Keharusan Ijtihad di Masa Sekarang

Saat mengenyam bangku kuliah di Kairo, saya selalu menyempatkan diri untuk membeli majalah Al-Azhar yang terbit setiap bulan. Di antara rubriknya —yang bagi saya cukup menarik— adalah perbincangan terkait wacana dan gagasan-gagasan keislaman yang cemerlang. Di samping itu, para penulis dengan kompetensi dalam bidang keilmuannya masing-masing, mencoba merespon atas setiap permasalahan aktual dan faktual, baik isu yang terbatas pada lingkup regional maupun global. Rubrik di dalam majalah tersebut ditulis oleh Dewan Ulama Senior (Hai’ah Kibar Al-‘Ulama) dan cendekiawan yang lahir dari rahim institusi pendidikan Al-Azhar. Selain suguhan wacana keislaman klasik dan kontemporer, penerbit majalah biasanya juga menambahkan hadiah satu atau dua buah buku lagi yang kemasannya ringkas namun pembahasannya tetap mendalam. Ya, sekali lagi buku-buku itu diberikan secara cuma-cuma bagi pembaca setia majalah Al-Azhar.

Buku hadiah dari majalah Al-Azhar yang akan saya hadirkan kali ini adalah buku yang berisi wacana keislaman berikut komentarnya yang ditulis oleh ulama sekaligus pakar filsafat Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir; Al-Maghfurlah Prof. Dr. Mahmud Hamdi Zaqzuq. Sosok Dr. Hamdi merupakan cendekiawan terkemuka sekaligus salah satu anggota Dewan Ulama Senior Al-Azhar. Beliau dikenal sebagai tokoh pemikir keislaman kontemporer dan filsuf Islam abad ke-20 ini. Buku yang akan saya singgung berjudul Hawamisy ‘ala Azmat Al-Fikri Al-Islami Al-Mu’ashir (Catatan-catatan Pinggir atas Krisis Pemikiran Islam Modern).

As-Sais, Guru Besar Tafsir nan Fakih
Riwayat hidup guru besar tafsir universitas Al-Azhar. Tak hanya pernah menjabat dekan Usuluddin, ia pun dipercaya mengepalai fakultas Syari’ah.

Bagi saya sub-judul yang dihadirkan dalam buku itu menarik semua. Dr. Zaqzuq sebagaimana konsentrasi beliau terhadap filsafat, aliran pemikiran dan kelimuan Islam, semacam memberikan komentar, kritik, tanggapan berikut saran atasterjadinya krisis pemikiran Islam kontemporer. Buku yang berisi 130 halaman itu merupakan jawaban sekaligus tawaransolusi atas kegelisahannya selama itu.

Namun, untuk sementara ini saya tertarik menghadirkan beberapa catatan komentarnya tentang persoalan ijtihad, taklid dan fikih kontekstual.

Para pelajar dan pengkaiji keilmuan Islam tentu telah mengetahui kisah Sahabat Mu’adz bin Jabal RA ketika diutus oleh Baginda Nabi SAW ke wilayah Yaman. Nabi menunjuk Sahabat Mu’adz agar menjadi kadi atau hakim yang mengadili perkara-perkara keislaman di wilayah itu. Nabi lantas menanyakan, “Bagaimana engkau akan menghukumi sesuatu ketika disodorkan suatu permasalahan? Ia menjawab: (Aku akan menghukumi) dengan (berlandaskan dalil) Al-Quran. Jika kamu tidak menemukan (jawaban pasti dalam Al-Quran)? Ia menjawab: (Aku akan menghukumi) dengan (berlandaskan dalil) sunah atau hadis Rasulullah SAW. Jika kamu tidak menemukan (jawaban pasti dalam hadis Nabi)? Ia menjawab: Aku akan (berusaha maksimal) mencurahkan daya sepenuhnya atas pendapatku (ijtihad).”

Kemudian Nabi Muhammad SAW memuji Sahabat Mu’adz dengan bersabda, “Segala puji milik Allah SWT yang telah memberikan petunjuk atas utusan Rasulullah SAW. kepada perkara yang diridai oleh Allah dan Rasul-Nya.

Berdasar kisah Sahabat Mu’adz yang mendapatkan pujian sekaligus apresiasi dari Rasulullah atas keberaniannya untuk berijtihad, kita dapat meyakini peranan para mujtahid di masa sahabat, tabiin dan generasi setelah mereka. Di samping itu, tidak dapat disangkal bahwa teks-teks yang dijadikan rujukan oleh para fukaha di masa perkembangan ijtihad dan kodifikasi keilmuan Islam jumlahnya sangatlah terbatas. Sedangkan peristiwa atau perkembangan kehidupan itu terus mengalami perubahan di setiap waktu. Sehingga, membumikan teks-teks sebagai penyikapan terhadap realitas kehidupan dibutuhkan akal yang teguh, pengetahuan yang luas, dan kesadaran akan urgensitas integrasi antar keilmuan Islam.

Kita sadari juga perkembangan mazhab-mazhab fikih yang bermacam-macam bertujuan agar memberi kemudahan terhadap umat Islam. Oleh karena itu perbedaan ulama merupakan rahmat bagi umat Islam. Lantaran setiap ulama yang berkompetensi dalam bidangnya masing-masing memiliki sandaran argumentasi yang kokoh dan dapat dipertanggungjawabkan. Ibnu Qudamah Al-Maqdisi di dalam kitab Al-Mughni mengatakan, “Ittifaquhum hujjah qathi’ah, wa ikhtilafuhum rahmah wasi’ah. (Kesepakatan di antara ulama merupakan keputusan yang pasti, sedangkan perbedaan di kalangan mereka adalah rahmat yang begitu luas).”

