Aturan Toa dan Ujaran Kebencian dalam Islam

Masih sangat panas hingga hari ini narasi yang viral di jagat maya belakangan ini yaitu pernyataan Menteri Agama (Menag) yangmenyoal penggunaan toa. Dalam hal ini ada dari masyarakat yang menanggapinya secara tidak wajar dan ada juga masyarakat yang mendukung pernyataan Menag tersebut mengenai aturan pemakaian toa di masjid-masjid.

Penyataan itu menuai keributan pada tataran nasional. Pasalnya, ada sebagian warganet memahami pernyataan sekilas dari video viral yang terpotong itu bahwa Menag melarang dan menyamakan azan dengan gonggongan anjing. Padahal Menag sendiri mustahil mempermasalahkan terkait syiar dan seruan salat dengan azan di setiap waktunya. Yang dimaksud oleh Menag itu mengatur pemakaian toa yang perlu disesuaikan pada kebutuhannya agar tidak mengganggu kenyamanan orang lain dan tidak menggunakan toa tersebut seenaknya. Peraturan ini menuai pro dan kontra dari beberapa kalangan umat muslim Indonesia.

Bijak Bermedia di Era Kiwari
Teknologi semakin maju dan arus informasi begitu deras. Kita perlu menyiapkan formulasi agar tidak terjebak atau terbawa arus menyesatkan.

Dalam kasus ini, saya tidak akan menyoal pro kontra itu. Namun, bagi penulis ada hal yang menurut penulis urgen sekali yang masih berkaitan dengan kasus ini yaitu fitnah yang berbahaya di masa ini. Yakni tentang mudahnya muslim kita hari ini menghujat, melaknat bahkan berani menjustifikasi seseorang murtad, dan mempertanyakan keimanan muslim yang lain yang tidak sependapat dan senalar dengannya. Hal ini bagi penulis sangat mengerikan sekali.

Lihat saja di platform media sosial, ketika pernyataan Menag mengenai aturan toa ini diluncurkannya, hujatan yang tidak sependapat dengan Menag terus menerus digulirkan. Pola pikir beragama seperti ini sangat berbahaya. Bukankah agama Islam tidak mengajarkan ujaran kebencian dan tuduhan kafir? Adakah teks-teks keagamaan yang membolehkan individu muslimmenjustifikasi orang lain dengan kafir dan murtad?

Dalam teks-teks keagamaan dan ditinjau dari sejarah perjalanan Nabi Muhammad sang pembawa risalah agama Islam ini, tidak ditemukan adanya kebolehan menghujat, menuduh kafir, dan melaknat seseorang. Bukankah tuduhan kepada seseorang dengan murtad atau kafir, 14 abad yang lalu, sudah diwanti-wanti oleh Baginda Rasulullah SAW terkait hal ini?

Kendati demikian, Islam tidak pernah mengajarkan manusia untuk menghujat seseorang apalagi menuduhnya sebagai kafir. Jika ada laku muslim yang demikian, maka sudah termasuk melakukan hal bid'ah yang nyata yang bahaya bagi dirinya. Mari kita lihat hadis-hadis Rasulullah SAW. Coba kita resapi bersama hadis-hadis Rasulullah mengenai hal ini. Rasul berkata:

إذا كفر الرجل أخاه فقد باء بها أحدهما

"Jika seseorang mengkafirkan saudaranya, maka sesungguhnya kalimat itu kembali kepada salah satunya"

Selagi seseorang itu melakukan salat seperti kita, menghadap kiblat yang sama maka orang tersebut muslim yang harus dijaga darahnya, juga kehormatannya. Dalam Shahih Al-Bukhari dikatakan:

عن أنس بن مالك رضي الله عنه قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم من صلى صلاتنا واستقبل قبلتها وأكل ذبيحتنا فذلك المسلم الذي له ذمة الله وذمة رسوله فلا تخفروا الله في ذمته رواه البخاري

Artinya: Dari Anas bin Malik RA dia berkata: Rasulullah SAW bersabda: Barang siapa salat seperti kita, menghadap ke arah kiblat kita dan memakan sesembelihan kita maka dia adalah seorang muslim,  ia memiliki perlindungan dari Allah dan Rasulnya maka janganlah kalian mengkhianati perlindungan Allah. (Riwayat Imam Al-Bukhari)

Dengan dasar ini, Ahlus-sunnah wal-jamaah atau sunni tidak mengafirkan ahlul kiblat.

