Skip to content

Hukum Zakat Fitrah Menggunakan Uang

Setiap muslim wajib menunaikan zakat Fitrah. Artikel ini memaparkan awal ketetapan zakat, syarat, pelaksanaan, dan hukum zakat menggunakan uang.

FOTO Ilustrasi zakat fitrah dengan uang (Wikimedia/JeanHavoc)
FOTO Ilustrasi zakat fitrah dengan uang (Wikimedia/JeanHavoc)

Salah satu perdebatan yang selalu muncul dan berulang selain soal penentuan awal Ramadan, ihwal rakaat Tarawih ataupun penentuan Lebaran adalah perdebatan terkait boleh tidaknya mengeluarkan zakat Fitrah menggunakan uang. Perdebatan-perdebatan lain di ranah praksis pun sebenarnya masih banyak, tapi kali ini penulis sedang ingin mengangkat terkait polemik zakat yang mengemuka setiap menjelang lebaran. Menurut Syekh Muhammad Mutawali Asy-Sya’rawi, aktivitas dan ritual-ritual dalam Islam memang didasarkan pada “hukum pengulangan”. Misalnya pelaksanaan salat rawatib yang berulang, pun pelaksanaan zakat yang diulang pembayarannya setiap menjelang hari raya Idul Fitri. Tersebab waktu pelaksanaan dan ketentuannya berulang, perdebatan serta kontroversi yang mengiringinya pun akan otomatis berulang. Begitu seterusnya. Tinggal bagaimana kita mengedepankan kedewasaan dalam beribadah dan membantu meminimalisir perdebatan yang masih saja terus terjadi di sekitaran kita.

Zakat Fitrah sendiri adalah zakat yang diwajibkan kepada setiap muslim yang menjumpai akhir Ramadan dan awal Syawal. Zakat Fitrah hukumnya Fardu Ain dan mulai disyariatkan pada tahun kedua Hijriah, tepatnya dua hari sebelum hari raya Idul Fitri.

Terkait pelaksanaannya, zakat Fitrah mulai bisa dibayarkan atau dikeluarkan sejak awal Ramadan sampai terbenamnya matahari di tanggal 1 Syawal. Adapun waktu yang paling afdal untuk mengeluarkan zakat adalah pada tanggal 1 Syawalnya, hingga sebelum ia keluar untuk melaksanakan salat Idul Fitri.

Setiap orang Islam wajib mengeluarkan zakat Fitrah untuk dirinya sendiri dan untuk orang-orang yang wajib dinafkahi, bila ia memiliki kelebihan sandang, pangan, dan papan untuk dirinya dan untuk orang-orang yang wajib dinafkahi pada siang hari raya dan malam hari raya. Dalil ketentuan kewajiban dan ukuran zakat Fitrah berdasar sebuah hadits Rasulullah SAW, berkata Abdullah bin Umar RA:

فَرَضَ رَسُوْلُ اللهِ زَكَاةَ الْفِطْرِ صَاعاً مِنْ تَمَرٍ، أوْصَاعاً مِنْ شَعِيْرٍ، عَلَى الْعَبْدِ وَالْحُرِّ، وَالذَّكَرِ وَالأُنْثَى، وَالصَّغِيْرِ وَالْكَبِيْرِ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ، وَأمَرَ بِهَا أنْ تُؤَدَّى قَبْلَ خُرُوْجِ النَّاسِ إلى الصَّلَاةِ

Artinya: “Rasulullah SAW telah mewajibkan zakat Fitrah sebanyak satu sha’ kurma atau satu sha’ gandum atas orang muslim, baik budak dan orang biasa, laki-laki dan perempuan, anak-anak dan orang dewasa dari kaum muslimin, beliau Rasulullah SAW memberitahukan bahwa membayar zakat Fitrah itu sebelum berangkat (ke masjid) untuk melaksanakan shalat ‘Idul Fitri”. (HR Al-Bukhari dan Muslim)

Pada prinsipnya, sesuai ketentuan fikih lintas mazhab, hukum zakat Fitrah menggunakan uang (qîmah) itu ada dua pendapat utama: Mayoritas Syafi’iyah dan Jumhur (mayoritas) ulama tidak membolehkan serta tidak mengesahkan zakat dengan uang, sementara hanya mazhab Hanafiyah yang membolehkan dan mengesahkan zakat dengan uang (baca: Kitâb Al-Majmû‘, t.t., Juz 6, hlm. 94, Juz 5 hlm. 401, Al-Fiqh ‘alâ Madzâhib Al-Arba‘ah, 2005, Juz I, hlm. 504-506, atau kitab-kitab lainnya).

Lingkungan

Kumpulan tulisan yang mengangkat isu lingkungan dapat teman-teman baca

di sini

Adapun syarat wajib zakat Fitrah adalah:

  1. Islam
  2. Merdeka (bukan hamba sahaya atau budak)
  3. Mempunyai kelebihan makanan atau harta untuk malam hari raya dan saat hari rayanya. Maksudnya di sini untuk keperluan dia sendiri dan orang-orang yang wajib ditanggung nafkahnya.
  4. Menjumpai waktu mengeluarkan zakat Fitrah. Artinya, ia menjumpai sebagian dari bulan Ramadan dan sebagian dari awal bulan Syawal (malam hari raya).

