Fatwa-fatwa Muslimah Era Kekinian

Sebagai salah satu institusi keagamaan di Mesir, Darul Ifta selalu sigap merespon permasalahan kontemporer umat Islam. Sebut saja buku Fatawa An-Nawazil ketika wabah Covid-19 menyerang tiga tahun silam, berselang beberapa bulan kemudian, Darul Ifta mengeluarkan buku setebal 740 halaman guna merespon berbagai pertanyaan seputar ibadah yang sedikit banyak berubah selama masa pandemi.

Buku yang akan saya ulas kali ini juga tidak berbeda jauh dengan Fatawa An-Nawazil Waba' Covid-19 di atas. Keinginan saya meresensi berangkat dari 15 Fatwa Imam Akbar Syekh Ahmad Ath-Thayyib di laman utama koran Shaut Al-Azhar (16/3). Rekam jejak Syekh Ahmad Ath-Thayyib dalam merespon isu kontemporer dan pembaharuan (tajdid) membuat saya ingin mengulik lebih dalam hal ihwal buku Fatawa wa Ahkam Al-Mar’ah fi Al-Islam atas pendialogan teks (Al-Quran dan Sunnah) dengan konteks dalam beragama, khususnya di Indonesia.

Syair Ghazal Walladah, Penyair Perempuan dari Andalusia
Mengenang Walladah bintu Al-Mustakfi, seorang penyair di Negeri Andalusia. Figur perempuan yang menganggit syair-syair bercorak Ghazal yang pilu.

Secara eksplisit, telah disebutkan dalam Surah Al-Ahzab ayat 35 yang berhubungan dengan kemuliaan bagi laki-laki dan perempuan berupa ganjaran dan pahala: “Sungguh, laki-laki dan perempuan muslim, laki-laki dan perempuan mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempan yang khusyuk, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang menjaga kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah SWT telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.”

Ayat di atas adalah titik paling krusial, di mana pada penciptaan manusia, Allah SWT sudah mendesain sedemikian rupa tanpa ada pembeda bahwa kedudukan laki-laki lebih utama dibanding perempuan dan sebaliknya. Susunan ayat yang menunjukkan ithnab (melebih-lebihkan) dalam penyebutan golongan bertujuan untuk menetralkan perbedaan pemahaman manusia terhadap ciri-ciri yang menjurus pada kelebihan satu gender tertentu. Ithnab tersebut sebagai isyarat bahwa 10 golongan yang disebutkan di atas mencakup seluruh sifat umat Islam dan maqashid-nya, tanpa ada tendensi bahwa persamaan antara laki-laki dan perempuan hanya terbatas pada satu sifat tertentu.

Menyoal Antroposentrisme dan Islam
Antroposentrisme dipandang sebagai biang keladi rusaknya lingkungan hidup. Cara pandang ekosentris pun ditawarkan. Lantas di manakah posisi Islam?

Pada hakikatnya, semua manusia telah diberikan anugerah berupa kemampuan untuk bekerja (quwwah ‘âmilah) terhadap sesuatu yang manuth bih, bergantung atau dipercayakan kepadanya. Pun sebagai seorang hamba, keduanya baik laki-laki maupun perempuan juga sama-sama tertaklifi hukum agama (salat, zakat, puasa, dll) dan hukum sosial (berbuat baik dan mencegah kemunkaran di muka bumi). Sehingga jika ditemukan perbedaan berupa kekuatan yang lebih dominan kepada laki-laki atau sifat ngemong, kasih sayang dalam mengasuh anak, yang lebih dominan pada perempuan, bukanlah sifat yang membuat suatu gender tertentu lebih utama, karena kedua sifat tersebut adalah fitrah kemanusiaan yang diberikan Allah, kira-kira begitulah yang ditekankan oleh Mufti Agung Mesir Syekh Syauqi Ibrahim ‘Allam dalam mukadimah buku ini.

Buku ini terdiri dari 8 bab yang terbagi berdasarkan hukum-hukum suatu masalah tertentu. Penulis mendahulukan bab perkara ibadah yang di bawahnya terbagi lagi menjadi sub-bab lebih detail, terutama permasalahan taharah sebagai syarat sah suatu ibadah. Dilanjutkan dengan pembahasan mengenai salat, muamalah, munakahat, dan bab yang berhubungan dengan permasalahan kontemporer (qadhaya mu’ashirah) seperti hukum bayi tabung, jual beli sel telur serta sperma, hingga donor dan sewa rahim.