Pemikiran

Kumpulan tulisan bertopik pemikiran dan keislaman bisa teman-teman temukan

di sini

Rasul juga tidak pernah melaknat dan menghujat seseorang. Disebutkan dalam penggalan hadis Rasulullah SAW:

لم يكن النبي صلى الله عليه وسلم سبابا، ولا فحاشا،  ولا لعانا...

Artinya: Nabi SAW itu bukan orang yang suka memaki-maki, bukan pula orang yang suka berkata jorok,  bukan pula orang yang suka melaknat...

Berkenaan dengan perkataan Menag itu, ada juga yang menakut-nakuti akan membunuh Menag dengan mengeluarkan pedang samurainya, video tersebut sempat viral. Hal ini tentu juga tidak dibenarkan dalam Islam. Menakut-nakuti dan menebar teror demikian bukanlah ajaran Islam. Dalam hadis Rasul berkata:

من أشار إلى أخيه بحديدة فإن الملائكة تلعنه حتى ينتهي وإن كان لأبيه وأمه

"Siapa yang menunjuk kepada saudaranya dengan sepotong besi, maka malaikat melaknatnya sampai ia menghentikan perbuatannya tersebut, walaupun yang ia tunjuk adalah saudaranya sebapak dan seibu. (Riwayat Imam Muslim) "

Bahkan dengan pandangan saja untuk menakut-nakuti orang lain itu pun bukan dari ajaran Islam. Dalam hadis Rasul berkata:

من نظر إلى أخيه نظرة يخيفه بها أخافه الله يوم القيامة رواه الطبراني

Artinya: Barang siapa melihat saudaranya dengan penglihatan, dengan pandangan itu dia menakut-nakutinya (saudaranya) maka di hari kiamat Allah akan menakut-nakuti dia. (Riwayat Imam Ath-Thabarani)

Apalagi jika sampai membunuhnya, maka, jelas sekali perilaku itu bukan dalam koridor ajaran Islam. Dalam Al-Quran Allah SWT berfirman:

ومن يقتل مؤمنا متعمدا فجزاؤه جهنم خالدا فيها وغضب الله عليه ولعنه وأعد له عذابا عظيما

Artinya: "Dan barang siapa membunuh seorang yang beriman dengan sengaja,  maka balasannya ialah neraka Jahannam. Dia kekal di dalamnya, Allah SWT murka kepadanya dan melaknatnya serta menyediakan azab yang besar baginya"

Dalam hal ini kita melihat bahwa Islam benar-benar agama yang menjaga kehormatan jiwa dan haknya di dalam kehidupan, Islam juga agama yang mengajak kepada pokok-pokok kebaikan, baik di dunia dan akhirat.

Syekh Ibrahim Khalifah, Pemuka Para Mufasir Al-Azhar
Alim nan mufasir yang menjadi rujukan para guru besar tafsir Universitas Al-Azhar. Ialah Syekh Ibrahim Khalifah sosok yang saleh dan ahli zikir.

Mungkin seharusnya kita menggunakan kaidah yang dibawa oleh Imam Malik dalam sikap beragama kita. Pesan itu pun diperkuat oleh Muhammad Abduh:

إذا صدر قول من قائل يحتمل الكفر من مائة وجه ويحتمل الإيمان من وجه واحد حمل على الإيمان ولا يجوز حمله على الكفر

"Jika muncul perkataan yang mengandung kekufuran dari seratus sisi dan mengandung keimanan dari satu sisi, maka (makna itu) diarahkan kepada keimanan, dan tidak boleh diarahkan kepada kekufuran"

Maksudnya, jika dalam tindak laku dan ucapan bahkan keyakinan seseorang terdapat seratus sisi kemungkinan kekufuran dan kita melihat ada satu sisi keimanan dari orang tersebut, hendaknya seorang muslim membawa pandangannya kepada keimanan seseorang tersebut. Tidak dianjurkan untuk mengafirkan orang tersebut. Wallahu A'lam.

💡
Baca juga artikel lain di rubrik OPINI atau tulisan menarik Irfan Rifqi Fauzi