Bid’ah dalam Membaca Al-Quran

Dewasa ini, banyak video qari maupun qari’ah berseliweran di media sosial seperti Instagram dan YouTube. Video-video itu diunggah di akun pribadi mereka ataupun akun tertentu yang memang dibuat khusus untuk mewadahi para Al-Quran reciter (katanya) dalam menyalurkan bakat mereka, apresiasi, atau untuk tujuan yang lain, seperti Mufidmedia, Qori-qoriah Indonesia, Qori-qoriah Indonesia hitz, dll.

Jika kita lihat sekilas, tentu hal tersebut sangat bagus. Mengiramakan ayat Al-Quran sehingga nikmat didengar, mengasah bakat dengan sering berlatih (kemudian meng-uploadnya?) atau menyediakan sarana untuk mengapresiasi kemampuan mereka. Iya, berlomba-lomba dalam kebaikan.

Kontekstualisasi Fikih di Era Kiwari
Selain ubudiah, fikih belum bisa membumi secara aplikatif & efektif dalam masyarakat. Padahal mayoritas masyarakat Indonesia memeluk agama Islam.

Kita akui, selain dapat meningkatkan kualitas diri para qari, hal tersebut juga bermanfaat sebagai branding personal di sosial media. Selain itu juga, video-video yang beredar dapat menyalurkan energi positif bagi viewers-nya: menjadi lebih semangat berlatih, misalkan.

Namun, dari sekadar hal-hal di atas, ada hal lain yang lebih penting yang harus dijaga dan ditaati bagi seorang qari. Yaitu mempraktikkan hukum tajwidnya dengan baik dan benar. Mengiramakan Al-Quran tidaklah dilarang, bahkan dianjurkan dan merupakan sunnah Nabi.

Sebagaimana sabda Nabi SAW kepada Abu Musa Al-Asy’ari :

يا أبا موسى لقد أُوْتِيْتَ مِزْمَارًا مِنْ مَزَامِيْرِ آل دَاود

“Wahai Abu Musa, sesungguhnya engkau telah dikaruniai oleh Allah seruling dari seruling-serulingnya keluarga Daud.” (Riwayat Al-Bukhari)

Atau sabda beliau yang lain yang artinya, “Barang siapa yang tidak ber-taghanni (memperbagus suaranya) dengan Al-Quran -yakni ketika membacanya- maka ia bukanlah golongan kita.” (Riwayat Abu Daud dengan sanad yang baik).

Kedua hadits tersebut merupakan anjuran agar memperindah suara ketika membaca Al-Quran. Memperindah suara maksudnya adalah melemah-lembutkan dan mengiramakan bacaannya tersebut. Hal ini tentunya dengan tetap menjaga Mizan (ukuran) yang sudah ditetapkan: memperhatikan hukum tajwid dari segi tempat keluarnya huruf, sifat huruf, panjang dan pendeknya, tebal dan tipis, ghunnah, sempurna membaca harakat dhammah, kasrah dan fathah, dan lain-lain.

Namun, keadaan dewasa ini, banyak muncul para qari yang membawa hal-hal baru (bid’ah) ke dalam bacaan Al-Quran mereka. Alih-alih akan mendapatkan pahala, apa yang dibacanya sudah bukan lagi Al-Quran. Hal baru tersebutlah yang telah mengubahnya, sehingga pelantun (hanya) mendapatkan dosa.

Al-Quran

Kumpulan tulisan dengan kata kunci Al-Quran dan cabang ilmunya bisa teman-teman temukan

di sini

Para ulama dalam beberapa buku-buku tajwid seperti: Fiqhu At-Tajwid li Tilawati Al-Quran Al-Majid, Taisir Ar-Rahman fi Tajwid Al-Qur'an, Nihayat Al-Qaul Al-Mufid fi Ilmi At-Tajwid, menyimpulkan hal-hal baru tersebut yang sering dibawakan oleh qari zaman ini saat melantunkan ayat Al-Quran, yaitu sebagai berikut:

1.     At-Tarqish : yaitu qari menambah dan mengurangi huruf mad dan kemudian 'menarikan' suaranya pada huruf tersebut.

2.     At-Tahzin : yaitu mengecilkan suara (karena pura-pura sedih atau menangis) ketika membaca Al-Quransehingga tidak jelas huruf tebal dan tipisnya.

