Bagaimana hukum menyusui bagi wanita yang tidak dapat mempunyai anak?

Pertanyaan berikut disampaikan kepada Lajnah Fatwa Masjid Al-Azhar:

“Saya mengasuh anak berumur 5 bulan. Istri saya menyusuinya, namun dengan cara mengonsumsi obat medis karena ia tidak dapat mempunyai anak atau mandul. Air susu benar-benar keluar sehingga ia menyusui anak itu berbulan-bulan lamanya. Sekarang, anak itu berumur 1 tahun. Apakah keharaman menikah sebab sedarah terjadi dari proses menyusui ini?”

Jawaban Ringkas

Menyusu dari tetek perempuan mengakibatkan status mahram yakni keharaman menikahinya, baik didahului proses melahirkan atau tidak, sebagaimana yang terjadi pada kasus yang ditanyakan ini.

Islam dan Gagasan Childfree dalam Sebuah Pernikahan
Gagasan untuk tidak memiliki anak (Childfree) pernah dijawab dalam fatwa ulama Mesir. Bagaimana Islam melihat gagasan kontroversial itu?

Jawaban Detail

Alhamdulillah rabbil 'alamin, segala puji bagi Allah SWT. Selawat serta salam tercurahkan kepada utusan-Nya yang menjadi rahmat alam semesta, Nabi Muhammad SAW, juga kepada segenap keluarga dan sahabat.

Dalam fikih, keharaman itu terjadi sebab penyusuan, sebagaimana firman Allah SWT:

وَاُمَّهٰتُكُمُ الّٰتِيْٓ اَرْضَعْنَكُمْ وَاَخَوٰتُكُمْ مِّنَ الرَّضَاعَةِ

Artinya: "[Diharamkan atas kamu menikahi]... ibu yang menyusuimu, saudara-saudara perempuanmu sesusuan," (Surah An-Nisa': 23)

Nabi Muhammad SAW bersabda, "Segala yang diharamkan sebab pertalian nasab, diharamkan pula sebab penyusuan."

Adapun penyusuan yang menjadikan status mahram adalah penyusuan sewaktu kecil. Karena anak kecil, baik laki-laki maupun perempuan, bergantung pada air susu ibu (ASI) sebagai makanan atau nutrisi utama. Rasulullah SAW bersabda, "Menyusui tidak menjadikan haram, kecuali yang menumbuhkan daging dan membentuk tulang."

Munakahat

Kumpulan tulisan dengan topik pernikahan dan keluarga islami dapat teman-teman temukan

di sini

Atas hal ini, dapat disimpulkan kenapa demikian berlaku bagi anak kecil, karena ia masih bergantung pada ASI sebagai nutrisi. Proses menyapih pun tidak dilakukan sebelum dua tahun sesuai hadis, "Tidak disebut radha' (menyusui) kecuali terjadi dalam masa usia dua tahun."

Ketetapan keharaman (mahram) ini di dalam syariat bergantung pada penyusuan. Apabila penyusuan terjadi sesuai syarat-syaratnya, maka keharaman pun terjadi. Baik penyusuan itu dari susu sebab melahirkan ataupun tidak melahirkan.

Disebutkan dalam Al-Fatawa Al-Hindiyyah, "Seorang lelaki menikahi seorang perempuan. Sang istri tidak pernah melahirkan anak dari pernikahan. Kemudian, air susu keluar sehingga ia menyusui seorang bayi laki-laki. Penyusuan itu dianggap sah dari perempuan tersebut, tetapi hukumnya tidak berlaku bagi suami. Sehingga bagi sang bayi tersebut pun tidak haram untuk menikahi anak sang suami yang lahir dari istri lain."

Syekh Mahmud Abu Al-’Uyun, Penulis dan Orator Ulung Al-Azhar
Riwayat hidup seorang syekh dari Al-Azhar yang masyhur dengan karya tulisnya. Ialah seorang alim nan reformis, Syekh Mahmud Abu Al-’Uyun.

Al-Maushili Al-Hanafi berkata, "Jika perempuan itu tidak melahirkan dari suaminya itu, lalu keluar ASI... keharaman (menikah) hanya berlaku kepadanya, tidak ke yang lain."

Kesimpulannya:

Jika air susu keluar, lalu terjadi penyusuan sesuai dengan yang diutarakan dalam pertanyaan, maka keharaman berlaku. Atas dasar itu, perempuan yang menyusuinya itu menjadi ibu bagi anak tersebut dengan memperhatikan poin berikut:

1. Apa yang keluar dari payudara perempuan yang menyusui itu merupakan susu. Bukan sebatas cairan yang tidak memenuhi karakteristik ataupun ciri-ciri susu asli pada umumnya.

Syekh 'Ilisy Al-Maliki berkata, "Keharaman terjadi sebab susu wanita perawan dan berusia lanjut yang tidak dapat melahirkan. Hal ini terjadi meski tanpa didahului persetubuhan dan jika benar berupa susu, bukan air kekuningan."

2. Total proses penyusuan itu sebanyak lima kali persusuan yang mengenyangkan dan berbeda-beda momen.

Demikianlah jawaban sesuai permasalahan yang ditanyakan. Wallahu a'lam

💡
Artikel FATWA ini diterjemahkan dari Majalah Al-Azhar edisi Rajab 1444 H / Februari 2023 M, oleh Mu'hid Rahman