Skip to content

Kumandang Azan 40 Syarif di Masjid Al-Azhar

Masjid Al-Azhar pernah menyaksikan masa-masa sulit sebab wabah yang melanda negeri. Salah satunya kisah azan 40 orang yang bernasab kepada Nabi.

FOTO Menara Masjid Al-Azhar di Kairo, Mesir (Seif Amr/Unsplash)
FOTO Menara Masjid Al-Azhar di Kairo, Mesir (Seif Amr/Unsplash)

Sejak berdiri pada tahun 361 H (972 M), Masjid Al-Azhar telah menjadi pusat keagamaan di Mesir. Bukan saja aktivitas peribadatan dan keilmuan, masjid ini memiliki peranan dalam beragam aspek kehidupan dari zaman ke zaman. Para ulama dan penguasa di setiap zamannya pun menaruh perhatian lebih untuk masjid yang bernama awal Jami' Al-Qahirah ini.

Guru besar sejarah Islam di Universitas Al-Azhar, Prof. Dr. Aiman Fuad Sayyid dalam suatu kelas pernah memaparkan bahwa kalaulah Al-Azhar bukan universitas pertama yang maujud di dunia, maka ia adalah universitas pertama yang mendapatkan perhatian dari pemerintah. Nyatanya, tersebutlah seorang wazir Era Fathimiyyah bernama Ya'qub bin Killis yang mempunyai inisiatif mengatur majelis keilmuan, membangun rumah untuk para pelajar, dan mengalokasikan beasiswa khusus untuk mereka. Dengan restu raja saat itu Al-'Aziz billah, tahun 378 H (988 M) adalah tahun bersejarah, sebab untuk pertama kalinya masjid yang kelak bernama Al-Azhar ini mempunyai 37 ahli fikih yang mengadakan majelis ilmiah dan dibiayai negara.

Kontekstualisasi Fikih di Era Kiwari
Selain ubudiah, fikih belum bisa membumi secara aplikatif & efektif dalam masyarakat. Padahal mayoritas masyarakat Indonesia memeluk agama Islam.

Di masa setelahnya, Era Ayyubiyyah, meski Al-Azhar kerap dianggap sebagai "masjid yang ditutup" dan ditambah lagi dengan keterangan waktu yang fantastis yakni "hampir satu abad", sebenarnya masjid ini masih menjadi tempat favorit bagi beberapa ulama kenamaan Islam.

Di saat kekuasaan Mamalik beralih ke 'Utsmaniyyah, Sultan Salim I berkunjung dan salat Jumat pertama kalinya di masjid nan berkah ini. Hal itu, seperti disebut oleh Prof. Dr. Abdulaziz Muhammad Asy-Syinnawi dalam buku Al-Azhar Jam'ian wa Jami'atan, demi meraih simpati dan mendapat tempat di hati masyarakat Mesir sebagai penguasa baru. Di masa 'Utsmaniyyah pula tercatat bahwa azan seantero Kairo tidak akan berkumandang kecuali muazin di menara Masjid Al-Azhar telah lebih dahulu melantunkan azan. Sebagaimana dikisahkan pula oleh Prof. Asy-Syinnawi, kumandang tim muazin Masjid Al-Azhar yang dilengkapi para ulama pakar miqat (penentuan waktu) menjadi standar penanda waktu salat bagi masjid seantero Kairo.

Sulit rasanya menceritakan secara utuh dan urut tentang masjid yang berumur panjang ini. Namun, dalam tulisan ini ada satu kisah menarik dengan kata kunci azan, pandemi, dan Masjid Al-Azhar. Penulis bukan sedang membawa arah pembicaraan ke polemik aturan azan yang belakangan ramai di tengah masyarakat Indonesia, melainkan sekadar berbagi serpihan kisah bagaimana tradisi azan dahulu kala di Masjid Al-Azhar, khususnya dengan kisah yang langka bin unik. Azan bukan saja menjadi media untuk mengabarkan bahwa waktu salat telah tiba. Azan pernah menjadi wasilah dan pelengkap dalam berdoa kepada Allah Yang Maha Kuasa.