3.     At-Tar’id : menggetarkan suara seperti getaran suara karena kedinginan.

4.     Membaca huruf dengan lin dan rakhawah (lembut/lemas) sehingga terdengar seperti bacaannya orang malas.

5.     Memanjangkan harakat yang dapat melahirkan huruf mad sehingga mungkin saja mengubah makna.

6.     Memberikan huruf sifat (huruf) yang dekat dengannya baik sifat kuat maupun sifat lemah.

7.     Menebalkan huruf ra’ mati ketika waqaf padahal sebab sebelumnya mengaharuskannya dibaca tipis.

8.     Mengganti huruf, seperti sin dibaca shad pada ayat ولا تَبْسُطْهَا كُلَّ البَسْطِ .

9.     Kurang dalam membaca huruf yang bertasydid.

10.  Membaca huruf mati dengan harakat.

11.  Menambah dan mengurangi ukuran mad thabi’i ketika berhenti, tanpa sebab.

12.  Memonyongkan bibir ketika mengucapkan huruf tebal dengan berlebihan; dll.

Poin-poin di atas adalah bid’ah yang tidak boleh dipraktikkan saat membaca Al-Qur’an. Sahabat-sahabat kita, para qari bisa saja ketika melantunkan ayat Al-Quran tidak sengaja dan tidak sadar melakukan kebid’ahan tersebut, karena mungkin terlalu fokus dengan nada yang dibawakannya. Atau bahkan mungkin tidak tahu, karena memang belum mempelajari ilmu tajwid secara benar dan lengkap.

Kedua hal tersebut perlu diwaspadai agar bacaan Al-Quran tidak sia-sia. Yaitu bisa dengan lebih berhati-hati dan lebih teliti menyesuaikan nada, terlebih memperhatikan hukum tajwidnya. Jika belum memahami ilmu tajwid, maka alangkah baiknya mempelajarinya terlebih dahulu agar terhindar dari kesalahan-kesalahan baik yang jali (jelas) maupun yang khafi (tersembunyi).

Al-Quran adalah kalamullah, yang sejak diturunkannya lengkap dengan mizan atau dengan kata lain ukuran bagaimana harus dibaca. Dalam proses diturunkannya antara wahyu pertama, kedua, ketiga hingga selesai, Malaikat Jibril tidak hanya membacakan kepada Nabi Muhammad SAW, melainkan juga memperindah (tahsin) bacaan Rasulullah sehingga sesuai dengan apa yang disampaikan Allah 'azza wa jalla kepadanya. Artinya, dari kejadian tersebut bisa kita ketahui bahwa hukum tajwid yang ada saat ini mempunyai sifat tauqifi (datang dari Allah dan tidak bisa diubah).

Maka, ketika seseorang membaca Al-Quran menyimpang dengan apa yang telah diajarkan Jibril kepada Nabi Muhammad SAW, bacaannya tidak bisa dianggap Al-Quran. Begitu juga, ia tidak akan menuai pahala dari bacaannya tersebut. Berbeda dengan seseorang yang sedang belajar membaca Al-Quran, meskipun tertatih, ia tetap memperoleh pahala dari bacaannya tersebut. Dari sini juga kita akan memahami pentingnya ber-talaqqi (berhadap-hadapan), mengaji Al-Quran kepada guru yang bacaannya mempunyai riwayat bersambung sampai kepada Rasulullah SAW, agar bacaan kita juga sesuai dan dapat menuai pahala dari apa yang kita baca dari Al-Quran.

Bahaya Belajar Agama Islam Tanpa Guru
Mempelajari agama Islam menjadi berbahaya jika dilakukan secara autodidak tanpa guru. Para ulama di Al-Azhar masih menjaga betul sanad keilmuan.

Hukum Mengiramakan Ayat Al-Quran

Terlepas dari masalah ber-talaqqi, dalam memandang masalah mengiramakan ayat Al-Quran para ulama tidak bersepakat mengatakan a atau b. Tetapi, sebagian mereka mengharamkan dengan alasan khawatir menyerupakan Al-Quran dengan nyanyian yang  mengajak orang menari-nari.

Adapun alim ulama yang membolehkan, mereka mensyaratkan dengan tetap menjaga ukuran yang sudah ditetapkan, yaitu dengan tidak berlebihan, menambah, dan mengurangi harakat. Karena Hal tersebut dapat menyebabkan tambahan atau sesuatu yang baru masuk ke dalam Al-Quran, sehingga memungkinkan mengubah maknanya. Al-Ja’bari, seorang ahli qiraat dan salah satu ulama Syafi’iyyah mengisyaratkan hal tersebut dalam bait nazamnya:

اقرأ بألحان الأعارب طبعها # وأجيزت الأنغام بالميزان

“Bacalah (Al-Quran) dengan bahasa/dialek orang-orang Arab # Nada-nada itu dibolehkan dengan Mizan (hukum tajwid).”

💡
Baca juga artikel lain di rubrik ISLAMUNA atau tulisan menarik Hafidzah Assa'adah