Filosofi Hari Raya Menurut Abbas Mahmud Al-'Aqqad

Pemerintah sudah menetapkan hari Idul Adha 1443 H mendatang jatuh pada Ahad 10 Juli 2022. Tepatnya 10 hari lagi umat Islam di seluruh dunia akan merayakan momen agung tersebut. Idul Adha merupakan momen penting yang tak pernah habis kita bicarakan. Sejarah, hikmah, hingga pesan sosial-moral di baliknya selalu dibaca dan digaungkan para ulama menjelang perayaan tersebut. Dari sekian pembahasan tersebut, alangkah menarik jika kita membaca Idul Adha secara universal dan komparatif dari berbagai tradisi agama di dunia. Tulisan ini akan mengulas bagian tersebut, dengan harapan kita semakin paham keistimewaan Islam di bandingkan agama-agama lain, khususnya dalam perayaan ini.

Pembahasan tersebut saya temukan dari sosok Mahmud Abbas Al-'Aqqad, salah seorang pemikir Islam raksasa, sastrawan, dan filosof Mesir.  Pembahasan tersebut dimuat dalam Majalah Al-Azhar edisi bulan Juni 2022 dengan judul “Falsafah Al-'Id 'inda Al-'Aqqad” dengan resume dari Dr. Aman Muhammad Qahif.

Ide Tajdid Menurut Syekh Muhammad Abu Musa
Guru Besar Balaghah Universitas Al-Azhar, Syekh Muhammad Abu Musa menulis banyak kitab. Salah satunya kitab yang membahas pembaruan dalam Islam.

Dikutip dari karangannya, 'Ala Al-Atsir cetakan Dar Al-Ma'arif, Al-'Aqqad mengulas sejarah hari raya ('id) secara komparatif dalam sejarah peradaban Timur dan Barat. Ia mulai dari budaya perayaan hari raya tersebut, penamaan, hingga hikmah di baliknya. Mula-mula kita perlu tahu bahwa merayakan momen spesial di hari-hari tertentu (hari raya) sudah ada di peradaban kuno umat manusia. Dalam sejarah Mesir kuno (2500 SM) misalnya, terdapat perayaan Wafa’ An-Nil, yaitu tradisi menutup tahun dengan mengadakan perayaan “pengantin” ('arusah) Sungai Nil. Menurut beberapa sumber, perayaan tersebut menunjuk pada masyarakat Mesir yang mempersembahkan para gadis perawan—yang dipilih khusus oleh Rahib mereka— untuk menjadi “istri” bagi Sungai Nil. Pendapat yang lebih unggul mengatakan bahwa perayaan itu hanya pernikahan simbolik antara tanah dan air dengan harapan keberkahan alam. Dalam tradisi Persia terdapat hari Maharjan dan hari Ram yang dirayakan tiap tanggal 21 tiap bulannya untuk rehat dari aktivitas. Syair Abu Nuwas menjadi saksi atas kemasyhuran hari raya Ram yang bermakna perayaan untuk makan dan minum bersama.

Tak heran jika kemudian tradisi itu berpengaruh pada penamaan hari raya dalam tiap-tiap peradaban. Di dalam tradisi Barat, perayaan hari suci sering dinamai dengan nama yang identik dengan makanan ataupun perkumpulan. Mereka terkadang juga menamainya dengan hari persucian (al-yaum al-muqaddas). Hal yang kemudian menurut Al-'Aqqad mengurangi nilai keistimewaan dari hari raya tersebut. Sebab perayaan makan-minum atau perkumpulan saja bukanlah hal istimewa yang patut dirayakan oleh suatu peradaban. Melainkan hanya kebiasaan memenuhi kebutuhan primer tubuh saja yang bisa dilakukan setiap hari.

Tradisi Al-Azhar dalam Menghidupkan Malam Isra Mi’raj
Banyak ulama Al-Azhar dari masa ke masa menulis kitab bertopik Isra Mi’raj. Tak hanya itu, para alim ini menghidupkan malam itu dengan membacanya.

