Skip to content

Bagaimana Hukum Pernikahan Tanpa Syarat yang Terpenuhi?

Dua orang bertanya tentang pernikahan yang tidak memenuhi syarat. Syekh Ahmad Ath-Thayyib menjawab hal tersebut dalam dua fatwa berikut ini.

FOTO Ilustrasi
FOTO Ilustrasi

Pertanyaan: Aku adalah seorang perempuan berusia 16 tahun. Aku telah berkata kepada seorang pemuda pujaan hatiku di kampus, “Zawwajtuka nafsi ‘ala sunnatillah wa rasulihi wa ‘ala madzhab Abi Hanifah An-nu’man. Aku menikahkan diriku sendiri kepadamu sesuai dengan ketentuan Allah dan rasul-Nya, serta berasaskan mazhab Abu Hanifah An-Nukman.” Lalu ia menjawab, “Qabiltu. Aku terima.” Di hari berikutnya, si pemuda memberiku 25 qirsy (nominal seperempat pound Mesir, namun terhitung besar kala itu_pen). Akan tetapi, keluargaku menolak pernikahanku dengan pemuda tersebut, seraya memintaku untuk bercerai dengannya. Apa hukum syariat mengenai hal yang kukatakan ini?

📰
Dua Tanya jawab ini dimuat di Surat Kabar Al-Ahram pada hari Jumat, 25 Rajab 1417 H - 6 Desember 1996 M

Jawaban: Sungguh, hal yang terjadi ini sama sekali tidak dapat dikatakan pernikahan. Karena, pernikahan tidaklah sah sebelum memenuhi beberapa persyaratan: kalimat “ijab-qabul”, saksi, mahar, dan wali menurut jumhur ulama. Jika salah satu syarat di atas tidak terpenuhi, maka pernikahannya tidak sah. Hubungan badan apapun yang terjadi pasca ikatan batil ini termasuk dalam kategori zina, yang mesti mendapatkan hukuman berat sesuai dengan syariat yang termaktub mengenai hukuman tersebut.

Oleh karena itu, apapun kesepakatan yang terjadi antara si penanya perempuan dan pemuda tersebut, tidak dianggap sebagai pernikahan. Selanjutnya, tidak perlu alasan pembenaran mengenai permintaan cerai dari pihak keluarga, karena sedari awal memang tidak ada akad nikah yang sah.

***

Menikah Tanpa Wali

Pertanyaan: Bolehkah wanita karier dan terpelajar mengawini dirinya sendiri tanpa wali?

Jawaban: Jumhur fukaha berpandangan keharusan adanya wali, berlandaskan hadits mulia yang berbunyi:

أَيُّمَا امْرَأَةٍ نَكَحَتْ نَفْسَهَا بِغَيْرِ إِذْنِ وَلِيِّهَا، فَزَوَاجُهَا بَاطِلٌ، بَاطِلٌ، بَاطِلٌ

Siapapun wanita yang menikahi dirinya sendiri tanpa adanya izin dari wali, maka pernikahannya batal, batal, dan batal.” (HR. Abu daud, At-Tirmidzi, dan Ibn Majah)

Pernikahan mesti dilaksanakan dengan pengetahuan, penglihatan, pendengaran, serta persetujuan sang wali. Menurut (mazhab) Abu Hanifah, boleh bagi si wali yang telah mengetahui hal tersebut lalu berkata, “Zawwiji nafsaki. Nikahkanlah dirimu sendiri.”

Munakahat

Kumpulan tulisan dengan topik pernikahan dan keluarga islami dapat teman-teman temukan

di sini

Menjadi wali juga telah diatur sedemikian rupa. Ia mesti dimulai dari ayah kandung. Jika tidak ada, di sana ada saudara, lalu paman, anak paman, anak saudara, hingga seterusnya. Jika tidak ada lagi wali dari kalangan keluarga, maka hakim atau sultan adalah wali bagi orang-orang yang tidak memiliki wali. Ke-wali-an tidak bisa diserahkan kepada saudara--misalnya--jikalau masih ada ayah, ataupun hakim jikalau masih ada wali syar’i.

Adapun pernikahan yang tidak dengan sepengetahuan ayah sebagai wali pertama sesuai urutannya, maka pernikahan tersebut batal, kecuali jika si ayah adalah orang yang keluar dari koridor syarat menjadi wali. Maka ketika itu terjadi, hak wali dialihkan kepada orang setelahnya, tentu dengan syarat sah pernikahan yang terpenuhi.


💡
Artikel FATWA ini diterjemahkan dari buku Syekh Ahmad Ath-Thayyib berjudul Min Dafatiri Al-Qadimah, oleh Amirul Mukminin

Latest