Benarkah Asy’ariah Terbelakang dan Membingungkan?

Beberapa waktu lalu, salah satu dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta melontarkan pernyataan kontroversial saat kuliah online bersama para mahasiswanya. Dalam kesempatan itu, dosen bernama Zubair itu menyebut bahwa Asy'ariah itu (mazhab) membingungkan, sudah membingungkan, tidak produktif, tidak progresif, tidak inovatif, tidak kreatif. Bikin orang bodoh dan bikin orang terbelakang, itulah Asy'ariah. Serangkaian label-label minor itu disampaikan sang dosen dengan tegasnya kepada para mahasiswa yang tengah mengikuti kuliah online.

Materi kuliah Dr. Zubair yang disampaikan kepada mahasiswanya itu diam-diam direkam dan tersebar di media sosial. Warganet, khususnya warga Nahdliyin pun merespon. Karena secara spesifik, Zubair menyebut dan menyudutkan warga NU (Nahdlatul Ulama). Yakni perihal orang NU yang nggak maju-maju, karena mereka mazhab Asy'ariah(nya) terlalu kuat. Muhammadiyah maju dia karena memang berkemajuan. Zubair pun lantas membandingkan peran NU dan Muhammadiyah. Zubair mencontohkan bahwa banyak rumah sakit dan universitas yang dibangun Muhammadiyah. "Kalian yang anggota NU pindah ke Muhammadiyah saja kalau mau maju. Muhammadiyah itu membangun rumah sakit banyak sekali, membangun universitas banyak sekali, tidak hanya dalam negeri, tapi luar negeri juga," tandas Zubair.

Belakangan, setelah rekaman videonya Zubair viral, dengan naifnya ia lantas mengaku menyesal, meminta maaf dan mengaku bersalah telah menyinggung NU serta Muhammadiyah. Ia berdalih, sama sekali tidak bermaksud mendiskreditkan NU yang berpaham Asy’ariah. Ia mengaku menyampaikan itu semua semata-mata hanya untuk memancing para mahasiswa agar lebih aktif berdiskusi dalam kuliah Studi Islam yang ia ampu. Ia pun mengaku menyesal dan meminta maaf kepada semua pihak karena materi kuliahnya telah menimbulkan polemik. Sebenarnya apologi yang disampaikan Zubair itu sangat naif, lucu, dan sama sekali tidak ilmiah. Bagaimana bisa sekelas dosen kampus besar di ibu kota, hanya demi memantik mahasiswanya aktif berdiskusi ia kemudian memaparkan data dan fakta yang ahistoris. Apalagi sampai berani menyudutkan ormas Islam tertentu, meski ia kemudian “ngeles” dan dengan sok polosnya tidak mengakui. Untung saja ormas yang tersudutkan itu bersikap legawa.

Sepercik Tata Krama Para Ulama Nahwu
Laku ulama yang penuh tata krama patut menjadi teladan bagi masyarakat muslim. Dalam memilih istilah, para ahli nahwu menjaga betul sikap santun.

Nah, dalam rangka upaya dan sumbangsih penulis agar kejadian “lucu” nan menggemaskan semacam itu tidak terulang lagi, maka kali ini saya coba hadirkan ulasan ringkas terkait mazhab Asy’ariah. Barangkali setelah kita mengenal lebih jauh tentang apa itu teologi Asy’ariah, kita tidak akan lagi mudah mendiskreditkan atau menyesatkan mazhab Asy’ariah. Mazhab yang telah berabad-abad diyakini dan diugemi Universitas Al-Azhar Mesir.

Sebelum lebih jauh membahas, ada baiknya kita mengenal terlebih dahulu apa dan siapa yang dimaksud Asy’ariah? Mazhab Asy'ariah adalah salah satu aliran teologi Islam yang lahir pada kisaran 913 M (330 H), awal abad ke-4. Istilah mazhab Asy'ariah ini adalah nama untuk aliran teologi Islam yang merujuk pada Imam Al-Asy'ari, Abu Al-Hasan Ali bin Ismail Al-Asy'ari. Imam Al-Asy'ari bernama lengkap Abu Al-Hasan Ali bin Ismail bin Ishaq bin Salim bin Abdillah bin Musa bin Abi Burdah bin Abi Musa Al-Asy'ari. Beliau Imam Abul Hasan Al-Asy'ari lahir di Bashrah pada 260 H (873 M), kemudian beliau meninggal di Baghdad pada 324 H (935 M).

