Skip to content

Hunian Para Talib Tunanetra di Masjid Al-Azhar

Dulu, Al-Azhar mempunyai sebuah hunian khusus untuk para talib tunanetra. Para pencari ilmu yang berkebutuhan khusus itu tercatat dalam sejarah.

FOTO: Para talib di Masjid Al-Azhar tempo dulu.
FOTO Para talib di Masjid Al-Azhar tempo dulu.

Dalam literatur sejarah Al-Azhar, kita akan mengenal istilah riwaq, yakni sistem hunian yang disiapkan untuk para pencari ilmu yang datang dari segala arah. Baik dari dalam negeri Mesir sendiri atau dari seantero jagad keislaman. Al-Azhar akan menyediakan bukan saja tempat tinggal, melainkan juga biaya hidup, fasilitas penunjang belajar, pegawai terkait seperti bagian fasilitas, kebersihan, hingga keamanan.

Pada galibnya riwaq di Masjid Al-Azhar dinamai sesuai asal daerah para penghuninya. Namun, ada beberapa riwaq yang dikecualikan. Salah satunya riwaq yang lebih dikenal dengan nama Zawiyah Al-'Umyan, sebuah hunian bagi para talib penyandang tunanetra.

Sosok di Balik Hunian Para Tunanetra

Dalam buku Tarikh Al-Masajid Al-Atsariyyah, seorang Mesir yang alim sejarah arkeologi Islam Hasan Abdulwahab menyebutkan bahwa Zawiyah Al-'Umyan didirikan pada tahun 1148 H (1735 M). Salah satu riwaq yang berada paling luar di area Masjid Al-Azhar ini didirikan oleh seorang amir di era Utsmani bernama Utsman Al-Qazdughli yang saat itu menjabat Katkhuda (setingkat wali atau gubernur kedaerahan Utsmani).

Sinergi Umara dan Ulama di Masa Pandemi
Corona kian menggila, para umara, ulama, dan tokoh-tokoh publik dituntut harus lebih berperan dalam menetralisir kekhawatiran umat.

Sosok Utsman Katkhuda Al-Qazdughli adalah salah satu sosok amir yang membangun serta mendanai banyak riwaq di Al-Azhar. Termasuk di antaranya Riwaq Al-Atrak untuk para talib asal Turki dan sekitarnya, Riwaq Asy-Syawwam untuk yang berasal dari Negeri Syam, Riwaq As-Sulaimaniyyah untuk para mujawir Afghanistan, dan Riwaq Al-Jawiyyah untuk para pencari ilmu asal Kepulauan Nusantara. Dengan amalnya yang begitu banyak, sang amir meninggal tragis. Ia bersama para amir dan pembesar militer berjumlah 9 orang dibunuh dalam kemelut fitnah dan kekacauan dalam negeri pada tahun 1149 H (1736-1737 M).

Bangunan fisik Zawiyah Al-'Umyan sekarang sudah tiada. Dalam buku Atsar Al-Qahirah Al-Islamiyyah fi Al-'Asr Al-'Utsmani (terbitan Istanbul) disebutkan bahwa riwaq ini dirobohkan pada awal abad 19 M bersama perluasan jalan dan pengerjaan area kampus Al-Azhar. Meski begitu, posisinya masih bisa kita telusuri berdasarkan sejumlah denah lama, arsip, dan peta keluaran otoritas Mesir. Ia berada di dekat Al-Madrasah Al-Jauhariyyah hingga belakang Gedung Muhammad Abduh, di dekat area wudu terbaru.

Para Penghuni Zawiyah Al-'Umyan

Hunian yang disediakan Al-Azhar ini berupa bangunan dengan 4 tiang dari marmer, mempunyai 1 mihrab, tempat wudu, dan beberapa fasilitas penunjang. Di lantai atas terdapat 3 kamar yang dihuni khusus untuk para penyandang tunanetra. Syekhur-Riwaq atau penanggung jawab hunian ini juga disyaratkan harus seorang tunanetra. Mereka semua mendapat biaya hidup bulanan dan sejumlah fasilitas.

Dalam catatan sejarah, para penghuni Zawiyah Al-'Umyan juga ikut mengaji dalam halakah-halakah yang diselenggarakan di Masjid Al-Azhar. Sebagian dari mereka juga mengikuti kelas-kelas Al-Quran yang khusus membekali mereka dalam seni melantunkan ayat-ayat suci sebelum nantinya akan diberi amanah sebagai qari di sejumlah masjid.

Al-Quran

Kumpulan tulisan dengan kata kunci Al-Quran dan cabang ilmunya bisa teman-teman temukan

di sini

Sebagaimana dibahas dalam tulisan yang ditayangkan di Tawazun.id dengan judul Nyala Api Menara, para tunanetra juga banyak ditugaskan sebagai muazin di tengah masyarakat muslim. Mereka hidup dalam kemakmuran. Masyarakat muslim menyediakan banyak kemudahan dari segi fasilitas juga finansial. Terdapat sebuah ungkapan bahwa orangtua justru akan bersyukur jika dianugerahi anak yang tunanetra. Tak lain karena dahulu karir hidup dan fasilitas untuk mereka cenderung lebih jelas.

Tokoh Revolusioner dari Zawiyah Al-'Umyan

Di masa penjajahan Prancis, tersebutlah seorang syekh bernama Sulaiman Al-Jausaqi. Ia adalah penanggung jawab (Syekhur-Riwaq) untuk Zawiyah Al-'Umyan. Pada Revolusi Kairo Awal tepatnya 11 Jumada Al-Ula 1211 H (21 Oktober 1798 M) ia disebut sebagai salah satu penggerak revolusi melawan penjajahan itu.

Mengurai Benang Kusut Hubungan Agama dan Budaya
Budaya bisa sangat berbeda antara satu daerah dengan yang lain. Mode berpakaian salah satunya. Bagaimana ajaran Islam melihatnya?

Pihak Prancis menangkap 12 alim ulama Al-Azhar dengan tuduhan memprovokasi dan menyalakan api perlawanan. Di antara mereka adalah seorang tunanetra yang alim Syekh Sulaiman Al-Jausaqi. Mereka semua ditangkap dan dijatuhi hukuman mati.

Tarikh Al-Jabarti secara detail mengisahkan sosok Syekh Sulaiman Al-Jausaqi. Ia disebutnya sebagai salah satu pembesar dan tokoh publik di tengah masyarakat Kairo. "Ia tergolong mereka yang terdepan, yang dirujuk dalam berbagai forum. Ketegasannya ditakuti, kalimatnya didengar... Ia memakai pakaian kebesaran, berkendaraan bagal (bighal; peranakan kuda jantan dan keledai betina), para pengikutnya selalu bersamanya, dan mempunyai banyak istri..."

Di zaman ini, Zawiyah Al-'Umyan secara fisik memang sudah tiada. Namun, Al-Azhar dan institusi pendidikan berbagai jenjang di bawah pengelolaannya masih memberi perhatian besar terhadap para talib penyandang tunanetra. Para mahasiswa sekarnag ini tentu tak asing dengan pengumuman jadwal imtihan yang tidak pernah kosong dari penjelasan khusus terkait mereka yang mempunyai kebutuhan khusus.


Baca juga artikel lain di rubrik TARIKH atau tulisan menarik Mu'hid Rahman

Latest