Asal Muasal Beragama yang Sewajarnya

Suatu ketika, tiga orang sahabat berkunjung ke rumah para istri Nabi Saw. untuk menanyakan laku ritual Baginda. Seusai mereka mendapat informasi tentang laku ritual beliau dari para istrinya tersebut, mereka merasa rendah diri. Nabi Saw. sebagai sosok yang sempurna dan dijamin kemaksumannya saja melakukan ritus dan laku ritual sebegitu dahsyatnya, lalu mereka yang jelas-jelas hanya sekedar umat beliau merasa minder akan hal tersebut. Namun, mereka juga sadar bahwa mustahil untuk melampaui Nabi bahkan untuk menyamai tingkatannya sekali pun. Akhirnya, mereka meneguhkan diri untuk mengambil beberapa poin laku yang sekiranya mungkin untuk dijalani dan akan diimplementasikan secara total dan sungguh-sungguh.

Satu di antara mereka memilih untuk mengisi malam-malamnya dengan salat secara penuh, selamanya. Satu yang lain memilih untuk menghabiskan hari-harinya dengan berpuasa, selamanya. Sedangkan yang terakhir memilih untuk menjomblo demi mengekang nafsu duniawi, selamanya.

Lalu, berita ini sampai juga kepada Kanjeng Nabi Saw. Lantas Beliau bersabda, “Kamu sekalian yang berkata demikian? Demi Allah, ialah aku orang yang paling takut dan bertakwa kepada Allah di antara kalian semua. Namun aku kadang kala berpuasa, kadang pula tidak. Aku melakukan salat, namun aku pula rebahan (beristirahat dari salat). Aku pula menikahi perempuan. Maka, barang siapa yang membenci sunnahku, maka ia bukan bagian dariku.”[1]

Merevisi Pemahaman Ekstrem dan Takfiri
Buku Al-Fahm Al-Munir yang ditulis oleh Syekh Usamah Al-Azhari hadir menjawab kesalahan-kesalahan penafsiran ayat yang berujung fatal.

Salah satu poin penting yang bisa diambil dari hadis ini ialah perintah Nabi Saw. kepada umatnya agar tidak beragama secara berlebihan. Dalam artian, sewajarnya dan selayaknya manusia pada umumnya. Batasan wajar tentunya adalah apa yang menjadi kelumrahan bagi kebanyakan orang. Tentu saja, selain tidak berlebihan, juga tidak menyepelekan.

Berlebihan—baik dimaknai berlebih sebagai sesuatu yang surplus maupun defisit—dalam hal apa pun cenderung identik dengan sifat destruktif. Analogi sederhananya, masakan yang diberi terlalu banyak garam bakal tidak enak dinikmati. Berlebihan dalam menambahkan gula pun begitu. Namun, kurang dalam meracik bumbu pun makanan menjadi hambar. Begitu pula semua aspek kehidupan, langkah ideal ialah melakukan segalanya secara wajar. Tidak berlebihan, tidak pula minim. Bukankan Tuhan telah memerintahkan kita untuk tidak berlebih-lebihan? Bukankah pula Tuhan memerintahkan kita untuk menjadi ummatan wasathan, kaum yang moderat, di tengah-tengah?

Jika kita coba cari benang merahnya, salah satu faktor penyebab terjadinya ghuluw (berlebihan) ialah nafsu. Ya, pada hakikatnya nafsu adalah nikmat yang diberikan Tuhan kepada manusia untuk dimanfaatkan dengan proporsional. Namun, kita sebagai manusia kadang kala memanfaatkannya pada tempat yang salah, atau pada tempat yang sesuai namun tak terkendali. Nafsu kita atas makanan, maka harus kita manfaatkan pada tempat semestinya, dengan memakan makanan halal misalnya. Namun ketika kita sudah menempatkannya pada makanan yang halal, kita juga selayaknya makan secara wajar, proporsional.

Al-Minsyawi, Sang Pemilik Suara yang Tersedu
Mesir memiliki sederet nama qari kenamaan. Al-Minsyawi salah satu yang dikenal dunia. Meski 52 tahun berlalu, sosoknya tak tergantikan.

Hal ini juga berlaku dalam sikap dan laku beragama. Betapa berbahayanya ketika nafsu ini tidak dikelola dengan proporsional. Tentu kita sudah sering menyaksikan berita pengeboman dan angkat-mengangkat senjata ketika beberapa saudara kita memaknai jihad secara serampangan berdasar nafsunya? Jihad tidak lagi diposisikan sebagai laku suci yang proporsional, namun ia dieksploitasi sedemikian rupa demi kepentingan kelompok tertentu dan pemenuhan nafsu. Begitu pula laku beragama lainnya.

Pada akhirnya, firman Tuhan dan Hadis Rasul-Nya adalah kredo kehidupan yang harus kita ejawantahkan. Keduanya menggariskan pedoman untuk bersikap dan berlaku proporsional, moderat, dan tidak berlebih-lebihan. Sekarang, saatnya kredo itu kita imani dan amini.[]


[1] Diterjemahkan secara umum dari Hadis riwayat Sayyidina Anas bin Malik, bisa dibaca di Sahīh al-Bukhāri, dalam kitab an-Nikāh, bab at-Targhīb fi an-Nikāh, atau Sahīh Muslim, kitab an-Nikāh, bab Istihbāb an-Nikāh li man Tāqat Nafsuhu Ilaih.


Baca juga artikel lain di rubrik ISLAMUNA atau tulisan menarik Azuma Muhammad