Skip to content

Kerangka Dasar Toleransi dalam Al-Quran dan Praktik Nabi

Al-Quran menjamin kebebasan bagi siapapun untuk beriman dan beribadah. Praktik sosial Rasul pun memperkuat nilai toleransi antar sesama manusia.

FOTO Masjid Nabawi, Madinah Al-Munawwarah (Anas Miah/Unsplash)
FOTO Masjid Nabawi, Madinah Al-Munawwarah (Anas Miah/Unsplash)

Pada fase awal kenabian, tokoh-tokoh kenamaan suku Quraisy pernah bernegosiasi dengan Nabi mengenai periodisasi penyembahan Tuhan. Mereka menawarkan proposal kepada Nabi untuk saling menyembah Tuhan masing-masing secara bergantian dalam kurun waktu tertentu; dalam satu Tahun, Nabi dan pengikutnya diminta menyembah berhala, lalu sebaliknya pada tahun berikutnya. Ibnu Katsir merekam peristiwa ini sebagai sebab diturunkannya Surah Al-Kāfirūn.

Pada dasarnya peristiwa tersebut memotret upaya intervensi seseorang kepada hal-hal yang bersifat privat bagi orang lain, dalam hal ini agama dan keimanan. Respon Al-Quran sendiri cukup tegas mengenai hal tersebut, bahwa ia menjamin kebebasan bagi siapapun untuk melakukan ritual keagamaan dan berkeyakinan dengan keimanan tertentu, begitu pula ia meminta bagi non-muslim untuk tidak ikut campur dalam keimanan yang dimiliki muslim atas Tuhannya. Artinya, Al-Quran menghormati hak beriman dan bergama orang lain begitu pun sebaliknya, menuntut hak bagi muslim untuk dihormati keimanannya.

Rekaman Perjalanan Lahirnya Piagam Persaudaraan Kemanusiaan
Ulasan singkat atas buku yang merekam perjalanan lahirnya Piagam Persaudaraan Kemanusiaan (Watsiqah Al-Ukhuwwah Al-Insaniyyah).

Argumentasi ini tersusun rapi—seperti yang sudah disebutkan sebelumnya—dalam Surah Al-Kāfirūn (109:1-6):

قُلْ يٰٓاَيُّهَا الْكٰفِرُوْنَۙ ١ لَآ اَعْبُدُ مَا تَعْبُدُوْنَۙ ٢ وَلَآ اَنْتُمْ عٰبِدُوْنَ مَآ اَعْبُدُۚ ٣ وَلَآ اَنَا۠ عَابِدٌ مَّا عَبَدْتُّمْۙ ٤ وَلَآ اَنْتُمْ عٰبِدُوْنَ مَآ اَعْبُدُۗ ٥ لَكُمْ دِيْنُكُمْ وَلِيَ دِيْنِ ࣖ ٦

Katakanlah (Muhammad), “Wahai orang-orang kafir! Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah, dan kamu bukan penyembah apa yang aku sembah, dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah,dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah apa yang aku sembah. Untukmu agamamu, dan untukku agamaku.”

Pada ayat terakhir, Ibnu ‘Āsyūr menafsirkannya sebagai bentuk eksklusivitas agama bagi pemeluknya. Secara lugas ia berpendapat bahwa agama bersifat terbatas dan khusus bagi pemeluknya serta tidak membuka peluang untuk pihak lain ikut campur di dalamnya, lebih-lebih sebagai bentuk keberhakan.

Sedangkan Ibnu Katsīr menghubungkan ayat ini dengan ayat Fa in kadzdzabūka fa qul lī ‘amalī wa lakum ‘amalukum, antum barīūna min mā a’malu wa ana barīun min mā ta’malūn. Memang ayat ini terkesan defensif bagi Muslim ketika keimanannya diintervensi jika dipahami dari segi teks eksplisitnya.  Namun ketika kita pahami mafhūm an-nash akan berlaku pula sebaliknya, bahwa orang lain pun akan merasa kurang nyaman ketika keimanannya sebagai hal yang privat diintervensi. Maka, langkah terbaik adalah memberikan demarkasi yang jelas dan tegas, bagi saya (tanggung jawab) atas apa yang saya lakukan, begitu pula anda, anda terbebas dari (tanggung jawab) apa yang saya lakukan, begitu pula anda.