Resensi

Kumpulan ulasan buku dan kitab menarik dapat teman-teman baca

di sini

Imam Al-Asy’ari dikenal pula sebagai seorang ulama yang menjadi juru islah dan perantara sengketa antara Imam Ali-Mu'awiah. Bersama aliran teologi Maturudiah, Asy’ariah selama ini juga dikenal sebagai representasi golongan Ahlussunnah wa Al-Jama’ah. Namun masih banyak orang yang tidak tahu akan hakikat dari telogi Asy’ariah dan tidak mengenal Asy’ariah dalam urusan akidah. Sehingga selain Zubair, ada cukup banyak orang yang menisbatkan mazhab Asy’ariah berikut para pengikutnya pada kesesatan, kejumudan, keterbelakangan atau hal-hal minor lainnya. Bahkan ada pula yang menuduh mazhab Asy’ariah sebagai penyebab terpecah dan tercerai-berainya Islam (Ahli Sunnah). Padahal faktanya jelas tidak begitu.

Bahkan, sebagaimana dikatakan Ibnu Taimiah, bahwa "para ulama yang melaknat Imam-Imam Asy'ariah, maka sesungguhnya mereka yang melaknat para Imam Asy’ariah, harus diberi hukuman dan laknat tersebut kembali kepada pelaknatnya. Siapa yang melaknat seseorang yang tidak berhak dilaknat, maka laknat tersebut akan mengenai dirinya sendiri. Para ulama adalah penolong ilmu-ilmu agama, sedangkan para ulama Asy'ariah adalah penolong dasar-dasar agama (ushuluddin)". Fatwa ini tertuang dalam Al-Fatawa juz 4, halaman 16.

Sementara menurut Syekh 'Izzuddin bin Abdissalam, bahwa sesungguhnya teologi Asy'ari telah disepakati seluruh ulama Syafi'iyah, Malikiyah, Hanafiyah, dan para pembesar (ulama) Hanabilah. Di antaranya adalah guru besar mazhab Malik yang hidup sezaman dengan Imam Asy'ari, yaitu Syekh Abu Amr bin Hajib dan guru besar mazhab Hanafi, Syekh Jamaluddin Al-Hushairi. Lebih lanjut, Imam Al-Khayali mengatakan dalam Hasyiah Syarah Al-'Aqaid, bahwa mazhab Asy'ariah adalah Ahlussunnah wa Al-Jama'ah. (Ithaf As-Sadah, juz 2, hlm. 7).

Ide Tajdid Menurut Syekh Muhammad Abu Musa
Guru Besar Balaghah Universitas Al-Azhar, Syekh Muhammad Abu Musa menulis banyak kitab. Salah satunya kitab yang membahas pembaruan dalam Islam.

Pada mulanya, Imam Al-Asy'ari adalah salah satu tokoh sentral di aliran Mu’tazilah. Al-Asy’ari merupakan murid dari Imam Al-Jubba’i, seorang tokoh Mu’tazilah yang amat cerdas dan masyhur sebagai pakar debat. Melihat potensi dari Al-Asy’ari, Imam Al-Jubba’i lantas kerap menyuruh Al-Asy'ari untuk menggantikannya bila terdapat forum perdebatan. Menurut pendapat yang masyhur, Imam Al-Asy’ari menjadi pengikut Mu’tazilah sampai beliau berumur 40 tahun. Kemudian pada tahun 300 H, beliau menyatakan keluar dari Mu’tazilah dan memproklamirkan aliran teologi baru bernama Asy'ariah. Proses keluarnya Imam Al-Asy’ari dari Mu’tazilah ini disinyalir terjadi karena kejumudan dan stagnasi yang ada di aliran Mu’tazilah. Pun karena hal-ihwal yang sudah kerap kita baca dan dengar, bahwa Imam Al-Asy’ari keluar dari Mu’tazilah tersebab perdebatan ilmiah antara Imam Al-Asy’ari dengan guru sekaligus ayah tirinya, yaitu Imam Al-Jubba’i.

