Etika Lingkungan dalam Islam

Agama Islam mengajarkan keselarasan antara ilmu dan amal, antara identitas keislaman seseorang dan perilakunya. Kenyataannya hal itu sulit dilakukan, bahkan dalam aspek yang paling sederhana: kebersihan. Misalnya, kemarin kita bersama-sama melakukan perayaan Maulid Nabi, tetapi apakah kita peduli dan sadar berapa sampah plastik yang dihasilkan selama peringatan Maulid Nabi? Itu belum terhitung acara dan kegiatan lainnya yang lebih besar. Kenyataan ini berarti bahwa semangat keagamaan kita tidak sebanding dengan kepedulian kita pada lingkungan.

Dari contoh kecil tersebut, bisa ditarik lebih luas pada efek konsumerisme umat Islam, pembangunan, dan gerakan infrastruktur di Indonesia. Hutan di Kalimantan hingga Papua masih terus mengalami eksploitasi dan penghancuran oleh korporasi. Menurut riset yang dilakukan oleh Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), didapatkan data bahwa seluas 159 juta Hektar wilayah hutan yang terkaveling izin investasi industri ekstraktif. Sedangkan data kerusakan sungai yang dihimpun oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) tercatat bahwa dari 105 sungai yang ada, 101 di antaranya dalam kondisi tercemar. Adapun dampak dari pengalihfungsian hutan dan lingkungan yang pada umumnya menjadi wilayah industri ekstraktif, baik itu perkebunan, properti, tambang, infrastruktur dan kelautan, sarat akan beragam masalah. Dari Laporan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) sepanjang tahun 2018 tercatat sebanyak 410 konflik agraria dengan luas wilayah konflik 807.177 Hektar, dengan melibatkan 87.668 KK.

Nyala Api Menara
Menara tidak hanya dipergunakan untuk mengumandangkan azan. Ada fungsi lain yang menarik untuk ditilik.

Di saat yang sama, kerusakan alam di Indonesia menurut saya juga berkaitan erat dengan efek dari revolusi Industri 4.0. Mungkin saja ramalan Yoval Noah Harari dalam novelnya, Homo Deus, tentang berakhirnya peradaban manusia di tangan peradaban mesin, akan menjadi kenyataan. Revolusi Industri 4.0, gerakan pembangunan, konsumerisme secara massal, menurut saya ibarat bom yang ditanam dalam roti: tampak lezat dari luar tetapi akan meledak dari dalam. Kita bisa membayangkan keadaan-keadaan berikut: pabrik berdiri dimana-mana menggantikan tanah subur pertanian, digitalisasi seluruh aktivitas manusia hingga ia terasingkan, robot-robot super canggih mulai menggantikan buruh, pasar tradisional digantikan Marketplace, kendaraan umum digantikan dengan gojek, Grab. Akan berakhir seperti apakah masa depan manusia dan alam jika demikian?

Sebagai umat Islam, seharusnya kita tidak menutup mata akan kenyataan ini. Sudah saatnya kita mawas diri dari teknologi yang menjerat, juga dari produksi-produksi yang menawarkan kemudahan, tetapi merusak alam. Masalahnya, kita masih disibukkan oleh persoalan internal umat Islam: isu sektarian, bid’ah-syirik, hingga syiah-liberal. Hal yang mengalihkan perhatian kita pada kondisi dunia saat ini. Terlebih dalam situasi pandemi ini, kita tentu mau tidak mau harus menghargai alam. Pandemi bisa diterjemahkan sebagai kemurkaan alam terhadap kerakusan manusia: industrialisasi massal, konsumerisme, penjarahan sumber daya alam dan sebagainya.  Dari sini, kita perlu sadar bahwa beragama bukan hanya urusan ibadah vertikal saja, melainkan Islam yang datang sebagai rahmatan lil-Alamin juga mengajarkan pemeluknya untuk beribadah secara horizontal, yakni turut menjaga dan melestarikan alam.

Al-Quran

Kumpulan tulisan dengan kata kunci Al-Quran dan cabang ilmunya bisa teman-teman temukan

di sini

Oleh sebab itu, menurut saya kita perlu menilik kembali pandangan Islam secara aksiologis terhadap alam. Dengan khazanah Al-Quran dan hadis serta turats atau warisan kebudayaan Islam yang begitu kaya, saya kira itu cukup bagi kita untuk menggali asas-asas ekologi yang dibalut dengan nilai etika. Suatu wacana yang barangkali bisa disebut dengan etika lingkungan dalam Islam. Pandangan tersebut diharapkan kemudian bisa menjawab tantangan zaman: revolusi industri 4.0 yang mengancam manusia sekaligus alam semesta. Maka, dari sini, nilai-nilai Islam akan menjadi ‘rem’ yang bisa menghambat arus industrialisasi dan perusakan alam semesta di satu sisi, juga menjadi formulasi di sisi lain untuk membangkitkan gerakan melestarikan alam yang diartikulasikan dengan ilmuan sains hari ini.

Etika Lingkungan Islam dan MSC 5.0

Islam sebagaimana kita ketahui, adalah agama universal yang mencakup berbagai aspek kehidupan manusia. Etika lingkungan dalam Islam, menjadi semacam dasar aksiologis manusia dalam menjalankan perannya sebagai khalifah di muka bumi ini. Dalam etika lingkungan Islam, peran manusia sebagai khalifah di muka bumi ini bukan bermakna liberal-materialistik: dimana manusia dapat mengekploitasi sumber daya alam semesta seenaknya. Akan tetapi lebih bermakna proporsional (moderat): memanfaatkan alam di satu sisi, juga melestarikannya di sisi lain.

