Dai Intoleran dan Krisis Dakwah Bil Akhlaq

Beberapa pekan lalu, publik dibuat ramai oleh pernyataan dai Khalid Basalamah yang mengharamkan wayang. Sontak pernyataan tersebut membuat masyarakat dan para pecinta budaya geram. Bahkan kasus tersebut kini dilaporkan oleh Sandy Tumiwa, Ketua Humas DPP Setya Kita Pancasila ke pihak kepolisian sebagai kasus ujaran kebencian dan penodaan budaya. Kasus ini adalah sekian dari banyak contoh kasus yang menunjukkan bagaimana kelompok Wahabi bersikap intoleran terhadap budaya lokal. Jika ditarik lebih luas, menurut saya kasus ini adalah fenomena kegagalan dakwah Wahabi di Indonesia. Di samping itu, juga kegagalan mereka dalam memahami spirit Nabi dalam berdakwah.

Wahabi, saya rasa telah rancu sejak dari akal pikiran mereka dalam berdakwah. Mereka selalu menyeru untuk mengikuti Nabi Muhammad SAW dan ajarannya secara totalitas, tetapi mereka sendiri tidak meniru bagaimana Nabi berdakwah. Seperti cara dakwah mereka yang menolak adat istiadat –secara mutlak— dengan dalih bid’ah adalah tidak mencerminkan dakwah ala Nabi. Dalam kasus Khalid Basalamah di atas, adalah contoh bagaimana dakwah yang tidak dibarengi dengan etika-sosial. Mereka mengerdilkan ajaran syariat Islam hanya pada ruang ‘halal haram’ saja. Tetapi tidak melihat bagaimana kondisi sosial-budaya yang berada di masyarakat. Maka, yang terjadi kemudian Islam dipandang tidak bisa menyesuaikan dengan watak manusia yang plural dari berbagai dimensinya. Dan tentunya hal ini menurut saya bukan spirit dakwah Nabi Muhammad SAW.

Al-Hamalawi, Figur Alim yang Berjiwa Pendidik dan Penyair
Figur pendidik di Al-Azhar yang abadi dalam hati banyak murid. Ialah Syekh Ahmad Al-Hamalawi, mualif kitab sharaf Syadza Al-’Arf fi Fan Ash-Sharf.

Memahami ajaran Islam di dalam literatur dan khazanah keilmuan itu berbeda dengan proses penerapan dan penyampaiannya di masyarakat. Hal yang kedua itulah konteks dakwah yang harus dibarengi dengan etika. Di antara visi terbesar diutusnya Nabi Muhammad di dunia ini adalah untuk menyempurnakan akhlak. Sebagaimana sabda Nabi, “Sesungguhnya aku hanya diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia” (Riwayat Bukhari dan Muslim). Oleh sebab itu, Allah memuji Baginda Nabi sebagai pemilik akhlak paling paripurna, sebagaimana firman Allah dalam Surah Al-Qalam ayat 4, “Sesungguhnya engkau adalah manusia yang paling berakhlak paripurna.” Maka, dari sini saya menarik benang merah bahwa dakwah paling utama dan ideal adalah dakwah dengan akhlak (Ad-Da'watu bil Akhlak). Sebab, kemuliaan seorang dai itu dinilai dari sikap dan perilaku dalam penyampaian dakwah mereka, bukan hanya sekadar menerangkan ‘halal’ dan ‘haram’ secara arogan.

Rasulullah

Kumpulan tulisan dengan spirit kecintaan kepada Rasulullah SAW dapat teman-teman temukan

di sini

Bagaimana kemudian etika-sosial yang Nabi Muhammad SAW tekankan dalam berdakwah? Menurut Syekh Ahmad Ali Sulaiman dalam esainya di Majalah Al-Azhar yang berjudul, “Dustur Al-Akhlaq An-Nabawiyah, As-Sabil Al-Amtsal li Shalahina wazdiharina wa Ada'ina Al-Hadhari Al-Mutamayyiz”, setidaknya ada 3 nilai etika-sosial yang diajarkan Kanjeng Nabi:

