Skip to content

Benarkah Wudu Perempuan Haid Diharamkan?

Belakangan beredar video yang menyebutkan bahwa wudu perempuan haid itu tidak sah. Bagaimana sebenarnya status perempuan yang haid dan berwudu?

FOTO: Ilustrasi perempuan haid yang mengambil wudu. (Hasan Almasi/Unsplash)
FOTO: Ilustrasi perempuan haid yang mengambil wudu. (Hasan Almasi/Unsplash)

Beberapa waktu lalu, ramai dan viral di medsos kita, sebuah potongan video yang menyebutkan bahwa wudu perempuan yang sedang haid itu tidak sah. Sehingga jika ada perempuan haid melakukan wudu, maka ia dianggap mempermainkan wudu, maka ulama (termasuk Imam An-Nawawi dalam kitab Minhaj) mengharamkannya. Begitulah kurang lebih isi dari video viral tersebut. Lantas, bagaimana sebenarnya status perempuan yang sedang haid, benarkah ia haram (secara mutlak) untuk melakukan wudu? Untuk tahu lebih jelasnya, ada baiknya kita kulik lebih dalam lagi status perempuan haid, apa saja yang dilarang baginya dan apa saja yang boleh? Termasuk bagaimana hukum wudunya?

Sebelum masuk pembahasan lebih jauh, ada baiknya kita kupas juga apa maksud dari perempuan haid dan haid itu sendiri. Haid adalah darah yang keluar dari rahim perempuan secara berkala yang keluarnya melalui alat kelamin (farji) perempuan. Haid ini bukan darah yang keluar usai seorang perempuan melahirkan. Ketentuan umumnya, darah tersebut keluar setelah melewati usia sembilan tahun hingga berakhirnya masa subur perempuan. Ketentuan khususnya, dikatakan haid jika darah yang keluar ini saat si perempuan telah memasuki usia (minimal) 9 tahun kurang 16 hari, dengan hitungan kalender Hijriah.

Bagi perempuan yang haid, ia diharamkan untuk melakukan beberapa aktivitas berikut. Di antaranya yaitu melakukan salat (baik salat fardu ataupun sunah), puasa, melakukan sujud tilawah, membaca Al-Quran (disertai niat membaca), menyentuh mushaf Al-Quran, membawa mushaf Al-Quran, masuk masjid bila khawatir darah menetes di masjid, tawaf, bersetubuh (jima'), bersenang-senang (istimta') di antara pusar sampai lutut. Secara umum, selain hal-hal tersebut di atas dihukumi boleh dilakukan. Semua ketentuan itu termaktub dalam kitab Ghayat Al-Ikhtisar; wa yuhramu bilhaidl tsamaniyatu asyiyaa, ahaduha assalatu fardlan aw naflan—ila akhirihi.

Hukum Nikah Siri dan Tajdid Nikah
Pernikahan pesohor Lesti Kejora dan Rizky Billar berujung ancaman pelaporan. Bagaimana sebaiknya kita menyikapi nikah siri & akad dua kali ini?

Adapun spesifik hukum wudu bagi perempuan yang haid menurut Imam An-Nawawi dalam kitab Syarh An-Nawawi ‘ala Shahih Muslim itu sebatas tidak disunahkan; artinya boleh, namun tidak disunahkan. “Wa amma ashabuna, fainnahum muttafiquna ‘ala annahu la yustahabbu al-wudu lil haidhi wannufasai, liannal wudu-a la yuatstsiru fi hadatsihima; Adapun (bagi) Ashab kami, mereka sepakat bahwasanya tidak disunnahkan berwudu bagi perempuan haid dan perempuan nifas. Tersebab berwudu tidak berpengaruh pada hadats mereka berdua.

Sementara Imam Ar-Ramli dalam kitab Nihayat Al-Muhtaj, beliau berpendapat bahwa keharaman bagi seorang perempuan haid untuk bersuci dari hadats (wudu) itu ketika ia niatkan wudunya untuk bersuci dengan tujuan buat beribadah, serta ia mengerti akan keharamannya. “Wamimma yahrumu ‘alaiha ath-thaharatu ‘an al-hadats biqasditta’abbudi ma’a ‘ilmiha bilhurmati litala’ubiha, fain kana al-maqsud minha annadhafah kal-aghsalil hajji, lam yumtana’; Di antara perkara yang haram atas perempuan haid yaitu bersuci dari hadats dengan tujuan beribadah besertaan dia mengerti akan keharamannya, disebabkan dia tala’ub (mempermainkan ibadah). Jika yang dikehendaki dari bersuci itu untuk kebersihan, seperti mandi haji, maka bersuci tersebut tidak dicegah." (Nihayatul Muhtaj Lil Imam Ar-Ramli juz I, halaman 330)

Untuk dalil yang spesifik mengulik hukum wudu bagi perempuan haid terdapat dalam kitab Fiqh Al-'Ibadat. “Tahrumu ‘alal haidl wannufasai ath-thaharatu bi niyyati raf’il hadatsi aw niyatil ‘ibadati kaghuslil jumu’ati, ammat-thaharatu al-masnunatu lin-nadhafati kal-ghusli lil-ihrami wa ghuslil ‘id wa nahwihi minal aghsali al-masyru’ati allati la taftaqiru ila thaharatin fala tahrumu; Haram hukumnya bagi perempuan haid dan perempuan nifas yang bersuci dengan niat menghilangkan hadats atau niat beribadah, seperti mandi Jumat. Adapun bersuci yang disunahkan untuk kebersihan seperti mandi untuk ihram, mandi salat Id dan sebagainya dari mandi-mandi yang disyariatkan (masyru’) yang tidak membutuhkan bersuci maka tidak haram." (Fiqh Al-‘Ibadat ‘ala Madzhabisysyaafi’iyyi juz I halaman 200)

Wabakdu, setelah melihat beberapa referensi teks klasik (turats), bisa dikonklusikan bahwa hukum perempuan haid yang berwudu tidak mutlak haram sebagaimana disampaikan dalam potongan video yang viral tersebut. Yang lebih tepat, hukumnya adalah tafsil hukum atau klasifikasi hukum sesuai konteksnya.

Syekhul-Azhar Serukan Hak Pendidikan untuk Anak Perempuan
Di banyak kesempatan Syekh Ahmad Ath-Thayyib menyuarakan sikap terkait hak perempuan. Yang terbaru di Hari Internasional Anak Perempuan kali ini.

Artinya, bila wudunya dilakukan untuk menghilangkan hadats atau untuk ibadah, maka itu hukumnya haram, tersebab adanya pertentangan (tanaqudh) antara fungsi wudu yang bertentangan dengan status keadaan perempuan yang sedang hadats. Selain itu juga ada unsur mempermainkan (tala'ub) sebuah ibadah, tersebab dia sudah tahu bahwa wudunya tidak bisa menghilangkan hadats yang berupa haidnya itu.

Kemudian, bila ia melakukan wudunya diniati tidak untuk menghilangkan hadats, misalnya bukan diniati untuk ibadah melainkan wudunya tujuannya untuk kebiasaan (‘adah), baik itu dengan diniati menyegarkan diri (tabarrud) atau untuk kebersihan (nazhafah), maka wudunya ini dihukumi sunah. Kenapa bisa begitu, alasannya karena apabila wudu diniati littabarrud atau littanzhif, maka fungsi menghilangkan hadats (raf’ al-hadats) atau meringankan hadats (taqlil al-hadats) tidak terjadi. Ketika itu tidak terjadi, maka tidak ada pertentangan (tanaqudh) hukum.


Latest