Skip to content

Apakah Boleh Membongkar Aib Hubungan Terlarang dalam Islam?

Seseorang bertanya bolehkah membongkar aib hubungan terlarang? Syekh Ahmad Ath-Thayyib menjelaskan pandangan Islam tentang menjaga kehormatan.

FOTO Ilustrasi (Unsplash/Marcin Krawczyński)
FOTO Ilustrasi (Unsplash/Marcin Krawczyński)

Pertanyaan: Saya mengenal seorang perempuan yang berbuat hal tak senonoh dengan rekannya saat bekerja dan melabrak moral atau ketentuan dalam bekerja. Bolehkah saya memberi tahu atasannya di tempat kerja? Atas dasar melaksanakan hadits Nabi Muhammad SAW:

مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرهُ

“Siapa saja di antara kalian yang melihat keburukan, hendaklah ia mengubahnya.” [HR. Muslim]

📰
Tanya jawab ini dimuat di Surat Kabar Al-Ahram pada hari Jumat, 4 Zulhijah 1417 H - 11 April 1997 M

Jawaban: Salah satu hal yang paling diperhatikan Islam dalam bermasyarakat adalah menjaga kehormatan mereka serta melindunginya dari qila wa qala (desas-desus). Sepengamatan kami, tidak ditemukan dalam agama-agama dan undang-undang manapun tata hukum yang mencegah siapa saja untuk merusak kehormatan laki-laki atau perempuan, sebagaimana tata hukum dalam Islam tentang bagaimana menjaga dan menutupi kehormatan.

Tentu saja, di sini kami ingin mengingatkan juga bahwa pembuktian “hubungan terlarang (zina)” dalam Islam hanya dibatasi pada dua cara: (1) Pengakuan dari yang bersangkutan atau (2) Kesaksian empat orang yang melihat hubungan ini dengan “mata kepala sendiri” dan kesaksian mereka harus selaras sedetail-detailnya. Sehingga, jika satu saksi saja berbeda pendapat dengan saksi lainnya, maka mereka semua akan dicambuk dengan 80 kali cambukan, yang dalam hukum Islam dikenal dengan sebutan Hadd Al-Qadzf (hukuman menuduh zina).

Dari sudut pandang di atas, kami ingin mengatakan kepada penanya, bahwa Allah tidak pernah membebanimu untuk membongkar aib orang lain, atau melaporkannya kepada atasan mereka, karena hal ini (membongkar aib) adalah salah satu dosa terbesar, terjelek, dan tercela dalam neraca Islam.

Adapun menjadikan hadits “Man ra'a minkum munkaran ...” sebagai argumen (dalil) terkait masalah ini adalah argumen yang keliru lagi batil, karena Anda tidak melihat kemungkaran ini. Sekalipun Anda melihatnya dengan mata kepala sendiri, syariat Islam tidak akan menganggap hal tersebut dan tidak pula menilainya sedikit pun. Hal itu akan dianggap dan bernilai bilamana disertai dengan penglihatan tiga orang lainnya yang juga melihat dengan mata kepala mereka sendiri, persis seperti apa yang Anda melihat.

Rasulullah

Kumpulan tulisan dengan spirit kecintaan kepada Rasulullah SAW dapat teman-teman temukan

di sini

Bahkan, saya dapat mengatakan kepada Anda bahwa Islam justru memerintahkan Anda untuk menutupi aib tersebut, meskipun anda sendiri benar-benar melihatnya. Coba kita simak bersama-sama sabda Nabi Muhammad SAW mengenai hal ini:

مَنْ سَتَرَ عَوْرَةَ أَخِيْهِ الْمُسْلِمِ سَتَرَ اللهُ عَوْرَتَهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، وَمَنْ كَشَفَ عَوْرَةَ أَخِيْهِ الْمُسْلِمِ كَشَفَ اللهُ عَوْرَتَهُ حَتَّى يَفْضَحَهُ بِهَا فِيْ بَيْتِهِ!

“Barangsiapa menutup aib saudaranya semuslim, maka Allah akan menutup aibnya pada Hari Kiamat kelak. Dan barangsiapa yang menyingkap aib saudaranya semuslim, maka Allah juga akan menyingkapkan aibnya, bahkan aib tersebut akan tersingkap di rumahnya sendiri!” [HR. Ibnu Majah]

Lebih gamblang dari hadits di atas, adalah apa yang disebutkan dalam Musnad Imam Ahmad tentang kisah Ma’iz, seorang sahabat Nabi yang telah melakukan “hubungan terlarang” dengan pelayan perempuannya. Lalu Hazzal menasihatinya untuk mendatangi Rasulullah SAW dan mengaku di hadapan beliau. Ma’iz pun melakukan apa yang Hazzal nasihatkan kepadanya. Nabi Muhammad SAW sempat berpaling darinya empat kali sembari meninjau ulang pernyataannya. Namun, Ma’iz bersikeras untuk mengaku. Maka Nabi Muhammad SAW pun memerintahkan agar ia dijatuhi hukuman di suatu tempat di luar kota.

Perawi hadits ini mengatakan:

لَمَّا أُتِيَ النَّبِيُّ ﷺ، وَوُصِفَ لَهُ جَزَعُ مَاعِزٍ وَخَوْفُهُ مِنْ إِقَامَةِ الْحَدِّ، قَالَ: (هَلَّا تَرَكْتُمُوْهُ؛ لَعَلَّهُ يَتُوْبُ فَيَتُوْبَ اللهُ عَلَيْهِ!)، ثُمَّ قَالَ النَّبِيُّ ﷺ لِهَزَّالِ الَّذِيْ نَصَحَهُ بِالاعْتِرَافِ: وَيْلَكَ يَا هَزَّالُ، لَوْ كُنْتَ سَتَرْتَهُ بِثَوْبِكَ كَانَ خَيْرًا لَكَ!

“Ketika Nabi didatangkan dan dijelaskan kepadanya tentang ketakutan Ma'iz kala menjalankan hukuman, beliau bersabda, ‘Kenapa tidak kalian biarkan saja dia? Boleh jadi dia akan bertaubat, lalu Allah mengampuninya!’ Kemudian Nabi SAW berkata kepada Hazzal, yang menasihati Ma’iz untuk mengaku, ‘Celakalah kamu, wahai Hazzal. Seandainya engkau tutupi aibnya dengan pakaianmu, itu lebih baik bagi dirimu!’.” [HR. Ahmad]

Dari sini, wahai tuan penanya, Islam justru mengajarkan Anda untuk menutupi aib aurat orang lain dengan pakaian Anda, bukan malah memperlihatkannya kepada atasan atau orang lain, sedangkan Anda tidak memiliki dalil yang sesuai dengan tuntunan syariat di tangan Anda.


💡
Artikel FATWA ini diterjemahkan dari buku Syekh Ahmad Ath-Thayyib berjudul Min Dafatiri Al-Qadimah, oleh Amirul Mukminin

Latest