Pertama, sikap mengedepankan guyub, gotong royong, dan persatuan umat manusia. Ajaran ini jelas ternas di dalam Al-Quran maupun Hadits. Yaitu sebuah prinsip bahwa sejatinya seluruh umat manusia itu satu, tidak ada yang membedakan mereka semua kecuali ketakwaan. Spirit ini kemudian bisa dinamakan sebagai Ukhuwwah Basyariyyah wa Insaniyyah. Dalam beberapa kondisi, bahkan Hifzh An-Nafsi itu berlaku tanpa melihat keyakinan apa dan status sosial seseorang. Tentang hal ini terdapat sabda Nabi yang menekankan pada sikap gotong royong: “Perumpamaan orang yang mengingkari kemungkaran dan orang yang terjerumus di dalamnya, ialah bagaikan suatu kaum yang berundi dalam sebuah kapal. Nantinya ada sebagian berada di bagian atas dan sebagiannya lagi berada di bawah kapal tersebut. Yang berada di bagian bawah kala ingin mengambil air, tentu ia harus melewati orang-ornag di atasnya. Mereka berkata, “ Andaikata kita membuat lubang saja sehingga tidak mengganggu orang yang berada di atas kita”. Seandainya yang berada di bagian atas membiarkan orang-orang bawah menuruti kehendaknya, niscaya semuanya akan binasa. Namun, jika orang bagian atas melarang orang bagian bawah berbuat demikian, niscaya mereka selamat dan selamat pula semua penumpang kapal itu.” (Riwayat Bukhari no. 2493)

Kedua, selalu menjaga pluralitas watak dan sikap masyarakat dalam berdakwah dengan menyesuaikan akal dan tradisi mereka. Hal ini tercermin dalam sikap dan dakwah Nabi kepada para sahabatnya yang memiliki latar belakang berbeda-beda. Nabi menjawab mereka dengan varian jawaban yang sesuai dengan kondisi mereka meski mereka menanyainya dengan pertanyaan yang senada. Suatu saat orang badui menanyainya tentang kebaikan, Rasul menjawab, “Orang yang berumur panjang dan berbuat amal baik”. Ketika ditanya dengan hal yang sama oleh Uqbah bin Amir, beliau menjawab,”Jagalah lisanmu, perluaslah rumahmu, menangislah atas kesalahanmu.” Seorang sahabat yang lain mendapat jawaban, “Janganlah engkau marah”, dan begitu seterusnya. Hal yang mencerminkan bagaimana nabi memperhatikan kondisi penanya dan menyesuaikan jawaban atas hal itu.

Ketiga, sikap sabar dan menjaga amarah serta jauh dari sikap arogansi, caci maki, dan menyebar permusuhan. Nabi bersabda, “Laisa asy-syadidu bis-sur’ah, innama asy-syadidu alladzi yamliku nafsahu inda al-ghadhab.” Yang berarti, “orang kuat itu bukanlah orang yang pandai bergulat, tetapi yang dapat menguasai diri dikala ia marah.” (Riwayat Bukhari).

Bijak Bermedia di Era Kiwari
Teknologi semakin maju dan arus informasi begitu deras. Kita perlu menyiapkan formulasi agar tidak terjebak atau terbawa arus menyesatkan.

Dengan membaca tiga dasar spirit ini, saya rasa kasus Khalid Basalamah terjadi karena tidak melihat terlebih dahulu kondisi budaya dan adat istiadat masyarakat Indonesia, khususnya dalam sejarah wayang, di mana konon dulu para Walisongo justru berhasil menjadikannya sebagai media dakwah Islam. Walhasil, akulturasi Islam dan budaya yang dilakukan Walisongo bisa menyebarkan Islam di bumi Indonesia. Itulah menurut saya dakwah yang sejalan dengan spirit dakwah Nabi Muhammad SAW.

Selain itu, dakwah bil-akhlaq ala kanjeng Nabi Muhammad menurut saya bukan hanya terbatas pada pembicaraan halal-haram, tetapi mencakup bagaimana membawa visi menjadikan umat Islam itu guyub, rukun, dan bersatu. Kesatuan sebuah tatanan masyarakat tersebut tidak akan terwujud kecuali melalui perbaikan moral dan etika pada diri mereka. Sebaliknya, terpecah belahnya sebuah tatanan masyarakat adalah karena sikap iri-dengki yang membuat kezaliman terjadi di mana mana. Ahmad Syauqi, sang penyair ulung itu menyenandungkan sebuah syair, “wainnama al-umamu al-akhlaqu ma baqiyat (sesungguhnya inti dari tatanan kaum itu adalah akhlaknya), Fain humu dzahabat akhlaquhum dzhahabu (jika akhlak mereka sudah hilang, maka hilang pula mereka semua)”.

💡
Baca juga artikel lain di rubrik OPINI atau tulisan menarik Lukman Hakim Rohim