Islam dalam Kacamata Annemarie Schimmel

Banyak faktor yang membuat Islam masih dipandang sebelah mata dan bercitra buruk di mata Barat. Di antaranya adalah kajian-kajian para orientalis terhadap Islam yang di baliknya —sebagaimana Erward Said melihat— terdapat agenda-agenda kolonialisme Barat terhadap Timur. Mereka, para orientalis berangkat dari pra pemahaman superior, The Big Other, untuk membaca Islam yang bagi mereka inferior. Pra-pemahaman tersebut menghasilkan metodologi dan hasil pembacaan yang tidak objektif seperti metode Isqati, Ta'tsir wa Ta'atstsur. Maka, tidak heran tuduhan bahwa umat Islam menyembah Nabi Muhammad, Islam agama pedang, syariat Islam itu bersifat barbarisme dan bertentangan dengan HAM itu masih menjadi pemahaman Barat terhadap Islam.

Tetapi, orientalisme pun tidak sepenuhnya menjadi faktor tersebut. Sebab, ada sebagian dari mereka yang objektif, bahkan kemudian takjub dan terpengaruh pada Islam, akhirnya mereka memeluk Islam dan menjunjung tinggi Islam di tengah peradaban Barat. Hal ini berarti dalam dunia orientalisme terdapat dinamika, dari masa ke masa yang tidak bisa kita generalisir. Di sana juga terdapat otokritik antara satu dengan yang lain. Sehingga hasil kajian orientalis yang objektif, menurut saya tidak ada salahnya untuk kita terima, bahkan perlu untuk kita apresiasi dan sebarluaskan.

Mudahnya Mempelajari Ilmu Qiraat
Ilmu qiraat kerap dianggap rumit untuk dipelajari hingga peminatnya kian sedikit. Padahal ilmu ini tidaklah susah jika kita mau mulai mengenalnya.

Di antara orientalis yang saya maksud di atas adalah, sosok Annemarie Schimmel (1922-2003), orientalis Jerman yang begitu terpesona pada Jalaluddin Ar-Rumi dan menghabiskan hidupnya dalam mendalami tasawuf. Bahkan dalam pengakuan Syekh Mahmud Hamdi Zaqzuq yang kenal cukup dekat dan sering bertemu dengannya, Annemarie Schimmel adalah cahaya Islam dari Barat yang berhasil mengangkat kembali nama Islam di kancah Barat melalui ratusan karyanya. Diceritakan bahwa di akhir hayatnya, ia berpesan untuk menuliskan suatu kalimat bijak sufi yang bermakna dahsyat, “An-nasu niyamun, fa idza matu intabahu. Manusia itu hakikatnya tertidur, ketika mati mereka akan bangun”

Secara umum karya terbesar Annemarie Schimmel adalah “Mystische Dimensionen Des Islam” yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab dengan judul, “Al-Ab’ad Ash-Shufiyyah fi Al-Islam wa Tarikhu At-Tashawwuf” (Dimensi Mistisisme dalam Islam dan Sejarah Tasawuf). Dalam karya tersebut ia sangat terpengaruh pada sosok Jalaluddin Ar-Rumi dan karenanya ia kemudian memeluk Islam. Dalam tulisan kali ini, saya akan mengulas pemikirannya melalui buku yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab “Al-Islamu Din Al-Insaniyyah.” Buku ini adalah cuplikan salah satu artikelnya yang diterbitkan oleh dosennya di Universitas Marburg, Jerman pada tahun 1959 dengan judul “­Al-Adyan Al-Insaniyyah fi Al-Madhi wa Al-Hadhir” (Agama-agama Manusia di Masa Lalu dan Sekarang). Buku ini menarik sebab baginya buku ini adalah gerbang untuk mengenal hakikat Islam yang benar di tengah penyimpangan dan kesalahpahaman Barat dalam memahami Islam.

Selain terhadap tasawuf, perhatian besar Annemarie Schimmel juga untuk menghilangkan kesalahpahaman Barat terhadap Islam yang begitu kuat. Mula-mula Annemarie meyakini bahwa Barat itu tidak benar-benar memahami ajaran Islam yang benar. Tuduhan-tuduhan yang disebar seperti bahwa Umat Islam itu menyembah dan mengultuskan Muhammad, ketika salat umat Islam membayangkan terlebih dahulu patung-patung berhala yang ia sembah, dan sebagainya yang mengarah kepada pemahaman bahwa Islam mengajarkan kultus atas simbol, adalah sengaja disebarkan oleh pihak-pihak gereja.

Oleh sebab itu, secara umum akar dari semua ini adalah kebencian gereja terhadap Islam yang dimulai sejak abad pertengahan. Kebencian itu muncul menurut Annemarie sejak peristiwa perang besar yang melibatkan umat Islam dan Barat. Yang terbesar dari peristwa itu terjadi pada dua waktu: 1) ekspansi  Arab-Islam ke Andalusia sejak abad 8 Masehi yang kemudian melahirkan Perang Salib I dan II. 2) serangan Ottoman ke Austria pada tahun 1683 yang menyebabkan banyak korban dari pihak musuh. Dua peristiwa tersebut membuat gereja geram dan dendam sehingga Islam diberi stigma sebagai musuh bebuyutan Kristiani di Eropa. Serta dari kebencian itu disebarlah banyak tuduhan-tuduhan tidak benar terhadap ajaran Islam.