Berikut ini salah satu dasar ketentuan bahwa membayar zakat Fitrah dengan uang dalam mazhab Syafi’i itu tidak boleh dan tidak mencukupi sebagai zakat fitrah.

مَسْأَلَةٌ، لَا تُجْزِئُ الْقِيْمَةُ فِي الْفِطْرَةِ عِنْدَنَا . وَبِهِ قَالَ مَالِكٌ وَأَحْمَدُ وَابْنُ الْمُنْذِرِ وَقَالَ أَبُوْ حَنِيْفَةَ يَجُوْزُ حَكَاهُ ابْنُ الْمُنْذِرِ عَنِ الْحَسَنِ الْبَصْرِي وَعُمَرَ بْنِ عَبْدِ الْعَزِيْزِ وَالثَّوْرِي قَالَ وَقَالَ إِسْحَاقُ وَأَبُو ثَوْرٍ لَا تُجْزِئُ إِلَّا عِنْدَ الضَّرُوْرَةِ اهـ كتاب المجموع شرح المهذب (الشافعية) الجزء السادس ص: 113

Semantara itu, mazhab Hanafiah membolehkan zakat fitrah dengan uang, namun dengan catatan harus seharga satu sha’gandum, kurma, atau anggur kering (jenis-jenis fitrah yang sesuai hadits, bukan seharga satu sha’ makanan pokok). Ada pula pendapat dari kalangan Malikiyah yang memperbolehkan zakat fitrah dengan uang (seharga satu sha’ makanan pokok), namun dimakruhkan.

Di bawah ini, salah satu keterangan dan sumber dari mazhab Hanafiyah yang berpendapat bolehnya mengeluarkan zakat fitrah dengan uang. Alasannya, karena inti dari zakat adalah memenuhi kebutuhan orang fakir.

وَقَالَ أَصْحَابُنَا يَجُوْزُ دَفْعُ الْقِيْمَةِ فِي الزَّكَاةِ وَالْكَفَارَةِ وَصَدَقَةِ الْفِطْرِ وَالْعُشْرِ وَالْخَرَاجِ وَالنَّذْرِ لِأَنَّ الْأَمْرَ بِالْأَدَاءِ إِلَى الْفَقِيْرِ إِيْجَابٌ لِلرِّزْقِ الْمَوْعُوْدِ فَصَارَ كَالْجِزْيَةِ بِخِلَافِ الْهَدَايَا وَالضَّحَايَا فَإِنَّ الْمُسْتَحِقَّ فِيْهِ إِرَاقَةُ الدَّمِ وَهِيَ لَا تُعْقَلُ وَ وَجْهُ الْقُرْبَةِ فِي الْمُتَنَازَعِ فِيْهِ سَدُّ خَلَّةِ الْمُحْتَاجِ وَهُوَ مَعْقُوْلٌ اهـ، كتاب إتحاف السادات المتقين (الحنفية) ج 4 ص 94

Adapun di era kiwari seperti saat ini, khususnya di Indonesia, hukum zakat Fitrah menggunakan uang terklasifikasi menjadi empat pendapat:

Pertama, tidak boleh (tidak sah) zakat Fitrah menggunakan uang (qîmah), karena berpegang pada ketentuan mazhab Syafi’iyah, yang mana mewajibkan zakat Fitrah harus dengan makanan pokok. Misalnya beras bagi orang Indonesia, dengan kadar 1 sha’ beras yaitu 2,75 kg atau 2,5 kg atau ada yang berpendapat 3,5 liter. Pendapat pertama ini juga merupakan pendapat Jumhur Ulama, serta masih diikuti mayoritas masyarakat umum. (baca Ahkâm Al-Fuqahâ, 2011, hlm. 63-64).

Kedua, zakat Fitrah boleh menggunakan uang dengan mengikuti pendapat ulama yang membolehkan, seperti Imam Ats-Tsaurî atau mengikuti mazhab Hanafiyah, dengan catatan harus konsisten bermadzab Hanafiyah secara total. Hal ini senada dengan Keputusan Lembaga Bahtsul Masail (LBM) PWNU Jawa Timur dan Surat Edaran Lazisnu Jawa Timur tanggal 13 Mei 2020, tentang Pedoman dan Kadar Zakat Fitrah.

Apabila tetap ingin mengikuti mazhab Syafi’iyah, maka zakat fitrahnya pun tetap wajib menggunakan beras, atau bisa dilakukan dengan cara panitia zakat menyiapkan beras 2,7 kg, lalu beras tersebut dibeli calon muzaki, barulah beras tersebut diserahkan sebagai zakat.

Ketiga, zakat Fitrah boleh menggunakan uang mengikuti pendapat Imam Ar-Rûyânî (415 H), ulama mazhab Syafi’iyah. Meskipun tergolong pendapat lemah, namun dipandang lebih baik daripada harus berpindah mazhab atau mengikuti mazhab lainnya (intiqâl al-madzhab/talfîq), yaitu dengan zakatnya 2,5 kg atau 3,5 liter beras. (Baca kitab Thabaqât Al-Fuqahâ’ Asy-Syâfi‘iyîn karya ‘Imâduddîn Ibnu Katsîr, Dâr Al-Kutub Al-‘Ilmiyyah, 1971, Juz II, hlm. 24.

