Ide Tajdid Menurut Syekh Muhammad Abu Musa

Buku ini ditulis oleh ulama pakar balaghah dan salah satu anggota Haiah Kibar Al-'Ulama, lembaga yang menghimpun para ulama senior di bawah naungan Al-Azhar. Beliau adalah Prof. Dr. Muhammad Abu Musa, ulama kelahiran 1937 M, yang menulis salah satu buku yang berjudul Min Madakhil At-Tajdid.

Syekh Muhammad Abu Musa adalah ulama Al-Azhar yang kerap dijuluki Syekhul-Balaghiyyin (Pemuka Para Ahli Balaghah), julukan yang juga disematkan kepada alim terdahulu, yakni Syekh Abdulqahir Al-Jurjani Sang Muassis Balaghah. Karya-karya Syekh Muhammad Abu Musa dalam disiplin ilmu balaghah sudah melebihi 20 kitab. Belum lagi tulisan-tulisannya yang terbit di Majalah Azhar di setiap bulannya. Ya, dialah seorang profesor yang di sela-sela kesibukannya mengajar, masih menyisihkan waktu setiap harinya untuk membaca dan menulis.

Kisah Al-Hadrami di Pasar Buku Cordoba
Bagaimana buku menjadi incaran para muslim di Cordoba. Namun sayangnya, tak semua pembeli buku benar-benar membeli dengan maksud mendarasnya.

Buku Min Madakhil At-Tajdid ini saya dapatkan pada tahun 2018 yang lalu, di stan Al-Azhar, tepatnya di bagian Majlis Hukama Al-Muslimin saat gelaran bazar buku internasional Cairo International Book Fair (CIBF) di Kairo, Mesir.

Al-Azhar dan Buku-buku Bagus

Sebelum masuk ke pembahasan isi buku, kita perlu lebih dulu tahu bahwa lembaga institusi besar Islam dan termasuk yang tertua di dunia ini, yakni Al-Azhar, terus menerus menerbitkan buku-buku bagus melalui berbagai lembaganya, baik yang khusus disiplin ilmu tertentu ataupun buku-buku turats berbagai ilmu keislaman, dari pemikiran Asy'arian hingga buku-buku yang membahas permasalahan kekinian.

Jika berbicara mengenai konten isi buku-buku yang diterbitkan itu, jelas mempunyai nilai jual dan memang berkualitas. Sebab muatan yang ditulisnya adalah buku-buku yang mendalam yang ditulis oleh para pakar dan alim ulama terbaik Al-Azhar. Plus ditulis sebagai tawaran solusi dan wujud upaya menjawab kegelisahan umat menghadapi tantangan zamannya.

Karena cita-cita Al-Azhar adalah menyebarkan pemahaman Islam yang bercorak wasathiyyah (moderat) ke khalayak luas dan mengenalkan pemikiran Islam yang benar, maka sudah barang tentu institusi ini mempunyai misi yang besar. Misi ini diupayakan dengan menerbitkan banyak buah pemikiran dari para pakar brilian yang lahir dari Al-Azhar ke seluruh umat manusia. Al-Azhar pun menjual buku-buku bagus itu dengan harga yang murah meriah. Yang penting buku-buku tersebut sampai dan dibaca oleh orang banyak.

Yang Luput dari Bazar Buku Kairo
Bazar buku kali ini bertema Fi al-Qiraati Hayatun (di dalam membaca ada kehidupan). Sejumlah catatan disarikan demi mewujudkan harapan-harapan.

Oleh karena itu, stan Al-Azhar Asy-Syarif di CIBF setiap tahun selalu membeludak, antreannya mengekor panjang yang terdiri dari para pembeli dari bermacam kalangan, para mahasiswa, rakyat mesir, juga para pengunjung dari luar Mesir yang memang sengaja berkunjung.

Buku Bertema Pembaharuan

Kembali kepada salah satu karya guru besar Al-Azhar, Syekh Muhammad Abu Musa yang berjudul Min Madakhil At-Tajdid. Buku yang terdiri dari satu prolog dan empat bab ini membahas dan menganalisa berbagai persoalan tajdid (pembaharuan).

Ditinjau dari judul buku tersebut, dengan melihat sisi bahasanya, maka madakhil adalah bentuk jamak dari kata mufrad madkhal yang mengandung makna tempat masuk atau dengan kata lain yakni pengantar. Madakhil berarti pengantar-pengantar. Sedangkan huruf alif lam pada at-tajdid itu sendiri menyimpan makna pemikiran Islam. Dengan pengalihan bahasa, kitab ini kurang lebih berjudul: Sebagian Pengantar Pembaharuan Pemikiran Islam.

Jika dilihat fisiknya, buku yang dihiasi sampul bergambar Masjid Al-Azhar ini kecil dan tidak terlalu tebal, hanya sekitar 120 halaman dengan ukuran tulisan yang agak besar. Akan tetapi, buku ilmiah yang ditulis oleh Prof. Dr. Muhammad Abu Musa ini sarat akan ilmu. Di dalamnya kita juga dikenalkan bagaimana seharusnya pembaharuan itu dipahami.

Sebagaimana termaktub dalam prolog, ada beberapa faktor penyebab buku ini ditulis. Di antaranya bahwa Syekh Prof. Dr. Muhammad Abu Musa meyakini pembaharuan adalah suatu hal yang pasti dalam kehidupan dan begitupun dalam syariat Islam. Faktor lain adalah karena beliau memandang hari ini dipenuhi arus informasi dan teknologi; masa-masa kebanjiran beragam pemikiran, pun kebudayaan, dan tingkah laku yang tak jarang merupakan hal asing yang masuk ke kehidupan umat Islam.