Seperti halnya keteladanan yang telah dicontohkan oleh ulama-ulama semenjak masa primordial Islam. Di satu sisi mereka memfungsikan nalarnya untuk memahami teks dan di sisi yang lain membumikan teks itu agar sesuai dengan konteks kehidupan. Kemampuan dari dua segi ini dianggap sesuatu yang harus mutlak dan pasti dimiliki oleh sosok ulama agar menghasilkan pendapat yang benar serta dapat dipertanggungjawabkan keabsahannya.

Prinsip ijtihad adalah pembuka yang baru dalam sejarah syariat Islam. Sehingga Muhammad Iqbal mendeskripsikan ijtihad sebagai prinsip gerak dalam ajaran Islam. Ijtihad dalam Islam merupakan prinsip yang semestinya terus berlangsung sepanjang zaman. Bukan hanya terbatas pada periode waktu tertentu. Para fukaha diharapkan agar mampu berijtihad tanpa henti. Nabi telah menetapkan bahwa seorang mujtahid apabila telah berusaha merumuskan suatu hukum namun menghasilkan konklusi yang salah, maka ia tetap mendapatkan satu ganjaran kebaikan atas usahanya. Sedangkan, jika ia benar tentu akan mendapatkan dua ganjaran atas usaha dan konklusi kebenaran dari ijtihadnya.

Jika Nabi Muhammad telah membuka pintu ijtihad bagi umat, maka tidak boleh bagi siapa pun menutup pintu Ijtihad. Maka, menutup pintu ijtihad sama halnya dengan menutup rahmat Allah SWT. Di samping itu, menutup pintu ijtihad juga berati menutup potensi akal atas haknya dalam memahami dan berpikir secara komprehensif.

Contoh konkret yang dilakukan Imam Syafi’i ketika datang ke Mesir dan memutuskan untuk menetap di sana. Ia memulai untuk memikirkan kembali pendapat-pendapat yang telah ia katakan sebelumnya ketika di Bagdad. Karena persoalan fatwa wajib menjaga eksistensi ‘uruf setiap daerah atau negara tertentu. Prof. Dr. Hamdi Zaqzuq lalu menukil perkataan Ibnu Al-Qayyim, “Barang siapa yang berfatwa kepada orang-orang dengan hanya menukil (secara tekstual) dari kitab-kitab atas perbedaan uruf, adat, waktu dan keadaan tingkah mereka dan indikasi keadaan mereka, maka telah benar-benar sesat dan menyesatkan, dan ia berdosa atas agama.”

Dapat disimpulkan, seorang ahli fikih yang berfatwa tanpa mengenal ‘uruf atau adat istiadat daerah tertentu, dan hanya menukil dari kitab-kitab tanpa menyadari situasi ‘uruf berikut istilahnya, maka ia telah berdosa atas agama. Hal ini menunjukan bahwa untuk melahirkan ijtihad yang benar diharuskan memahami teks secara mendalam (fahm an-nass) sekaligus memahami realitas sosial yang berkembang (fahm al-waqi’).

Mengurai Benang Kusut Hubungan Agama dan Budaya
Budaya bisa sangat berbeda antara satu daerah dengan yang lain. Mode berpakaian salah satunya. Bagaimana ajaran Islam melihatnya?

Prof. Dr. Mahmud Hamdi Zaqzuq seolah menyindir mayoritas umat Islam yang selama ini telah meninggalkan ijtihad dan memilih untuk sekadar bertaklid. Padahal di masa ini menurut pandangan beliau, lebih membutuhkan wacana ijtihad dibandingkan masa lampau. Ia melihat data konkret para fukaha hari ini ketika mencari solusi dari permasalahan fikih yang berkembang. Rata-rata menurut Dr. Zaqzuq, sebagian besar ulama ketika mencari solusi jawaban tersebut di dalam kitab-kitab yang ditulis di masa lampau tanpa mempertimbangkan aspek aktualisasinya di masa kini.

Penulis buku Hawamisyala Azmat Al-Fikri Al-Islami Al-Muashir ini lantas menanyakan, sampai kapan kita akan bergantung kepada para pakar fikih terdahulu?

Menurutnya, ijtihad di masa sekarang adalah keharusan. Bahkan menurut cendekiawan Al-Azhar ini merupakan fardu ‘ain bagi orang-orang yang mempunyai kemampuan. Beliau melanjutkan bahwa saat ini kita mempunyai banyak fukaha yang berhak untuk melakukan ijtihad. Tetapi lagi-lagi menurut pandangan Dr. Hamdi, para fukaha saat ini membutuhkan dua keberanian. Pertama, keberanian menghilangkan belenggu taklid. Kedua, keberanian dalam menciptakan pondasi nalar yang kokoh.

Pada akhirnya, saya baru ingat kalau kopi yang saya seduh ketika menulis artikel ini belum diseruput. Tabik!


Baca juga artikel lain di rubrik TAKARIR atau tulisan menarik Irfan Rifqi Fauzi