Bahasa Arab

Kumpulan tulisan dengan topik bahasa Arab dan cabang ilmu terkait bisa teman-teman temukan

di sini

Selain faktor politis tersebut, ketidakmampuan Barat untuk memahami bahasa Arab juga menjadi sebab paling mendasar kesalahpahaman mereka atas Islam. Dalam pengamatan Annemarie, awal mula perhatian Barat untuk mempelajari bahasa Arab baru dimulai di akhir abad pertengahan. Ditandai dengan awal mula penerjemahan Al-Quran ke bahasa latin di tangan Robertus Kentenensis pada tahun 1243 M, yang kemudian mendorong penerjemahan terhadap berbagai bahasa lain seperti Italia, Jerman, hingga Belanda.

Melalui perantara penguasaan bahasa tersebut, mulailah Eropa mengenal Islam yang sebenarnya serta mitos-mitos buruk terhadap Islam mulai hilang secara perlahan. Begitu juga, mendorong keterbukaan para orientalis untuk mengkaji Islam secara objektif, khususnya terhadap sosok Nabi Muhammad SAW. Annemarie menyebut bahwa Henri de Boulainvilliers adalah orientalis pertama yang mengakui kebenaran sosok Muhammad dan kehebatannya. Henri mengatakan bahwa Muhammad adalah Nabi yang mengajak kepada agama rasional yang bisa diterima oleh akal. Diikuti juga oleh sosok Hermann Samuel Reimarus, George Sale, hingga yang paling besar keterpengaruhannya kepada Islam dari semua orientalis itu adalah Johann von Goethe. Karangan miliknya yang berjudul “Mulahadzat 'ala Diwan Asy-Syarqi Al-Gharbi” (Studi Analisis terhadap Sastra Timur-Barat) adalah karya pertama yang berbicara dialektika antara Barat dan Timur dalam sastra. Begitu juga masa Goethe itu (abad 18 M), menurut Annemarie adalah masa berakhirnya perselisihan para orientalis terhadap Islam dan kesalahpahaman mereka.

Annemarie kemudian memungkas bahwa studi para orientalis terhadap Islam benar-benar memasuki masa keemasannya di abad 19 M. Hal itu menurut Annemarie ditandai dengan diterjemahkannya prosa Alfu Lailah wa Lailah (Cerita SeribuSatu Malam) ke dalam bahasa Prancis. Sebuah prosa, cerita yang memengaruhi secara mendalam terhadap sastrawan, ahli musik, dan pelukis di Barat. Begitu juga penerjemahan diwan (antologi syair) Al-Hafizh Asy-Syirazi yang begitu memengaruhi Goethe dalam karangannya dan pemikirannya dalam bidang sastra.

Ide Tajdid Menurut Syekh Muhammad Abu Musa
Guru Besar Balaghah Universitas Al-Azhar, Syekh Muhammad Abu Musa menulis banyak kitab. Salah satunya kitab yang membahas pembaruan dalam Islam.

Dengan sekelumit pemikiran Annemarie ini, saya bisa menarik benang merah bahwa buruknya citra Islam di mata Barat itu terjadi murni karena faktor politis. Kekalahan yang melahirkan kebencian itu adalah hal yang wajar dalam sejarah bangsa-bangsa. Maka, dendam kesumat Barat terhadap Islam bagi saya adalah tanda ketakutan mereka terhadap kebangkitan Islam di satu sisi. Di sisi lain menandakan bahwa Barat sendiri mengakui bahwa Islam adalah agama yang besar dan memiliki segenap potensi untuk masa depan umat manusia.

Kesimpulan selanjutnya adalah, orientalisme sebagai alat intelektual Barat untuk mempelajari Islam  menurut saya memiliki dua wajah: pertama, wajah yang didominasi kepentingan kolonial. Maka, corak yang seperti inilah yang harus kita waspadai dan kita kritik balik terhadap cara pandang mereka. Kedua, wajah murni intelektual orientalisme. Pada corak inilah kita perlu mengapresiasi orientalis, seperti sosok Annemarie Schimmel ini. Dengan kehadiran mereka akan mengangkat dialektika ajaran Islam di ranah dunia. Serta bersumbangsih dalam menjaga sumber-sumber dan warisan umat Islam yang barangkali kita belum pernah menyentuhnya. Terakhir, sosok Annemarie adalah tamparan keras bagi kita, umat Islam sebagai bagian dari Islam, akan tetapi justru jauh dari kata mengenal dan mendalaminya. Tabik!

💡
Baca juga artikel lain di rubrik OPINI atau tulisan menarik Lukman Hakim Rohim