Maka dari itu, Syekh Muhammad Abu Musa berusaha menawarkan gagasan dan poin-poin penting mengenai bagaimana tajdid itu dipahami oleh ulama-ulama terdahulu. Selain juga dilihat dari perihal tata-cara dan mengenai siapa saja yang seharusnya mampu dan berwenang melakukan pembaharuan dalam pemikiran Islam tersebut.

Islam dan Gagasan Childfree dalam Sebuah Pernikahan
Gagasan untuk tidak memiliki anak (Childfree) pernah dijawab dalam fatwa ulama Mesir. Bagaimana Islam melihat gagasan kontroversial itu?

Hari ini, menurut beliau, kebutuhan umat Islam pada pembaharuan pemikiran Islam sangat diperlukan bahkan lebih urgen daripada di masa-masa sebelumnya. Ia pun mengutarakan bahwa sesungguhnya tajdid yang dipahami oleh para ulama, pun jika ditinjau dari kata tajdid itu sendiri, adalah menghidupkan sesuatu yang 'hilang' (seolah tak terjangkau) dari agama Allah SWT, juga berusaha menghilangkan syubhat serta kesamaran dan kegagalan-kegagalan dalam memahami ajaran agama Islam itu sendiri.

Syekh Muhammad Abu Musa mengatakan bahwa Islam sendiri dilihat dari hakikatnya, baik secara universal ataupun secara terperinci, adalah suatu hal yang baru. Menurutnya, agama Islam di tengah kita hari ini seperti di hari agama itu turun. Sebab Allah SWT menurunkan agama ini bagi umat manusia secara menyeluruh di setiap zaman, setiap waktu, dan setiap kebudayaan di mana umat manusia berada. Sehingga Allah SWT menanggung secara langsung dan menjaga Al-Quran dari manusia yang berusaha untuk mengubahnya. Begitupun Allah juga menjaga hadis Rasulullah SAW dengan cara mempersiapkan para ulama yang sesungguhnya dan ikhlas dari masa ke masa menjaga dan meriwayatkan hadis Rasulullah SAW.

Selayang Pandang

Dalam bab pertama, Syekh Muhammad Abu Musa lebih menekankan permasalahan pembaharuan dalam memahami Al-Quran dan hadis Rasulullah SAW.

Sedangkan pada bab kedua, Sang Guru Besar Balaghah itu berbicara mengenai kesungguhan dan keseriusan ulama dalam memperbaharui pemikiran Islam yang tertuang di dalam karya-karya mereka, yang sesuai dengan masanya tetapi tanpa adanya pertentangan dengan teks-teks syariat.

Topik mengenai perluasan pemahaman terhadap sejumlah teks untuk menjawab perkembangan terkini di kehidupan kita hari ini terhimpun dalam bab ketiga. Syekh Muhammad Abu Musa menjelaskan bahwa sesungguhnya ijtihad para ulama pada masanya bisa sesuai dengan kebutuhan zaman. Di bab akhir, beliau menjelaskan sebagian komponen-komponen pokok dan spesifikasi seorang alim yang kapabel. Selain itu, beliau juga merinci komponen apa saja yang diperlukan dalam merekontruksi pemikiran Islam.

Etika Lingkungan dalam Islam
Etika lingkungan di era Industri 4.0 menjadi hal yang perlu dipahami masyarakat muslim. Nilai-nilai terkait hal ini sudah tertanam dalam Islam.

Syekh Muhammad Abu Musa memberikan contoh model seseorang yang mampu dan layak untuk merekontruksi pemikiran Islam atupun ilmu-ilmu keislaman. Misalnya saja Abdulqahir Al-Jurjani dalam karyanya Dalail Al-I'jaz dan Asrar Al-Balaghah yang memperlihatkan sisi pembaharuan yang bermacam-macam dalam fan ilmu yang ia angkat tersebut.

Kutipan Menarik dari Min Madakhil At-Tajdid

Sebagaimana banyak nasihat dan poin-poin menarik yang didapat dari majelis pengajian yang diampu beliau, buku Syekh Muhammad Abu Musa ini juga menyimpan sejumlah poin yang menarik hati saya. Berikut ini lima kutipan yang saya pilih dan alih-bahasakan:

  1. "Mempelajari Al-Quran dan hadis yang terlepas dari realita zaman adalah pembelajaran yang bagus. Tetapi, pembelajaran yang demikian itu seolah-olah menggantung di udara. Apabila mempelajari Al-Quran dan hadis dibaurkan dengan realita kehidupan, menghubungkannya, dan memasukannya pada realita kehidupan, maka pembelajaran seperti itu lebih bermanfaat dan lebih bernilai dari pandanganmu terhadap perkara ilahi dalam Al-Quran dan hadis."
  2. "Dan sesungguhnya, jika kamu memperbagus (memperbaiki secara sempurna) kesadaran kamu terhadap realita nyata, maka sungguh kamu akan melihat ayat-ayat yang ada dalam Al-Quran ini seolah turun kepadamu di waktu sekarang ini."
  3. "Memperbaharui agama bukan berarti memperbaharui pengetahuan-pengetahuan yang ada dalam buku-buku dan bukan juga memperbaharui akal-akal manusia, melainkan memperbaiki tingkah laku umat Islam."
  4. "Selagi tidak ditemukan pembacaan yang penuh kesadaran, maka pembicaraan terhadap pembaharuan itu sia-sia belaka."
  5. "Ada beberapa sifat penting pada diri para pembaharu. Yakni, mereka memfokuskan diri untuk ilmu, mencintainya, dan sibuk dengannya. Mereka juga menemukan kenikmatan dalam beratnya pencarian, bahkan mereka takkan sudi melakukan pembaharuan hanya demi disebut sebagai pembaharu."

💡
Baca juga artikel lain di rubrik RESENSI atau tulisan menarik Irfan Rifqi Fauzi