Etika lingkungan dalam Islam itu dibangun berdasarkan bagaimana Islam memandang alam semesta—yang menjadi lingkungan hidup manusia. Mengutip dari tulisan “Al-Bi’ah baina At-Tawazun Al-Ilahi wa Al-Ifsad Al-Basyari” karya Syekh Nabil Muhammad Taufiq dalam Majalah Al-Azhar edisi September 2021, setidaknya ada tiga garis besar pandangan Islam terhadap lingkungan (alam): Pertama, lingkungan menurut Islam adalah seluruh alam semesta (kosmos) secara materiil yang Allah ciptakan demi kemaslahatan manusia di dunia. Al-Quran dan hadis juga telah mengisyaratkan bahwa Allah SWT telah mengatur alam sedemikian rupa, dan memberikan sebuah sistem (an-nasaq al-bi’i) yang hari ini kita sebut “ekosistem” di dalamnya. Yaitu pada ayat ke-3 dalam Surat Al-Mulk dan ayat ke-22 Surat Al-Baqarah.

Keharusan Ijtihad di Masa Sekarang
Membincang krisis pemikiran Islam modern. Catatan pinggir atas buku Dr. Mahmud Hamdi Zaqzuq.

Kedua, syariat Islam telah mengajarkan bagaimana manusia hidup secara sehat dan bersih, dengan itu ada anjuran wudu dalam praktik salat, mandi dll. Begitu juga melarang tindakan-tindakan perusakan lingkungan. Allah juga telah mencukupkan seluruh kekayaan alam semesta untuk kebutuhan manusia, sejak awal mula keberadaannya hingga hari kiamat. Yang dengan itu Islam juga menganjurkan manusia untuk mengelola kekayaan alam semesta sebaik-baiknya. Hal itu direkam di dalam ayat ke-9-10 Surat Al-Fussilat. Begitu juga sabda Nabi SAW yang berbunyi, “hingga hari kiamat akan datang, sedang di tangan salah satu kalian terdapat satu potongan tumbuhan. Maka, jika ia mampu untuk menanamnya sebelum kiamat itu datang, maka hendaklah ia melakukan (mencangkoknya).”

Ketiga, Islam memiliki ajaran yang sejalan dengan para ilmuan sains dalam upaya-upaya untuk mendorong manusia dalam menjaga dan melestarikan sumber daya alam. Juga menolak secara tegas tindakan eksploitatif yang merusak alam. Hal itu sebagaimana Allah berfirman, “Telah tampak kerusakan di daratan dan di lautan akibat dari ulah tangan-tangan manusia.” Surat Ar-Rum ayat 41.

Dari sini menjadi jelas bahwa Islam mengajak manusia bersikap proporsional (moderat) kepada alam semesta. Seorang muslim diajarkan untuk memanfaatkan alam dalam kadar kebutuhannya di satu sisi, juga diperintah untuk melestarikannya. Lalu bagaimana mengartikulasikan sikap etika lingkungan Islam ini di era revolusi industri 4.0? Apa yang bisa dilakukan oleh umat Islam dalam menghambat arus teknologi, industrialisasi, dan merebaknya konsumerisme yang bersifat merusak peradaban manusia itu sendiri dan alam semesta?

Di saat negara-negara maju di Barat merasa senang dalam gebrakan revolusi industri 4.0, ada fenomena menarik dari Jepang. Akhir-akhir ini, Negeri Samurai itu dikabarkan membawa terobosan yang dikenal dengan Society 5.0. Gebrakan yang diusulkan sejak tahun 2016 tersebut adalah sistem Masyarakat Super Cerdas, atau yang disebut MSC 5.0, dimana sebuah negara membuat keseimbangan antara teknologi, manusia, dan alam. Sekalipun teknologi dibuat untuk kebutuhan manusia, ia ditaklukkan agar ramah lingkungan. Teknologi akan tidak menguras sumber daya alam, begitu juga tidak berperan aktif menggantikan aktivitas-aktivitas riil manusia sebagaimana dalam revolusi industri 4.0. jika dalam bayangan Harari, teknologi akan menggantikan peradaban manusia, maka Society 5.0 maju lebih progresif untuk membuat teknologi kembali mengabdi untuk manusia dan alam semesta.

Bijak Bermedia di Era Kiwari
Teknologi semakin maju dan arus informasi begitu deras. Kita perlu menyiapkan formulasi agar tidak terjebak atau terbawa arus menyesatkan.

Di samping teknologi 5.0 Jepang, akhir-akhir ini kita juga mendengar gerakan teknologi ramah lingkungan yang juga menjadi terobosan menarik. Seperti industri biogas (bahan bakar zat organik), biofuel (tumbuhan organik), tenaga listrik sel surya, tenaga air, angin. Begitu juga terapannya di dalam aspek lingkungan ada biopori, fitoremediasi. Dalam transportasi juga ada kendaraan hidrogen, mobil listrik, mobil surya, dll.  Terobosan ini akan menjadi masa depan yang cerah bagi kemaslahatan alam semesta dan manusia.

Dengan ini, menurut saya gerakan teknologi 5.0 Jepang dan teknologi ramah lingkungan di atas merupakan implementasi riil dari etika lingkungan dalam Islam. Kenyataan ini menjadi otokritik bagi kita umat Islam yang sudah ketinggalan jauh. Kita masih sibuk pada isu-isu sektarian, bid’ah-syirik, syiah-liberal, dan identitas lainnya, di saat yang sama kita tenggelam dalam arus konsumerisme yang ekploitatif dan merusak lingkungan. Sementara umur dunia sudah semakin menipis. Maka, sudah saatnya kita membuka mata, melakukan terobosan-terobosan pelestarian alam. Wallahu a’lam.


💡
Baca juga artikel lain di rubrik OPINI atau tulisan menarik Lukman Hakim Rohim