisi perempuan dalam masyarakat Arab? Pertanyaan ini adalah pijakan penting untuk membuktikan kesalahan atas anggapan buruk perempuan muslimah. Tanah Arab menjadi tempat lahir-tumbuh agama Islam.

Logikanya perempuan Arab pra-Islam pasti mengalami hal serupa dengan perempuan di peradaban lain, yaitu sama-sama mengalami diskriminasi. Akan tetapi, sejarawan mengatakan hal berbeda. Perempuan Arab mengalami diskriminasi namun ‘tidak separah’ mereka di negara dan budaya lain. Menurut sejarawan, penyebabnya ialah masyarakat Arab jahiliah memiliki muruah dan kecenderungan melindungi pihak lemah, termasuk melindungi perempuan dalam beberapa kondisi.

9/ Meskipun begitu, diskriminasi perempuan Arab tetap nyata. Masyarakat Arab melarang hak waris bagi perempuan karena hak waris hanya untuk mereka yang ikut berperang, sedangkan perempuan tidak. Perempuan justru diwariskan sebagaimana harta benda dan hewan peliharaan mereka.

Seorang laki-laki dalam masyarakat Arab boleh menikah dengan perempuan tanpa batasan jumlah. Sedangkan seorang perempuan tidak berhak untuk menentukan pasangannya. Tentunya tindakan semacam ini tak lepas dari tradisi penguburan bayi perempuan.

Perempuan

Kumpulan postingan tulisan yang menyoroti isu perempuan dalam pandangan Islam

di sini

Mengenai praktik penguburan bayi perempuan, sejarawan berbeda cara pandang. Pertama, praktik ini berlaku di seluruh suku Arab. Seorang suami akan berpikir dua kali ketika istrinya melahirkan bayi perempuan; apakah akan membiarkannya hidup atau menguburnya. Kedua, praktik penguburan bayi perempuan tidak merata di semua suku Arab. Praktik ini hanya berlaku bagi beberapa suku saja. Menariknya suku Quraisy (suku asal Nabi Muhammad SAW) tidak termasuk di dalamnya. Seolah mengindikasikan bahwa Islam tidak lahir dari penyampai risalah yang sukunya pernah melakukan praktik keji terhadap perempuan.

Di titik ini, kesimpulannya mengarah pada: perempuan mengalami diskriminasi dalam rentang waktu yang lama. Perempuan di belahan dunia mana pun, mengalami ketertindasan dan ketidakadilan. Dalam sejarah dunia, kondisi perempuan penuh dengan contoh serupa itu. Berderet fakta sejarah—yang hari ini mungkin tak masuk akal, telah membuktikannya. Semua hal tentang perempuan di masa lalu sama-sama ‘buruk’ dalam kompas moral kita hari ini. Sejarah panjang dunia seakan hanya milik laki-laki.

Penuturan Syekh Ahmad Ath-Thayyib mengenai sejarah perempuan menjadi sangat penting. Orang Barat akan selalu menyoroti bagaimana Islam memperlakukan perempuan. Mereka lupa bahwa perempuan di negara lain pada masa itu nasibnya tak jauh berbeda. Semisal muncul pertanyaan begini: bagaimana Islam memandang perempuan, orang Barat akan melihat dinamika perempuan Arab. Sialnya justru yang dilihat adalah dinamika perempuan Arab sebelum Islam datang. Rupanya mereka mengalami amnesia sejarah perempuan.

Awal abad 7 M, Islam hadir. Islam membawa angin segar yang belum pernah tercium sebelumnya. Kanjeng Nabi Muhammad, sang pembawa risalah, mengubah tatanan yang mapan dalam masyarakat Arab. Kanjeng Nabi melakukan revolusi terhadap pengalaman buruk perempuan di masa lalu.

Pengalaman buruk perempuan, semestinya menjadi kutukan dan kalah. Sayangnya melihat apa yang terjadi saat ini, orang muslim konservatif justru ikut mengafirmasi dan menuliskan sejarah. Mereka dengan senang hati bersepakat melakukan “praktik masyarakat pra-Islam” pada perempuan di masa kini.

Orang Islam konservatif menginginkan perempuan saat ini sama seperti perempuan Arab di masa lalu, masa pra-Islam. Mereka ingin perempuan tidak diberi hak berpendapat, perempuan di-rumah-benda-kan. Mereka ingin supaya praktik nikah anak, nikah paksa dan poligami terus ada.

Tentu saja banyak faktor yang melatarbelakangi hal tersebut. Salah satunya karena keterputusan dari sumber asli; Al-Quran, hadits, dan fakta sejarah. Adanya jarak waktu, jarak tempat, jarak bahasa turut memengaruhi hal itu. Saya rasa saya butuh ruang lebih untuk membicarakan topik ini.

Pada akhirnya, mereka—orang muslim konservatif itu—sepertinya lupa (atau sengaja lupa?) bahwa Islam telah mengakui potensi perempuan. Mereka lupa Islam telah memberikan hak berpendapat bagi perempuan. Mereka lupa terhadap dinamika Shahabiyat (para sahabat perempuan). Mereka juga mengalami amnesia sejarah perempuan.


💡
Baca juga artikel lain di rubrik ISLAMUNA atau tulisan menarik Sawdah A. Fawzi