Apa makna adil yang disyariatkan oleh Allah dalam praktik poligami?

Pertanyaan: Apa makna adil yang disyariatkan oleh Allah dalam poligami?

📰
Tanya jawab ini dimuat di Surat Kabar Al-Ahram pada hari Jumat, 13 Syawal 1422 H - 28 Desember 2001 M

Jawaban: Sebelum itu, hal pertama yang perlu kita ketahui adalah, bahwa Islam tidak menyariatkan adanya ta’addud (poligami) bagi masyarakat yang adat istiadatnya hanya mencukupkan satu istri saja. Namun, Islam mengenalkan poligami di masa ketika laki-laki memiliki puluhan istri adalah suatu hal yang disahkan, dibolehkan, dan dibenarkan. Karenanya, Al-Quran turun untuk membatasi kekacauan dalam membangun rumah tangga, lalu membatasinya dengan batasan-batasan yang dimaklumi oleh umumnya tabiat laki-laki, baik dari fisik, psikis, dan material.

Tidaklah benar pernyataan yang beredar, bahwa poligami adalah hukum asas di dalam Islam. Sebab, tidak ada satu pun nas, baik dalam Al-Quran maupun sunah, yang menyeru seorang muslim untuk mempunyai banyak istri.

Hukum poligami dalam Islam adalah mubah (boleh), tidak wajib, tidak pula sunah. Ditambah, kemubahan ini tidak bersifat mutlak, melainkan diikat dengan syarat yang tidak mudah. Yang saya maksud adalah syarat “keadilan” di antara para istri, seperti adil dalam sandang, pangan, dan tempat tinggal. Hal ini mengharuskan adanya keadilan penuh, seumpama adilnya seseorang kala menimbang emas. Jika tidak, suami akan datang pada Hari Kiamat dalam keadaan separuh tubuhnya terjatuh atau tinggi sebelah.

Munakahat

Kumpulan tulisan dengan topik pernikahan dan keluarga islami dapat teman-teman temukan

di sini

Satu-satunya hal yang dibiarkan Islam tanpa batasan keadilan adalah al-mail al-qalbi (kecenderungan hati). Karena persoalan hati tidak dapat dikendalikan seorang insan (batiniah), berbeda halnya dengan tindakan dan perbuatan yang dapat dikendalikan (lahiriah). Maka, ia tidak akan dimintai pertanggungjawaban, jika hatinya lebih condong kepada salah satu istri. Namun, ia akan dipintai pertanggungjawaban mengenai tindakan dan perbuatannya jika condong kepada salah satu saja.

Barangsiapa yang merenungkan ayat poligami dan ayat setelahnya, maka ia akan mengetahui–sebagaimana dikatakan oleh Imam Muhammad ‘Abduh–, “Bahwa dibolehkannya poligami dalam Islam adalah suatu hal yang sangat dibatasi, seolah-olah itu adalah salah satu keadaaan darurat, yang dengannya hal itu diperbolehkan bagi mereka yang membutuhkannya. Tentu dengan syarat: yakin akan tegaknya keadilan; aman dari ketidakadilan.”

Kemudian ia kembali menambahkan, “Kalaulah mereka mau merenungi keburukan poligami di zaman ini–dengan batasan yang tersebut di atas–, tentu mereka akan yakin bahwa tidak ada seorang pun yang dapat mengelola suatu masyarakat di mana poligami tersebar luas. Karena, rumah yang di dalamnya terdapat dua istri dari seorang suami, kondisinya tidak seimbang dan sistemnya tidak beraturan. Sebaliknya, seorang suami bersama para istrinya akan menjadi kolaborator dalam rusaknya rumah tangga, seolah-olah masing-masing dari mereka adalah musuh bagi yang lain. Lalu, anak-anak mereka juga menjadi musuh bagi anak lainnya.

Keburukan poligami yang bermula dari satu individu akan menular ke seluruh anggota keluarga. Dari keluarga, berdampak kepada persoalan masyarakat. Muhammad ‘Abduh bahkan juga berkata, “Kalaulah saya mau merincikan kemalangan dan musibah yang diakibatkan dari praktik poligami, saya dapat memaparkan hal-hal yang akan membuat kulit orang beriman merinding.”


💡
Artikel FATWA ini diterjemahkan dari buku Syekh Ahmad Ath-Thayyib berjudul Min Dafatiri Al-Qadimah, oleh Amirul Mukminin