Kontekstualisasi Fikih di Era Kiwari

Ketika kita membincang fikih di era kiwari, ada suatu realita yang mana kita tidak bisa memungkirinya, yakni bahwa sampai sekarang fikih belum bisa “membumi” secara aplikatif dan efektif dalam masyarakat. Padahal masyarakat Indonesia secara mayoritas memeluk agama Islam. Namun hingga kini, fikih baru benar-benar diaplikasikan secara efektif dalam lapangan al-ahkam al-‘ubudiyyah saja. Sementara dalam sektor kehidupan umat lainnya, khususnya menyangkut kehidupan sosial, masih banyak sekali perilaku masyarakat yang kurang mengaplikasikan fikih. Semacam ada pesimisme, bahwa ketika ada wacana fikih akan diangkat kembali ke tengah-tengah kehidupan masyarakat, akan dapat menjadi solusi konkret atas segudang problematika sosial yang ada. Padahal fikih sosial ini bisa menjadi solusi di tengah kian carut-marutnya dan kian kompleksnya problematika sosial masyarakat kita.

Pesimisme itu bisa dimaklumi, mengingat kontekstualisasi fikih memang akan menemu banyak aral tantangan serta rintangan. Tantangan tersebut pertama-tama akan datang dari hukum positif Indonesia yang notabene warisan Belanda. Hukum positif warisan itu banyak memiliki perbedaan tajam dengan fikih, meski juga dalam beberapa hal terdapat persamaan. Selain itu, tantangan lain yang juga tidak kalah beratnya adalah cara ‘menerjemahkan’ fikih secara tepat dan arif ke dalam konteks masyarakat kita. Agar pada akhirnya, fikih dapat diterima oleh masyarakat sebagai kebutuhan dan solusi, bukan malah menjadi beban.

As-Sais, Guru Besar Tafsir nan Fakih
Riwayat hidup guru besar tafsir universitas Al-Azhar. Tak hanya pernah menjabat dekan Usuluddin, ia pun dipercaya mengepalai fakultas Syari’ah.

Dengan melihat akar filosofis dan historisnya, akan tampak jelas bahwa hukum Belanda sangat bertentangan dengan nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat Indonesia. Hukum Belanda dibangun atas nilai individualisme dan liberalisme, sedangkan masyarakat Indonesia menganut nilai kebersamaan dan religiusitas. Mengingat hukum positif kita ternyata masih sangat didominasi oleh hukum Belanda, maka tentu banyak sekali dari ketentuan hukum positif yang sesungguhnya bertentangan dengan nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat Indonesia. Hal ini berakibat, banyak masyarakat Indonesia yang tidak menjiwai hukum yang berlaku bagi mereka dan merasa terpaksa dalam menjalankannya.

Melihat adanya kesenjangan antara nilai yang dianut masyarakat, dengan ketentuan hukum yang harus berlaku, fikih sebenarnya mendapat “celah” untuk masuk ke dalam kehidupan masyarakat. Ini bukanlah wacana yang mustahil terealisasi. Sebab, bila dibandingkan hukum warisan kolonial, fikih jelas lebih seseuai dengan nilai-nilai yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat Indonesia. Persoalannya adalah tinggal bagaimana fikih akan diperkenalkan secara utuh kepada masyarakat. Apalagi bila kita mengingat kenyataan bahwa sebenarnya hukum Barat juga mengadopsi hukum Islam, sehinggga dalam beberapa hal masih terdapat beberapa persamaan. Ketua Mahkamah Konstitusi Prof. Dr. Jimly Asshidiqie SH. MH. mengatakan bahwa code pénal Prancis bila ditelusuri sejarahnya secara substansial, akan tampak bahwa sebenarnya ia banyak mengambil konsep fikih mazhab Maliki yang saat itu berkembang di Mesir. Padahal code pénal banyak diadopsi oleh KUHP Belanda, dan KUHP Belanda kemudian diadopsi oleh Indonesia. Maka tidak heran, jika sekarang banyak ditemukan asas hukum yang sama, seperti: asas persamaan di depan hukum, asas legalitas, asas tidak sahnya hukuman berdasar keraguan dan asas praduga tak bersalah.

