Di Balik Penamaan Masjid Al-Azhar

Jika membincang sejarah masjid Al-Azhar, maka kita mesti merujuk kembali kepada sejarah masuknya dinasti Fathimiyyah ke negeri Mesir. Karena, dari merekalah kisah itu bermula.

Syahdan, setelah Kairo ditaklukkan oleh panglima Jauhar ash-Saqlabi pada tanggal 17 Syakban 358 H (969 M), ia kemudian mendirikan ibukota dinasti Fathimiyyah dan diberi nama al-Mansuriyyah, yang dinisbatkan kepada khalifah ketiga dinasti Fathimiyyah, al-Mansur billah, Abu ath-Thahir Ismail, yang tak lain adalah ayah daripada khalifah keempat, al-Mu’iz li Dinillah, Abu Tamim Ma’ad. Namun, setelah kedatangan khalifah al-Mu’iz ke negeri Mesir, beliau kemudian mengubah nama tersebut menjadi al-Qahirah al-Mu’izziyyah.

Setahun setelahnya, panglima Jauhar mulai membangun masjid Al-Azhar sebagai masjid resmi dinasti Fathimiyyah. Tak hanya itu, masjid ini juga dijadikan sebagai markas penyebaran dakwah Syiah Ismailiyyah.

Proses pembangunan masjid dimulai pada tanggal 24 Jumadilawal 359 H (970 M) dan memakan waktu kurang lebih selama 2 tahun 3 bulan hingga rampung, tepatnya pada tanggal 7 Ramadan 361 H (972 M). Dan pada hari ini pula, masjid ini diresmikan dengan dilaksanakannya salat Jumat untuk pertama kalinya.

Untuk penamaan masjid, terdapat sejumlah perbedaan pendapat di antara para sejarawan. Ada yang mengatakannya dengan nama masjid Al-Qahirah, yang dinisbatkan kepada kota Qahirah (baca: Kairo) dan ada yang mengatakannya dengan nama masjid Al-Azhar.

Namun, penyebutan masjid Al-Azhar tidaklah masyhur seperti hari ini. Justru, penyebutan masjid Al-Qahirah lebih mendominasi pada masa-masa Fathimiyyah. Hal ini diperkuat dengan pernyataan mayoritas sejarawan Mesir yang hidup pada masa tersebut, seperti al-Musabbihi, Ibnu ath-Thuwair, Ibnu al-Mamun, dan lainnya. Di dalam buku mereka, sangat jarang ditemukan diksi masjid Al-Azhar. Bahkan, penyebutan masjid Al-Qahirah terus berlanjut hingga abad ke-8.

Urgensitas Ujian Seleksi Masuk Al-Azhar
Hal ihwal seleksi nasional masuk universitas Al-Azhar yang dipersoalkan beberapa orang.

Imam al-Maqrizi (w: 845 H), sebagai sejarawan pembaharu Mesir juga banyak menyebutkan dalam buku-bukunya tentang penyebutan masjid Al-Qahirah dan masjid Al-Azhar. Dari sini dapat dikatakan bahwa penyebutan masjid Al-Azhar mulai popular disebut ketika masa-masa setelah imam al-Maqrizi. Hal ini diperkuat dengan buku-buku sejarawan setelahnya, seperti as-Sakhawi, as-Suyuthi, Ibnu Taghri Bardi, asy-Sya’rani, al-Jabarti, dan lainnya. Bahkan saking populernya, penyebutan masjid Al-Qahirah sudah tidak pernah terdengar kembali hingga hari ini di kalangan masyarakat Mesir, bahkan dunia. Kalaupun ada, hanya sekedar untuk muqaranah (pembanding) dalam sebuah tulisan sejarah ‘penamaan masjid al-Azhar’.

Untuk nama Al-Azhar sendiri terdapat beberapa perbedaan pendapat dalam sebab-sebab penisbatannya. Pendapat pertama menyebutkan bahwa penamaan itu dinisbatkan kepada az-Zahra, gelar daripada sayidah Fathimah putri Rasulullah Saw. Kedua, dikarenakan adanya istana khalifah yang diberi nama dengan al-Qushur az-Zahirah. Dan ketiga, terkait sebuah impian dan doa bahwa masjid ini akan mengalami izdihar (berkembang pesat) dengan ilmu pengetahuan. Dari semuanya, pendapat pertama lebih dikukuhkan oleh kalangan para sejarawan. Meskipun, hal tersebut tidak lantas memungkiri sebab yang lainnya.

Terlepas dari berbagai perbedaan pendapat sejarah di atas, Al-Azhar hingga hari ini masih senantiasa eksis dalam posisinya. Menjadi pondasi utama dalam penyebaran Islam yang moderat dan perdamaian dunia.

💡
Baca juga artikel lain di rubrik TARIKH atau tulisan menarik Amirul Mukminin