Tak hanya itu, nilai materiil (kebutuhan jasmaniah) juga terdapat dalam budaya merayakan masyarakat Barat (at-tahniah). Di Barat, untuk merayakan hari raya mereka terbiasa mengucapkan “yaumun sa'id”, “’Am Said” atau “Happy Eid” yang bermakna hari yang bahagia. Ungkapan yang bermakna harapan akan kebahagiaan untuk sesama. Menurut Al-'Aqqad kebahagiaan itu identik pada keadaan lahiriah manusia saja. Dengan sejarah, pemaknaan dan perayaan tersebut, ia kemudian menyimpulkan bahwa hikmah dari perayaan hari raya di dalam tradisi Barat lebih banyak bermuatan jasmaniah di banding rohaniah manusia. Hal itu yang kemudian kita termukan dalam masyarakat Barat kini: hanya perkumpulan dalam rangka makan dan minum semata.

Hal yang kemudian sangat berbeda dengan tradisi Islam dalam perayaan hari raya. Sedari awal hari 'id dalam sejarah Islam mengedepankan nilai rohani dan moralitas, di samping jasad. Secara leksikal 'id bermakna “kembali”. Penamaan hari raya dengan 'id kemudian menunjuk pada hari yang akan selalu kembali. Sebagian ahli tafsir menambahkan makna “kebahagiaan yang dijanjikan” (As-Surur Al-Ma’ad).

Al-Quran

Kumpulan tulisan dengan kata kunci Al-Quran dan cabang ilmunya bisa teman-teman temukan

di sini

Kata Al-'Aqqad, “Umat Islam merayakan 'id dengan dua sifat moral yang luhur: yaitu kehendak dan penguasaan atas kebiasaan hidup sehari-hari. Ia merayakannya dalam arti kemampuannya dalam mengendalikan nafsu makan dan minum, bukan kemudian terjebak pada zona nyaman kenyang dan segar dari minuman... lebih-lebih hari raya Idul Adha, itulah hari raya terbesar. Sebuah hari raya tahunan dalam Islan yang mengajarkan manusia untuk mengorbankan sebagaian harta yang dimilikinya... agar mereka menegrti bahwa pengorbanan itu adalah salah satu dari adab jiwa. Bahwa jerih payah pengorbanan itu sejatinya kesuksesan jiwa.”

Dengan demikian dalam Islam, baik hari raya Idul Fitri maupun Idul Adha sejatinya bermakna perayaan kemenangan manusia dari segala bentuk belenggu dunia: perayaan atas perjuangan manusia dan kesabaran jiwa manusia di tengah realitas kehidupannya. Hal itu kemudian berpengaruh besar dalam budaya pengucapan selamat hari raya dalam Islam. Umumnya, umat Islam akan saling mengucapkan  “Kullu am wa antum bi khair” atau “Each year and you are fine”  yang berarti harapan kebaikan pada sesama. Hal yang kemudian berbeda dengan ungkapan “Happy 'Id” dalam tradisi Barat. Menurut Al-'Aqqad ada perbedaan mendasar antara kebaikan dan kebahagiaan yang jarang dipahami masyarakat awam. Hal yang berpengaruh dalam kesadaran masing-masing individu dari mereka.

Memaknai Ulang Barakah dalam Pesantren
Makna barakah belakangan diiringi dengan ketiadaan usaha lahiriah. Esai ini mengajak khalayak muslim untuk memaknai ulang barakah dalam kehidupan.

Menurut Al-'Aqqad kebaikan itu lebih tinggi nilainya ketimbang kebahagiaan. Kebaikan itu meliputi dan mencakup kebahagiaan, bukan sebaliknya. Terkadang hal-hal yang membahagiakan tak selalu ‘baik’. Seringkali manusia merasa telah bahagia, padahal di saat itu juga ia tertipu dengan kebahagiaannya. Itulah kebahagiaan semu yang secara tidak sadar menimpa banyak orang. Bahkan, sebagian orang rela berbuat buruk demi menggapai kebahagiaan semu tersebut. Seperti kebahagiaan dalam hati para penjahat, koruptor, dan orang-orang zalim lainnya.

Sedang kebaikan itu tak pernah palsu ataupun menipu. Orang akan secara mudah tertipu dengan pseudo-kebahagiaan, tetapi orang takkan pernah tertipu dengan kebaikan. Orang yang baik akan diakui banyak orang dan dirinya sendiri, baik itu dengan pengakuan atau tanpa pengakuan siapapun. Di bagian inilah menurut saya pembahasan Al-'Aqqad menarik dan perlu dipahami oleh banyak orang. Sekian, Kullu 'am wa antum bi alfi-alfi khair!

💡
Baca juga artikel lain di rubrik ISLAMUNA atau tulisan menarik Lukman Hakim Rohim