Jika melihat realitas yang terjadi, proses perpindahan Imam Al-Asy'ari terjadi karena sikap skeptis Al-Asy’ari atas aliran Mu’tazilah dan juga progresivitas sang imam. Kesimpulan ini diperkuat riwayat yang mengatakan bahwa Imam Asy'ari sebelum “hijrah” dari Mu’tazilah beliau mengasingkan diri di rumah selama 15 hari guna untuk memikirkan ajaran-ajaran Mu’tazilah. Sesudah Imam Al-Asy’ari berkontemplasi, didatangi Rasululullah dalam mimpi, dan mendapat suatu konklusi yang pasti, akhirnya beliau keluar rumah, pergi ke masjid, naik mimbar, lalu beliau menyatakan telah keluar dari Mu’tazilah.

Dari sini, sudah bisa terbaca bila Imam Al-Asy’ari sebagai pelopor mazhab Asy’ariah adalah sosok ulama yang progresif, inovatif, dan kreatif. Jika melihat fakta ini, maka sangat tidak tepat bila para pengikutnya kemudian dilabeli sebagai umat yang terbelakang, tidak progresif, konservatif, dan tidak bisa berkembang. Sangat tidak tepat pula bila mazhab Asy’ariah dinilai sebagai pemicu keterbelakangan dan kebodohan umat, penghambat kreativitas dan produktivitas. Karena faktanya, kita melihat justru karena terpantik sang imam yang berpikiran progresif, tidak heran jika kita melihat murid-murid Imam Al-Asy’ari kebanyakan adalah ulama-ulama yang produktif berkarya, progresif dalam pemikiran, serta inovatif. Sebut saja misalnya Imam As-Suyuthi, Imam Fakhrudin Ar-Razi, Imam Al-Ghazali, Imam 'Izzuddin bin Abdissalam, hingga Imam Al-Qurthubi. Masing-masing nama dari yang saya sebutkan itu rata-rata mahir dan pakar dalam berbagai lintas disiplin keilmuan. Karya-karya mereka juga tidak terbatas dalam satu genre disiplin keilmuan. Bahkan ada yang hampir di semua disiplin keilmuan punya karya dan sangat produktif.

Syekh Ahmad Umar Hasyim, Singa Podium Al-Azhar
Sepenggal riwayat hidup mantan rektor Universitas Al-Azhar bernama Ahmad Umar Hasyim. Alim hadis pemilik syarah Shahih Al-Bukhari dalam 16 jilid.

Terkait pernyataan Zubair yang mengatakan Asy’ariah terbelakang, tidak produktif, dan tidak inovatif itu jelas sangat bertentangan dengan ajaran teologi dari Asy'ariah yang selain punya konsepsi ushul ad-diyanah (tujuh sifat wajib Allah), tapi juga punya konsepsi nazhariyat al-kasbi (teori usaha). Di mana sebagai manusia, kita tidak (boleh) hanya pasif memasrahkan takdir diri kita pada Allah, tapi kita juga tetap harus ada daya-upaya. Berdasar teori ini, sudah jelas kiranya jika seorang Asy’arian sejati mestinya akan selalu progresif, kreatif, dan inovatif. Ketika kita kemudian di masa sekarang melihat ada beberapa (oknum) penganut Asy’ari yang jumud, bermalas-malasan, dan tidak produktif itu jelas tidak bisa menjadi justifikasi bahwa penganut Asy’ariah itu terbelakang, tidak progresif, tidak inovatif, dan tidak kreatif.


💡
Baca juga artikel lain di rubrik OPINI atau tulisan menarik Ahmad Muhakam Zein