Skip to content

Belajar Sikap Muruah dari Imam Al-Mawardi

Sifat muruah tidak sesederhana "nama baik" yang sering kita sebut "reputasi". Lebih dari itu, Imam Al-Mawardi menjelaskan hakikat akhlak muruah.

FOTO Ilustrasi kitab Ihya' Ulumiddin
FOTO Ilustrasi kitab Ihya' Ulumiddin

Al-‘Ulama'u suruj al-azminah, kullu wahidin mishbahu zamanihi, yastadhi’u bihi Ahlu ‘Ashrihi”. (Para ulama itu adalah pelita-pelita dari zaman ke zaman, masing-masing mereka adalah lampu bagi zamannya, dimana seluruh penduduk zaman itu mendapat sinar darinya).  (Kitab Ihya' ‘Ulumiddin, Bab Fadhilat At-Ta’lim).

Berbicara mengenai keutamaan para ulama dan keistimewaannya dalam Islam seolah tak ada habisnya. Puluhan kitab, ribuan lembar tulisan takkan cukup untuk menyimpan catatan sekian banyak keutamaan itu. Selain menjadi pelita di zamannya, salah satu hakikat ulama dalam Islam adalah konsistensi antara ilmu dan amal: teori dan praktik. Sebagaimana Islam itu tidak memisahkan antara ilmu dan etika, begitu juga para ulama selain memiliki keilmuan yang luas, mereka juga pengamalnya. Dalam tulisan ini saya akan mengahadirkan salah satu ulama pembesar ahlussunnah, Imam Abul Hasan Al-Mawardi rahimahullah yang membahas secara mendalam tentang akhlak Muruah.

Imam Al-Mawardi selain dikenal melalui kitabnya Al-Ahkam As-Sulthaniyyah sebagai ulama yang konsen di bidang fikih siyasah. Beliau juga membahas akhlak secara mendalam dalam kitabnya Adab Ad-Din wa Ad-Dunya”. Kitab yang kemudian dikaji, dikomentari, diulas (syarah) dari masa kemasa hingga hari ini. Termasuk kitab yang juga dikaji dan dirujuk di Indonesia. Dalam kitab itu, Imam Al-Mawardi menyatukan, mengonsep ilmu akhlak yang sebelumnya masih belum sistematis. Menariknya, Imam Al-Mawardi berhasil mengombinasikan pembahasan akhlak antara perspektif fikih (Tahqiq Al-Fuqaha') dan perspektif sastra (Tarqiq Al-Udaba’) di samping sumber-sumber dari Al-Quran, hadits, dan para filsuf muslim.

Salah satu pembahasan yang menarik dan jarang diangkat adalah akhlak Al-Muru'ah. Kata itu kemudian diserap dalam bahasa Indonesia menjadi kata baku muruah yang berarti: kehormatan diri; harga diri; nama baik. Daripada itu, kata yang sering muncul dalam benak kita, adalah istilah prestise (wibawa) dan reputasi (nama baik). Seperti misalnya: “si A hanya mengejar prestise semata”, “demi reputasi, kita harus mempertahankan tradisi ini”. Kira-kira apa perbedaan muruah dengan prestise dan reputasi dalam ungkapan sehari-hari?

Untuk menjawab itu, menarik jika kita memahami muruah melalui Imam Al-Mawardi dalam kitabnya, “Adab Ad-Din wa Ad-Dunya.” Menurut Dr. Fuad Wahbah Azzam, di dalam tulisannya di Majalah Azhar edisi Mei 2023 yang berjudul “Min Ma’alimi Turatsina Al-Akhlaqi: Al-Muru'atu ‘Inda Al-Imam Abil Hasan Al-Mawardi”, muruah menjadi pembahasan yang mendapat perhatian khusus Imam Al-Mawardi dan elaborasi yang panjang. Tak heran jika bab muruah dalam kitab tersebut sampai bercabang tiga sub-bab yang mencapai tiga puluh halaman. Jumlahnya, sepertiga persen dari bab etika jiwa (Adabun Nafsi) dan menjadi pemungkasnya.

Tak hanya itu, di balik perhatian Imam Al-Mawardi pada akhlak muruah ini, menurut Dr. Fuad sifat muruah juga termanifestasi dalam pribadi sosok ulama besar ahlussunnah ini. Sebagaimana pengakuan Ibnu Katsir: “ia (Imam Al-Mawardi) adalah sosok yang penyabar, berwibawa, beradab. Para sahabatnya bahkan tidak pernah sama sekali melihat lengan bawahnya sepanjang waktu. Hal itu tidak lain karena sikap menjaga diri dan adab sang imam yang mulia”. Selain itu, karena faktor kondisi sosial-historis masyarakat abad ke empat dan lima hijriah turut mendorong Imam Al-Mawardi untuk berdakwah dan menyusun kitab “Adab Ad-Din wa Ad-Dunya”. Persis seperti kitab-kitab etikanya Imam Al-Ghazali: Al-Ihya', Minhaj al-Abidin, Ayyuhal Walad, sebagai karya yang hadir untuk masyarakat umum secara luas (Al-‘Ammah), bukan hanya kalangan khusus akademisi (Al-Khashshah).

