Skip to content

Islam dan Gagasan Childfree dalam Sebuah Pernikahan

Gagasan untuk tidak memiliki anak (Childfree) pernah dijawab dalam fatwa ulama Mesir. Bagaimana Islam melihat gagasan kontroversial itu?

Foto: Ilustrasi (Kelly Sikkema/Unsplash)
Foto: Ilustrasi (Kelly Sikkema/Unsplash)

Hikmah dan tujuan utama sebuah pernikahan menurut Al-Quran adalah tercapainya rasa damai dan jalinan cinta-kasih bagi kedua pasangan. Dalam Surat ar-Rum ayat 21, Allah berfiman: “Dan dari sebagian ayat-Nya (sebagai bukti keesaan) ialah penciptaan pasangan-pasangan dari diri kalian sendiri, agar kalian memperoleh rasa damai dan tenteram dari mereka, dan juga Ia jadikan antara kalian rasa saling mengasihi dan menyintai. Sungguh di dalamnya bukti-bukti bagi orang-orang yang mau berpikir.” Pernikahan yang disebut sebagai “perjanjian suci” di hadapan Tuhan bukanlah sesuatu yang main-main. Oleh karenanya, seperti yang disinggung dalam ayat di atas, pernikahan yang ideal adalah pernikahan yang menghadirkan euforia kedamaian dan cinta kasih.

Bagi sebagian orang, alih-alih merumuskan dan mendiskusikan bagaimana mewujudkan tujuan utama pernikahan, hubungan ini seringkali dianggap sebagai bentuk pemenuhan kebutuhan biologis secara legal semata. Efek dominonya, akad suci ini tidak bisa dihindarkan dari masalah yang berkaitan dengan reproduksi. Terlebih bagi sebuah masyarakat yang menganggap anak biologis sebagai barometer "keperkasaan”, kesuksesan, dan capaian "materiil” lainnya.

Merevisi Pemahaman Ekstrem dan Takfiri
Buku Al-Fahm Al-Munir yang ditulis oleh Syekh Usamah Al-Azhari hadir menjawab kesalahan-kesalahan penafsiran ayat yang berujung fatal.

Oleh karenanya, gagasan childfree (gagasan untuk tidak memiliki anak) sebagai pilihan hidup oleh banyak pasangan yang belakangan ini cukup hangat diperbincangkan dianggap menyalahi “kodrat”. Bagai mereka yang setuju, banyak argumen yang melatarbelakanginya, seperti over populasi, kekhawatiran masa depan anak dan banyak lainnya. Sebagian yang lain memilih hidup saling mengasihi dengan pasangan tanpa diributkan masalah anak.

Islam sendiri pada dasarnya tidak mewajibkan pasangan suami istri untuk beranak-pinak. Di dalam Al-Quran pun tidak ditemukan teks yang mewajibkan hal tersebut. Bahkan dalam Hadis terdapat beberapa riwayat yang mengonfirmasi kebolehan praktik pencegahan kehamilan dengan tidak berejakulasi di dalam rahim selama hubungan seks. Dalam konteks saat ini berarti kelegalan penggunaan alat-alat kontrasepsi.

Prof. Ali Gomaa, salah satu anggota Dewan Ulama Senior Al-Azhar yang juga mantan mufti Mesir menyapaikan secara resmi fatwanya—saat masih menjabat sebagai Grand Mufti—atas kebolehan gerakan childfree. Tidak ketinggalan, Grand Mufti Mesir saat ini Prof. Syawqi Âllām juga mengamini hal yang sama. [1]

Para ulama ini menegaskan bahwa keputusan untuk memiliki anak atau pun tidak adalah hak prerogatif pasangan. Dengan catatan, baik suami maupun istri telah mencapai kesepakatan dan saling rida-legawa atas kesepakatan yang diambil, bukan berdasar egoisme sepihak belaka. Kebolehan praktik ini juga tidak membatasi alasan yang melatarbelakanginya, baik alasan ekonomi, over populasi, atau bahkan alasan yang cukup personal; sekedar tidak mau memiliki anak, selama kemaslahatan tertentu sebagai tujuan utamanya.

Lebih lanjut, kebolehan praktik ini hanya pada skala personal. Sedang hukumnya haram untuk skala global atau menyeluruh. Dalam artian jika seluruh manusia bersepakat untuk tidak bereproduksi maka hikmah penciptaan manusia sebagai khalifah di muka bumi tidak bisa tercapai karena ancaman kepunahan.

Tradisi Pernikahan Paling Tua di Dunia
Mesir mempunyai banyak tinggalan dari sejarah yang panjang. Salah satunya adalah tradisi perayaan pernikahan.

Gagasan ini menjadi menarik pula ketika kita mengasosiasikannya dengan hak anak atas orang tuanya. Anak memiliki berbagai hak yang harus dipenuhi oleh orang tua, semisal hak atas pendidikan yang layak, hak atas kasih sayang yang ideal, hak atas kehidupan dan rasa aman, juga hak-hak lainnya. Artinya, ketika orang tua tidak yakin atas kemampuannya untuk memenuhi hak-hak demikian—dengan berbagai alasan konkritnya, maka gagasan childfree bisa menjadi solusi, toh agama tidak melarang praktik ini. Menjadi pelik ketika orangtua tidak bisa memenuhi hak anak atasnya namun tetap nekad bereproduksi karena sekedar berdasar keinginan memenuhi ambisi dan ego personal, alih-alih membeli kondom yang harganya jelas lebih murah dari biaya persalinan.

Pada intinya, kita bebas memilih selama kita yakin akan kemaslahatan yang timbul dari keputusan yang diambil. Yang tidak-boleh-tidak hanyalah pemenuhan cinta-kasih antar pasangan. Seperti kata para penyair, cinta kasih adalah abadi, yang fana hanyalah kita; pelakunya.


[1] Keterangan dan fatwa ini bisa diakses melalui laman resmi Dar al-Ifta Mesir.


Baca juga artikel lain di rubrik ISLAMUNA atau tulisan menarik Azuma Muhammad

Latest