Al-Quran

Kumpulan tulisan dengan kata kunci Al-Quran dan cabang ilmunya bisa teman-teman temukan

di sini

Memang jika kita melihat gambaran Surah Al-Kāfirun secara umum, ayat ini berbicara tentang pemurnian tauhid. Tuhan tidak mengizinkan adanya pencampuran antar ajaran agama, dan bahwa ajaran Islam tidak bisa dicampuradukkan dengan ajaran yang lain. Hal ini diperkuat dengan apa yang tertulis dalam Surah Yunus, bahwa muslim tidak bertanggung jawab atas apa yang dikerjakan non-muslim. Segala yang diperbuat masing-masing pihak, maka akan mereka pertanggungjawabkan masing-masing. Namun, dalam waktu yang bersamaan, ayat-ayat ini juga berbicara tentang kebebasan secara mutlak untuk beragama dan mengekspresikannya.

Hal ini diperkuat dengan praktik sosial yang dilakukan Nabi. Ini menjadi penting karena praktik Nabi adalah validasi terkuat atas interpretasi dan aplikasi ayat-ayat Al-Quran. Dalam tradisi sarjana muslim, praktik Nabi pula menjadi salah satu sumber hukum. Praktik Nabi yang memperkuat tesis tersebut salah satunya piagam Madinah. Dalam piagam tersebut, salah satu poin pentingnya adalah kebebasan masing-masing pemeluk agama untuk mejaga eksistensi keimanan meraka, juga kebebasan untuk mengerjakan praktik-praktik keagamaan.

Pada akhirnya, substansi toleransi dalam kerangka dialektika teologis adalah upaya menghargai masing-masing kelompok tanpa adanya hasrat untuk ikut campur dan intervensi. Tentu saja hal ini berlaku dalam ruang lingkup kehidupan sosial yang inklusif, bukan pada konteks kajian akademik ekslusif. Barangkali, pernyataan ini boleh jadi dianggap usang, namun tentunya akan terus relevan untuk digaungkan mengingat fitnah zaman modern menghantam begitu keras kehidupan sosial-agama kita dewasa ini.

Dai Intoleran dan Krisis Dakwah Bil Akhlaq
Bukan sekali ini khalayak dibuat ramai oleh ucapan pendakwah. Fenomena ini menegaskan bahwa muslim Indonesia dilanda krisis dakwah bil akhlaq.

Di lain sisi, Al-Quran juga berbicara tentang hubungan muslim dan non-muslim dalam kerangka interaksi sosial dan ruang publik. Ada beberapa ayat yang bisa kita elaborasi dalam konteks ini. Di antaranya adalah larangan memerangi non-muslim yang tidak memerangi dan mempersekusi muslim secra umum. Bahkan Al-Quran mengizinkan untuk bersosial secara baik dan berbuat adil kepada non-muslim selama bukan dalam kondisi perang. Hal ini tercantum dalam Surah Al-Mumtahanah (60:8):

لَا يَنْهٰىكُمُ اللّٰهُ عَنِ الَّذِيْنَ لَمْ يُقَاتِلُوْكُمْ فِى الدِّيْنِ وَلَمْ يُخْرِجُوْكُمْ مِّنْ دِيَارِكُمْ اَنْ تَبَرُّوْهُمْ وَتُقْسِطُوْٓا اِلَيْهِمْۗ اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِيْنَ ٨

Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu dalam urusan agama dan tidak mengusir kamu dari kampung halamanmu. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil.

Membantah Klaim Islam Agama Pedang
Suara-suara sumbang tentang Islam kerap menyebutnya agama pedang. Lalu, bagaimana sebenarnya makna Futuhat?

Mengenai ayat ini, Ibnu Katsīr mengutip sebuah hadis yang diriwatkan oleh Al-Bukhāri, diriwayatkan bahwa Asmā’ binti Abū Bakr bertanya kepada Nabi ketika ibunya mendatanginya saat era perjanjian Hudaibiyah, padahal ia seorang non muslim: “Wahai Nabi, ibu saya mendatangi saya, padahal ia no-muslim. Apakah saya boleh menemuinya?” Nabi pun menjawab boleh.

Dari dua ayat di atas, kita bisa melihat bahwa Al-Quran memberikan pedoman berinteraksi kepada non-muslim dalam ranah publik maupun privat. Kemudian, Nabi yang menjadi penafsir pokok atas Al-Quran pun memberikan contoh-contoh keluwesan dalam menerima perbedaan dan keberagaman. Sikap luwes atas keberagaman yang menjadi pondasi toleransi ini terbukti eksis dalam dalam Al-Quran dan kemudian diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari Nabi dan para sahabatnya. Wallāhu a’lam.

💡
Baca juga artikel lain di rubrik ISLAMUNA atau tulisan menarik Azuma Muhammad

Latest