Dunia yang Hina Itu Adalah Perilaku Kita

Sebagai seorang muslim, agama Islam mengajarkan kita untuk mengambil jarak dengan dunia. Dalam sebuah hadits, Nabi menggambarkan dunia sebagai tempat peristirahatan sejenak ('Abir as-sabil). Kehidupuan di dunia ini ibarat lakon saja atau dalam bahasa Jawa disebut “mampir ngombe”. Dalam Al-Quran dan hadits, banyak pesan yang menjelaskan betapa dunia itu hina dan tempat bermain saja. Misalnya dalam Surah Ali Imran, “Wamal Hayat ad-Dunya illa Mata’ul Ghurur”, dalam Surah Al-Ankabut, “Wama Hadzihi al-Hayat Ad-Dunya Illa Lahwun Wa Laibun”. Bahkan dalam sebuah hadits riwayat Abu Hurairah disebutkan sabda Nabi, “Ala Inna ad-Dunya Malunatun, Malunun Ma fiiha, Illa Dzikrullahi Wa Ma Walahu, Wa Alimun Aw Mutaallimun”, (Ketahuilah, sesungguhnya dunia itu dilaknat dan dilaknat apa yang ada di dalamnya, kecuali dzikir kepada Allâh dan ketaatan kepada-Nya, orang berilmu, atau orang yang mempelajari ilmu). (HR At-Tirmidzi).

Namun, seperti apakah dunia yang perlu kita jauhi itu? Apakah dunia dengan segala maknanya? Apakah Islam mengajarkan kesadaran anti-dunia, lantas hidup secara asketik saja? Ayat-ayat dan hadits di atas perlu kita letakkan pada konteks yang tepat sebab jika dipahami secara dangkal akan menunjukkan bahwa Islam itu anti-dunia. Hal yang justru kemudian membuat umat Islam jumud, anti-realistis dan bersikap acuh pada keadaan dunia hari ini. Jika demikian, apa yang dimaksud dunia di dalam nas ayat dan hadits tersebut?

Dunia Islam Merespon Toa
Alim ulama Mesir mempunyai pengalaman dalam menyikapi polemik toa di masjid. Tulisan ini menceritakan bagaimana para ulama dunia merespon hal ini.

Mula-mula, Islam sama sekali tidak mengajarkan dikotomi dunia dan akhirat atau mendahulukan yang satu dari yang lain. Islam juga tidak anti-dunia dalam  arti sama sekali tidak memerdulikan masalah praksis umat Islam mulai ekonomi, politik, hingga kegiatan sehari-harinya. Sejatinya Islam membawa ajaran universal yang menempatkan dunia sebagai aspek realistis di mana umat Islam harus menjalankan kewajibannya sebagai khalifatullah. Islam juga menganggap penting aspek duniawi yang terangkum dalam bagaimana Al-Quran mengajarkan kemanusiaan, keadilan, dan pelestarian alam. Lalu jika demikian, dunia seperti apakah yang dikecam oleh Islam?

Dari hadits di atas para ulama menafsirkan dunia yang dimaksud adalah segala sesuatu yang membuat manusia jauh dari Allah. Sayyid Alawi menyebut dengan “Kulli ma Asyghala 'Anillah”, “segala sesuatu yang membuat manusia sibuk hingga berpaling dari Allah”. Dari tafsir ini, secara tersirat bukan dunia dari dzatnya yang dimaksud, melainkan sikap, perilaku manusia yang condong pada dunia. Sehingga bahasa ‘dunia’ dalam hadits itu sejatinya adalah satir bagi perilaku manusia: kerakusan, kedzaliman, dan ketamakan. Dunia bukanlah aktor yang menyebabkan keburukan dan kerusakan di dalamnya, tetapi manusialah yang membuat keburukan itu. Jadi sadar atau tidak sadar, manusialah yang melahirkan ‘kehinaan’ di dunia ini.

Ketika kita bawa makna tersebut secara kontekstual hari ini, maka ‘dunia’ itu bisa kita maknai kegilaan zaman modern.  Mula-mula modernitas yang dulu membawa semangat kebangkitan (aufklarung) dengan teknologi dan rasionalitas, namun hari ini ia justru sedang menggali kubur untuk dirinya sendiri: kapitalisme, konsumerisme, pembangunan hingga teknologi yang eksploitatif yang merusak kemanusiaan dan kosmos. Kapitalismelah yang manawarkan kepada manusia surga ‘dunia’ bernama kapital (uang) dan pasar yang dipromosikan sebagai kemajuan modernitas.