Resensi

Kumpulan ulasan buku dan kitab menarik dapat teman-teman baca

di sini

Kontekstualisasi Fikih

Fikih harus terus diintegrasikan ke dalam kehidupan masyarakat, sehingga nantinya fikih dapat menempati peran strategis, serta mampu tampil proaktif dalam mengatasi problematika bangsa ini. Integrasi fikih harus dilakukan sesegera mungkin, sebelum nilai-nilai asli masyarakat Indonesia akhirnya luntur oleh kikisan-kikisan liberalisme dan individualisme yang diwariskan Belanda (melalui sistem hukumnya). Semakin mengulur waktu proses integrasi fikih, berarti akan semakin kecil pula peluang fikih untuk bisa tampil secara operasional dalam denyut nadi kehidupan rakyat Indonesia yang mayoritas muslim. Nah, tantangan selanjutnya bagi para pemikir hukum Islam di negara ini adalah bagaimana membuat fikih yang selama ini hanya merupakan teks dan idealitas menjadi fikih yang merakyat dan membumi. Untuk menghasilkan fikih yang demikian itu, perlu mengubah paradigma terhadap fikih, dari paradigma tekstualis menuju paradigma substansialis; dari paradigma ‘teks’ menjadi paradigma ‘manath’ (tempat bergantung).

Secara histori (tarikh tasyri’), fikih tidak lahir dari ruang hampa serta ‘steril’ dari pengaruh keadaan yang melingkupinya. Tetapi dalam beberapa bagiannya, fikih merupakan ‘bayi’ yang lahir dari proses dialog antara wahyu dan ‘keadaan sosial’ di mana wahyu itu berlaku. Ada beberapa memang ketentuan dalam fikih yang bersifat baku, stagnan, dan harus diterima apa adanya dalam segala situasi dan kondisi. Namun, banyak pula ketentuan fikih yang sesungguhnya sangat dipengaruhi oleh ‘keadaan sosial’ dimana sang mualif kitab hidup dan tinggal. Fenomena adanya ‘qaul qodim’ dan ‘qaul jadid’ dalam mazhab Syafi’i adalah bukti paling mudah dari sisi fleksibilitas fikih, di samping adanya sisi rigiditas (kekakuan) fikih.

Memahami Kembali Fleksibilitas dan Elastisitas Produk Fikih
Fikih kerap dicap kaku dan jumud. Tulisan ini mengajak kita memahami kembali sisi fleksibel dari dunia fikih.

Selanjutnya, untuk memilah mana yang merupakan doktrin baku dan mana yang tidak baku dari fikih, mencari cara paling efektif dan persuasif untuk mewujudkan wacana ini adalah menjadi tugas sekaligus tanggung jawab pokok dari seorang ‘fakih’. Di era kiwari, parameter kepakaran dari seorang pakar fikih (fakih -pen) bukanlah ditentukan sejauh mana dia menghafal qaul-qaul dalam suatu mazhab atau bahkan lintas mazhab. Tapi kecerdasan yang sesungguhnya dari seorang fakih ditentukan oleh sejauh mana kemampuan dia dalam menyelami secara mendalam makna di balik teks, sampai kemudian dapat mengangkat ‘manath’ dari hukum yang tertulis dari teks tersebut, yang sesungguhnya merupakan intisari atau substansinya. Tugas ini jelas merupakan tugas yang sangat berat dan menjadi tugas bersama kita sebagai muslim terpelajar di era kiwari ini. Sebab tugas berat ini memang tidak bisa dilakukan oleh sembarang orang yang mengetahui Islam hanya dari buku terjemahan atau hanya dari ngaji ke “Mbah Kiai Google” semata.


💡
Baca juga artikel lain di rubrik OPINI atau tulisan menarik Ahmad Muhakam Zein