Al-Azhar

Sepilihan tulisan yang mengisahkan sejarah Al-Azhar dapat teman-teman temukan

di sini

Alkisah, wabah melanda seantero negeri pada tahun 833 H (1429-1430 M). Tha’un atau Wabah Hitam sudah seperti badai besar yang menyerang segala penjuru negeri Mesir. Situasi negeri kacau. Harga kain kafan yang digunakan untuk para mayit melambung naik saking banyaknya angka kematian.

Dalam sehari, di Kairo saja, jumlah korban yang disalatkan menyentuh angka 1263 jenazah. Permintaan kain kafan dan keranda naik drastis. Banyak jenazah akhirnya dibawa dengan papan seadanya, bekas keranjang (al-aqfash), atau bahkan dengan tangan kosong saja.

Sebagaimana dikisahkan oleh alim sejarah Al-Maqrizi dalam kitab As-Suluk li Ma'rifah Duwal Al-Muluk, khalayak Mesir saat itu kewalahan untuk menguburkan para korban wabah itu. Orang-orang menginap di area pekuburan sambil menanti para tukang kubur menyelesaikan galian bagi korban jiwa yang lebih dulu wafat.Saking menumpuknya korban jiwa, di tengah orang-orang yang kewalahan, banyak anjing memakan bagian-bagian tubuh mayit. Situasi benar-benar kacau.

Atas kekacauan yang ada sementara usaha lahir tak kunjung menemui hasil, sultan di Era Mamalik yang berkuasa pada tahun 825-841 H (1422-1437 M) Al-Asyraf Saifuddin Barsbay mengeluarkan sebuah perintah kepada orang kepercayaannya, Syihabuddin Ahmad bin 'Adnan, seorang Katib As-Sirr Asy-Syarif (semacam kepala protokol istana). Orang kepercayaan sultan itu membawa misi mencari 40 syarif, yakni orang yang mempunyai garis keturunan yang bersambung ke Baginda Nabi Muhammad SAW.

Bukan hanya syarif biasa, sang sultan yang merupakan murid Syekh Badruddin Al-'Aini, ulama kenamaan pensyarah kitab Shahih Al-Bukhari dengan judul 'Umdah Al-Qari Syarh Shahih Al-Bukhari mensyaratkan bahwa 40 syarif tersebut harus bernama awal Muhammad. Ia juga menyiapkan 5000 Dirham dari kantong sendiri untuk hadiah mereka.

Di hari Jumat, para syarif ini lantas dikumpulkan di Masjid Al-Azhar. Usai salat Jumat, mereka diminta membaca sejumlah ayat Al-Qur’an. Lalu, mereka semua berdiri di tengah para jamaah yang duduk. Mereka semua memanjatkan doa kepada Yang Maha Kuasa agar pandemi segera diangkat. Mereka berdoa di masjid yang berkah itu hingga menjelang masuk waktu Asar.

Sejumlah 40 syarif itu lalu diminta menyebar, naik ke sejumlah titik di atap Masjid Al-Azhar untuk mengumandangkan azan secara bersamaan. Setelah usai, mereka lalu turun menunaikan salat Asar berjamaah dan kemudian membubarkan diri.

Memaknai Kembali Takdir dan Kematian
Pembahasan seputar takdir seringkali dibatasi pada garis kesuksesan dan kegagalan, surga dan neraka. Sementara Nabi menekankan agar kita beramal.

Sejak keesokan harinya, tepatnya di hari Sabtu, masyarakat Mesir mulai melihat angka kematian sebab wabah mulai berangsur turun setiap harinya hingga wabah benar-benar enyah.

Masjid Al-Azhar menyaksikan banyak sekali ragam cara berdoa. Terlebih di masa-masa sulit di saat usaha ragawi saja tak cukup, bersimpuh kepada Allah Yang Maha Kuasa menjadi suatu keharusan di tengah usaha melawan wabah. Kisah 40 syarif ini hanya satu dari beberapa kisah lain yang menggambarkan bagaimana masyarakat muslim saat itu memanjatkan harapan dan doa sepenuh keyakinan di hati, selain juga memaksimalkan usaha ragawi.

💡
Baca juga artikel lain di rubrik BUDAYA atau tulisan menarik Mu'hid Rahman

Latest