Biografi

Sepilihan riwayat hidup para tokoh dapat teman-teman temukan

di sini

Tepat kemudian apa yang dipikirkan oleh para filosof mazhab Frankfurt ketika mengkritik modernitas. Mereka, seperti Horkheimer, Adorno, Marcuse hingga Habermas adalah manusia-manusia —yang menurut saya— pengamal zuhud yang sudah jauh-jauh hari mewanti-wanti bahaya modernitas. Terlepas apa keyakinan dan agamanya, hati nurani mereka berkata sama dengan apa yang dianjurkan agama: bahwa kerakusan manusia modern itu telah menyalahi dasar-dasar kemanusiaan. Adorno dan Max Hokheimer menulis kritiknya dalam “Dialektika Aufklarung”. Menurut mereka,modernitas itu justru menjadikan manusia semakin irasional. Di saat kebangkitan (Aufklarung) Eropa menjanjikan rasionalitas dan kebahagiaan umat manusia, namun faktanya hadirnya sistem kapitalisme membuat manusia irasional sehingga menjadi budak pekerjaan dan birokrasi. Teknologi dan industri akhirnya bukan lagi ada untuk kemaslahatan manusia, melainkan terjadi sebuah pembalikan dari subjek-objek menjadi objek-subjek: manusia justru dijadikan budak industri dan teknologi.

Selain dua filsuf di atas, Herbert Marcuse menurut saya juga menyadarkan kita semua sistem modernitas hari ini. Menurutfilsuf yang dijuluki inspirator demo mahasiswa 1968 itu, hari ini kita tengah dikuasai dan direpresi oleh sistem yang totaliter. Yaitu “One Dimensional Man” “manusia dengan satu dimensi”, yang juga menjadi judul bukunya. Di bawah kapitalisme tingkat lanjut (neo-liberal) hari ini, manusia secara terus menerus dipaksa (represi) untuk mengikuti alur perkembangan dunia: mulai dari globalisasi budaya, ekonomi, politik, hingga gaya hidup. Manusia secara tidak sadar merasa bahagia atas pilihannya, kebebasan dan kemerdekaannya yang sejatinya hanya bayangan-bayangan represif (terpaksa). Dalam bahasa Marcuse, kita tengah berada pada situasi desublimasi represi: keadaan represi yang terus menerus secara tidak sadar.

Gelora Pembaruan Syekh Hasan Al-’Aththar
Kedatangan Prancis ke Mesir bukan hanya membawa prajurit, melainkan juga peneliti. Alim Al-Azhar sang pembaru ini pun berinteraksi dengan mereka.

Dengan demikian menurut saya kritik di atas benar dan faktual adanya: bagaimana teknologi menjauhkan kita dari diri kita, bagaimana iklan memengaruhi pilihan-kebahagiaan kita, bagaimana kita beralih dari konsumsi nilai-guna menjadi konsumsi merek (pada ponsel Iphone, sepatu Nike misalnya). Barangkali itulah yang tengah diperingatkan oleh Al-Quran dan hadits dengan bahasa “dunia yang hina”. Dunia yang hina itu adalah modernitas yang tengah menjelma menjadi zaman edan, yang, bukan hanya menjauhkan kita dari Allah SWT, tetapi juga menjauhkan kita dari kemanusiaan, spiritualitas, dan arah masa depan manusia.

Namun pada akhirnya modernitas dan kapitalisme bukanlah kambing hitam. Dengan bahasa lain, mengkambing-hitamkan ‘dunia yang hina’ dengan pemahaman dunia itu sendiri. Melainkan sejatinya menurut saya kehinaan itu ada pada perilaku kita: kerakusan mencari untung (kapitalisme), ketamakan (konsumerisme) dan cara hidup yang hedon. Dunia yang hina itu adalah perilaku manusia di dalamnya. Tabik!

💡
Baca juga artikel lain di rubrik OPINI atau tulisan menarik Lukman Hakim Rohim