Skip to content

Dinamika Perempuan Muslimah Generasi Awal

Di dalam Islam, kesetaraan laki-laki dan perempuan terwujud dalam banyak aspek. Tulisan ini berusaha memotret dinamika muslimah generasi awal.

FOTO Syekhul-Azhar Prof. Dr. Ahmad Ath-Thayyib
FOTO Syekhul-Azhar Prof. Dr. Ahmad Ath-Thayyib

Melalui kisah Adam dan Hawa, Al-Quran secara tidak langsung menegaskan kesetaraan laki-laki dan perempuan. Semua bentuk titah Tuhan di dalam Al-Quran, melibatkan keduanya lewat penggunaan alif itsnain (wa la taqraba hadzihi asy-syajarah, fawaswasa lahuma asy-syaithan). Artinya sejak awal penciptaan manusia, keberadaan perempuan setara dengan laki-laki. Menurut Syekh Ahmad Ath-Thayyib, kesadaran semacam ini adalah fondasi untuk meneguhkan hak-hak perempuan muslimah.

Kesetaraan laki-laki dan perempuan dalam aspek personal, terwujud dalam bentuk pengakuan Islam terhadap status kemanusiaan. Di samping setara sebagai manusia, perempuan ataupun laki-laki setara di dalam tanggung jawab sebagai hamba. Keduanya mendapat kemuliaan yang Tuhan berikan tanpa melihat atribut apapun yang melekat pada diri mereka. Sedangkan kesetaraan dalam aspek sosial adalah keterlibatan perempuan dan laki-laki secara aktif dalam kerja-kerja sosial. Dinamika sahabat perempuan—ketika Nabi dan Khulafaur Rasyidin masih hidup—telah memotret kerja-kerja itu.

Pada masa Nabi, perempuan menjadi sosok yang tak asing beraktivitas di masjid. Dalam persoalan beribadah dan bertuhan, kalangan perempuan berhak salat jamaah bersama Nabi di belakang kaum laki-laki. Ritual peribadatan perempuan di masjid sahih adanya dan Tuhan hadir di sela-selanya.

Tak hanya itu, perempuan muslimah generasi awal juga berperan aktif di medan pertempuran. Mereka datang untuk mengobati prajurit yang terluka dan memberi minum prajurit yang kehausan. Bahkan dalam kondisi genting yang mengharuskan mereka turun ke medan pertempuran, mereka tanpa ragu mengambil senjata dan berpartisipasi dalam misi pertempuran.

Peristiwa ini mengindikasikan Islam membolehkan perempuan ikut serta dalam laku kesalehan sosial. Perempuan berhak berbuat baik untuk diri sendiri sekaligus kemaslahatan bersama. Tentu saja kita meyakini bahwa kesalehan sosial bersifat universal, dengan artian, standarnya bukan pada satu jenis kelamin saja (laki-laki). Jika ditarik jauh pada masa sekarang, barangkali contoh nyatanya adalah keterlibatan perempuan dalam bela negara. Bela negara bisa berarti bela masyarakat. Perempuan berhak memastikan masyarakat tidak hilang sumber dayanya, tanah adatnya, dan sumber ekonominya. Perempuan boleh terlibat dalam kerja-kerja pembelaan dan pelayanan sosial.

Syekh Ahmad Ath-Thayyib juga menuturkan, kalangan perempuan pada masa itu berhak memilih pasangan hidup mereka, baik dengan pertemuan langsung ataupun melalui perantara tulisan. Mereka juga berhak mengajukan gugatan cerai jika pasangannya berbuat zalim atau merendahkan martabat mereka.

Lebih jauh, Syekh Ahmad Ath-Thayyib menegaskan sahabat perempuan mendapat kesempatan belajar, berdiskusi, dan mendengarkan kuliah dari Nabi Muhammad. Nabi meneguhkan bahwa kuliah dan aktivitas berpikir—yang kadang njelimet dan hampir menjadi kewajiban agama itu, berlaku untuk kalangan perempuan. Nabi merestui perempuan untuk mempunyai ilmu, berpengetahuan dan berpendidikan tinggi. Sehingga menutup akses belajar untuk perempuan, merendahkan perempuan dalam hal pemahaman spasial dan kemampuan berabstraksi, tentu saja tak sesuai dengan tindak lampah Kanjeng Nabi.

Selain keterlibatan perempuan di medan pertempuran, kebebasan memilih, dan kesempatan bagi perempuan dalam aktivitas intelektual, Syekh Ahmad Ath-Thayyib juga menyinggung dinamika perempuan saat mengutarakan pendapatnya di depan Khalifah Umar bin Al-Khattab.