Keempat, boleh zakat Fitrah dengan menggunakan uang mengikuti pendapat Hanafiyah dan mengikuti fatwa Syekh Ibnu Qasim, seorang ulama Malikiyah, dengan ketentuan menggunakan nominal harga beras sesuai kualitas layak konsumsi masyarakat sebesar 2,75 kg atau 3,5 liter beras atau versi lain 2,5 kg. Adapun besaran zakatnya tersebut mengikuti mazhab Syafi’iyah, tidak mengikuti pendapat Hanafiyah, padahal bila dibandingkan, nominalnya justru lebih banyak daripada ukuran Syafi’iyah. Pendapat ini senada dengan hasil Bahtsul Masail LBM PBNU tentang Pembayaran Zakat Fitrah dengan Uang, tertanggal 18 Mei 2020, dengan mengunakan model intiqâl al-mazhab fî ba‘dh al-masâ’il (berpindah mazhab dalam sebagian masalah).

Walhasil, dari keempat model pendapat hukum tentang zakat Fitrah menggunakan uang di atas, bisa ditarik konklusi sementara bahwa: Pendapat pertama itu cenderung kaku, karena langsung tidak membolehkan zakat Fitrah menggunakan uang. Pendapat kedua lebih lentur, tetapi masih ketat karena tidak membolehkan intiqâl madzhab dalam sebagian masalah (talfîq). Pendapat ketiga, lebih fleksibel, karena boleh menggunakan pendapat yang lemah, tetapi masih harus tetap konsisten dalam satu mazhab, yakni mazhab Syafi’iyah, yang mana tidak memilih intiqâl madzhab/talfîq. Sementara pendapat keempat, sangat fleksibel (dinamis), yakni menggunakan intiqâl madzhab/talfîq untuk memilih model yang paling ringan dan maslahat dalam mengeluarkan zakat Fitrah menggunakan uang dengan kadar yang paling rendah (2,5 kg atau 2,7 kg/3,5 liter beras, sekitar Rp 35.000,00, dengan hitungan per liter Rp 10.000,00).

Yang paling menarik dari permasalahan zakat Fitrah di era kiwari ini adalah adanya keberanian lebih dan kesepakatan sebagian umat muslim untuk mengadopsi pendapat yang membolehkan zakat Fitrah dengan uang mengikuti model intiqâl mazhab fî ba‘dh al-masâ’il atau talfîq. Di mana secara tidak langsung, laku tersebut telah semakin menerapkan asas at-taysîr (kemudahan) dan raf’ al-haraj (menghilangkan kesukaran), dan asas kemaslahatan dalam praktik zakat. Entah itu bagi muzaki (orang yang berzakat), maupun bagi mustahik (penerima zakat).

Secara spesifik, apa yang telah dirumuskan dan diputuskan LBM PBNU, terkait kebolehan intiqâl al-madzhab atau lebih tepatnya talfîq dalam hal mengeluarkan zakat Fitrah dengan menggunakan uang (Hanafiyah), tapi mengikuti standar ukurannya Syafi’iyah yang lebih ringan, yaitu 2,7 kg atau 2,5 kg atau 3,5 liter beras, tidak harus mengikuti ukurannya Hanafiyah sebesar 3,8 kg kurma, anggur dan/atau gandum. Itu semua adalah sebentuk talfîq yang maslahat dan diperbolehkan oleh para ulama mutaakhirin, misalnya ulama yang termutakhir adalah Syekh Wahbah Az-Zuhaili.

Nah, praktik talfîq semacam itu di era sekarang menjadi diperbolehkan karena tidak termasuk dalam kategori talfîq yang dilarang (talfiq mamnû), pun tersebab faktor batal demi hukum (bâthil li-dzâtih) juga karena adanya faktor eksternal (Al-‘awâridh) yang mengakibatkan penentangan terhadap ijmak atau rusaknya tatanan hukum (baca, Az-Zuhailî, Al-Fiqh Al-Islâmî wa-Adillatuh, Beirut: Dâr al-Fikr, 2009, Juz I, hlm. 98-99). Bahkan, talfîq semacam ini justru lebih selaras dengan prinsip atau asas kemudahan dalam beragama (mabda’au asas al-yusr/at-taisîr, QS. 2: 185), karena praktik zakat dengan uang itu sebenar-benar menghilangkan kesulitan dalam masyarakat (raf‘ al-haraj), lebih toleran (as-samâhah) dan lebih maslahat, yang mana ini semua merupakan tujuan substansi hukum Islam (maqâshid asy-syarî‘ah) dalam rangka memberikan perlindungan dan kemaslahatan bagi manusia (mashâlih al-'ibâd). Allahu A’lamu.


💡
Baca juga artikel lain di rubrik ISLAMUNA atau tulisan menarik Ahmad Muhakam Zein

Latest