Muruah dalam pandangan Imam Al-Mawardi yang menarik di sini tidak terbatas pada etika-personal semata. Imam Al-Mawardi mengembangkan muruah dalam praktik personal maupun sosial. Sebab muruah hakikatnya upaya untuk selalu menghadirkan ‘yang terbaik’ dalam seluruh aspek kehidupan; kesadaran jiwa untuk selalu bersikap yang terbaik.  Sebagaimana Imam Al-Mawardi mendefinisikan, “Usaha seorang manusia untuk sadar pada segala kondisi jiwanya: sikap dan perilaku. Yang dengan itu, ia berada pada kondisi yang terbaik darinya: sehingga ia tidak melakukan kesalahan secara sengaja, pun tidak ada kehinaan yang diarahkan padanya sebab ia berhak (mendapatkannya)”. Dari definisi ini, terlihat bahwa muruah tidak sekedar “menjauhi keburukan”, melainkan lebih mendasar dari itu: kesadaran untuk selalu bersikap ‘yang terbaik’ atau ‘yang utama’.

Biografi

Sepilihan riwayat hidup para tokoh dapat teman-teman temukan

di sini

Sebagaimana saya singgung di atas, muruah tidak hanya berlaku dalam intra-personal (dalam diri perseorangan), tetapi juga berkaitan pada sosial dengan orang lain. Oleh sebab itu, ada dua syarat agar sifat muruah terimplementasi: syarat internal dan eksternal. Syarat internal, ada tiga sifat: pengendalian diri (Iffah), kesucian (Nazahah), dan penjagaan diri (Shiyanah). Ketiganya tetap bermuara pada aspek pengendalian diri, meski Imam Al-Mawardi memperinci dan memperluas dari masing-masing sifat. Seperti sifat Iffah yang ia khususkan pada aspek “Menjaga kemaluan dari hal-hal yang diharamkan” (Dabt al-Farj An al-Haram”.Utamanya dalam menjaga pandangan, lisan dan syahwat. Sedang sifat Nazahah dan Shiyanah bisa disebut sebagai aspek ‘tersier’ yang akan melengkapi karakter muruah seseorang: seperti menjauhi keramaian, popularitas, pujian manusia hingga menjauhi mental ketergantungan dan butuh pada orang lain.

Syarat yang kedua adalah yang berkaitan dengan orang lain. Di sini juga terdapat tiga sifat: menolong (Muazarah), toleran (Muyasarah), dan menghargai orang lain (Ifdhal). Ketiga sifat ini secara garis besar mengacu pada asas ‘kebermanfaatan’ untuk orang lain sebagai basis kebaikan sosial. Begitu pula Imam Al-Mawardi memperinci masing-masing dari sifat itu, seperti: menolong dengan kekuasaan maupun, menolong sebagai kewajiban maupun secara sukarela (volunter), toleran atas kesalahan kecil dan kekhilafan orang lain atas kita dan terakhir selalu berusaha menghargai dan mengutamakan orang lain.

Setelah ulasan di atas—juga untuk menjawab pertanyaan sebelumnya—muruah adalah dasar dari apa yang kita bahasakan sebagai “prestise” dan “reputasi” dalam bahasa sehari-hari. Lebih dari itu, muruah bukan nilai dari sisi material jabatan atau status sosial (prestise). Muruah bukan sesederhana ‘nama baik’ yang kita sering bela secara mati-matian (reputasi). Muruah adalah usaha dari dalam jiwa dan kesadaran manusia untuk selalu meningkatkan kapasitas diri dan menjaga dari kesalahan dan kehinaan diri. Muruah didapat dari dalam, bukan dari luar diri manusia. Demikian makna yang bisa kita petik dari Imam Al-Mawardi Rahimahullah.

Walhasil, saya akan menutup tulisan ini sebagaimana Imam Al-Mawardi menutup tulisannya tentang muruah dengan nasihat yang begitu filosofis: “Ketahuilah, engkau tidak hidup di dunia ini dalam keadaan kebaikan-kebaikanmu tercatat, keburukan-keburukanmu terjaga (dari pandangan orang lain). Lalu setelah itu (hakikat kehidupanmu) hanyalah ucapan yang tersebar di mana tidak ada teman membersamaimu, tidak ada saudara melindungimu, maka dari itu jadikanlah (hidupmu itu) sebaik-baiknya ucapan yang disebar, maka usahamu akan dihargai di mata manusia, balasanmu di sisi Allah akan tersimpan”.


💡
Baca juga artikel lain di rubrik ISLAMUNA atau tulisan menarik Lukman Hakim Rohim

Latest