Peristiwa itu terjadi dalam persoalan mahar nikah (yang mahal). Umar mengumpulkan warganya dan mengumumkan bahwa mahar perempuan tidak boleh lebih dari 40 uqiyah atau 400 dirham. Seandainya lebih dari itu, maka akan masuk kas negara. Seorang perempuan kemudian berdiri melontarkan protes kepada Umar, ia berkata: tidak bisa begitu, Wahai Amir Al-Mukminin. Umar bertanya, memangnya kenapa?Ia menjawab, Allah membolehkan perempuan menerima mahar dengan jumlah banyak (qinthar min adz-dzahab). Lalu ia membaca Surah An-Nisa: 20. Kemudian Khalifah Umar mengoreksi pernyataannya di awal.

Munakahat

Kumpulan tulisan dengan topik pernikahan dan keluarga islami dapat teman-teman temukan

di sini

Kejadian ini cukup menakjubkan. Bagaimana mungkin ada seorang perempuan dengan penuh percaya diri memprotes seorang pemimpin di depan banyak orang. Waktu itu, Umar menjabat sebagai khalifah yang berkuasa di negara terkuat dalam catatan sejarah. Sahabat perempuan tadi tentu meyakini apa yang ia lakukan direstui agama. Andai saja bukan karena keteguhan iman, mungkin ia tak akan se-berani itu.

Dengan demikian, bisa kita simpulkan agama Islam mendengar pendapat perempuan. Setiap perempuan boleh mengutarakan pikiran-pikiran mereka. Perempuan boleh membantah dan/atau menguatkan pendapat orang lain. Dalam Islam, perempuan punya otoritas dan kapasitas mengungkapkan ide dan pendapatnya tanpa pembungkaman.

Dalam dimensi sosial yang lain, perempuan berhak terlibat dalam pengambilan kebijakan publik. Perempuan berhak ikut serta dalam kontestasi politik. Ia berhak memilih dan mengusulkan pemimpin, baik melalui pemilihan umum ataupun musyawarah. Seperti halnya Abdurrahman bin Auf yang bertanya dan mendengar aspirasi sahabat perempuan setelah adanya musyawarah dan mufakat Utsman bin Affan diangkat menjadi khalifah.

Setelah adanya mufakat, bisa saja Abdurrahman bin Auf langsung ketok palu tanpa mendengarkan aspirasi kalangan perempuan. Namun, ia menyadari bahwa perempuan berhak terlibat dalam ihwal politik dan kekuasaan. Ia menyadari betul perempuan mampu memikirkan sebuah kehidupan sosial lewat pembangunan tatanan sosial. Perempuan punya potensi untuk memfasilitasi dan mencari kesempurnaan hidup yang mungkin bukan material sebagai parameternya. Oleh karena itu, kesempatan memilih pemimpin bagi perempuan juga berlaku sebaliknya, yaitu perempuan berhak dipilih sebagai pejabat/pemerintah.

Lain dari pada itu, perempuan muslimah generasi awal berhak mandiri secara finansial. Perempuan berhak mengupayakan segala hal yang terkait erat dengan pengembangan perekonomian. Perempuan boleh pergi ke pasar untuk memenuhi kebutuhannya dari luar rumah. Sebagaimana cerita istri Nabi, Saudah binti Zam’ah—seperti penuturan Syekh Ahmad Ath-Thayyib.

Dinamika sahabat perempuan menggambarkan betapa Islam mengakui potensi perempuan. Kalangan perempuan diberi ruang lebih untuk mengaktualisasi diri mereka. Dinamika perempuan muslimah generasi awal adalah bagaimana perempuan ikut andil-berbaur dengan masyarakat, berhak menentukan pilihan, mendapat kesempatan dan berinteraksi dalam ruang-ruang terbuka. Perempuan tidak inferior dalam kehidupan. Perbincangan tentang hidup dan kehidupan tidak sepenuhnya wilayah laki-laki. Baginda Nabi telah bersabda, bahwa perempuan setara dengan laki-laki (Innama an-nisa syaqaiq ar-rijal).

Kita hidup di zaman setelah para sahabat perempuan. Seharusnya kita berkiblat pada dinamika mereka ketika Nabi dan Khulafaur Rasyidin masih hidup, pada muslimah generasi awal. Bukan pada dinamika perempuan sebelum mereka, atau jauh setelah mereka.


💡
Baca juga artikel lain di rubrik ISLAMUNA atau tulisan menarik Sawdah A. Fawzi

Latest