Munakahat

Kumpulan tulisan dengan topik pernikahan dan keluarga islami dapat teman-teman temukan

di sini

Metode pengambilan dari buku ini—dan beberapa buku cetakan Darul Ifta Mesir lainnya, bisa dibilang normatif dengan pola yang sangat mudah ditebak, namun di situlah letak ciri khasnya. Selain berdasarkan Al-Quran dan Al-Hadits, penulis juga mencantumkan ijma para ulama terdahulu, sebelum menimbang ulang mudarat dan manfaat dari konklusi permasalahan yang sedang dihadapi. Contohnya dalam bab Qadhaya Fiqh Mu’ashirah masalah donor rahim yang menuai banyak perbedaan pendapat lantaran praktik kedokteran di era modern ini belum pernah ada di era awal Islam. Selain itu pada beberapa istilah kontemporer, penulis juga menyertakan ta’rif keterangan pada istilah kedokteran yang tidak masyhur di kalangan masyarakat awam, sehingga sebelum membaca lebih jauh, pembaca sudah memiliki gambaran tentang permasalahan yang dibahas.

Dialog Teks dan Konteks

Setelah membaca keseluruhan dari buku ini, hal menarik yang saya dapatkan adalah bagaimana kita bisa mendialogkan teks agama dan konteks realita masyarakat. Ranah yang dibahas untuk memadukan keduanya tidak hanya berputar pada asbabun nuzul atau asbabul wurud dari nas Al-Quran dan Al-Hadits saja. Lebih dari itu, kita diajak lebih luas untuk melihat keadaan sosial budaya, adat dan kebiasaan penduduk setempat dengan zaman dan rentang waktu terakhir. Metode ini mewakili isi buku yang banyak mempermasalahkan bagaimana sebenarnya kedudukan perempuan yang bekerja, pergi ke masjid, menjadi pemimpin, bergaul dengan lawan jenis di sekolah, dll, dsb. Di mana pada zaman Nabi, tidak pernah ada perempuan yang melakukan hal-hal tersebut.

Saya mengambil contoh klasik salah satu gerakan kembali ke Sunnah dengan berpakaian hitam berdasarkan hadits Nabi yang berbunyi, “Perempuan-perempuan Anshar keluar seolah-olah pada kepala mereka terdapat burung-burung gagak karena kain-kain (mereka).”

Kontekstualisasi Fikih di Era Kiwari
Selain ubudiah, fikih belum bisa membumi secara aplikatif & efektif dalam masyarakat. Padahal mayoritas masyarakat Indonesia memeluk agama Islam.

Nah, dalam buku ini dijelaskan secara rinci bagaimana sebaiknya kita menelaah Hadits Nabi bukan hanya sekadar ‘pasang-tempel’ pada suatu kejadian, lebih-lebih ketika hal tersebut hanya sebatas kedok untuk kepentingan pribadi—berjualan baju misalnya. Tentunya, dengan menghadirkan riwayat lain yang menyatakan tidak adanya batas-batas tertentu bagi seorang perempuan dalam berpakaian dan berhias selama tidak melewati batas, termasuk (harus) berpakaian serba hitam untuk mengikuti Sunnah Nabi. Lantas hal itu diqiyaskan dengan Imam Asy-Syafii yang salat Subuh tidak menggunakan Qunut di masjid yang terletak di sebelah makam Imam Hanafi—di mana kita tahu, Qunut dalam mazhab Syafii adalah Sunnah ¬ Ab’adh; wajib menggantinya dengan sujud syahwi jika tidak melakukannya. Hal yang dilakukan oleh Imam Asy-Syafii tersebut tidak lain karena menghormati perbedaan pendapat dan kebiasaan masyarakat di sekitaran makam Imam Hanafi yang salat Subuhnya tidak menggunakan Qunut. Begitu juga dengan permasalahan cabangan (far’i), adanya teks agama tidak lantas dipolitisasi untuk kepentingan pribadi atau malah saklek mengamalkannya tanpa tinjauan ulang.

Secara umum, buku ini mengajak kita untuk merevitalisasi ulang pandangan kita terhadap perempuan. Ruang gerak perempuan yang terbatas sebab legitimasi dalil agama, ditinjau ulang berdasar kemaslahatan dan kepentingan sosial guna kehidupan yang lebih baik. Adanya buku tentang fatwa perempuan ini justru bukan untuk semakin mengikat dalil agama menjadi saklek dan kaku, tapi membawa dalil teks agama untuk membantu legalitas gerak perempuan dalam beragama dan bersosial.

💡
Baca juga ulasan lain di rubrik RESENSI atau tulisan menarik Makkis Fuadatal Qodisiyiah