Makna Kebebasan Menurut Islam

Lembaga Riset Islam Al-Azhar (Majma' Al-Buhuts Al-Islamiyyah) setiap tahunnya tidak pernah luput untuk menerbitkan magnum opus cendekiawan muslim, khususnya dari kalangan Al-Azhari, mulai dari yang ringkas dan sederhana hingga yang besar. Karya-karya ini, menurut Prof. Dr. Muhyiddin Afifi, Sekjen Lembaga Riset Islam Al-Azhar periode 2014-2019, bertujuan untuk menyiarkan hakikat Islam yang rahmatan lil alamin, menghormati keberagaman, dan memerangi ekstremisme dan terorisme. Termasuk salah satu di antara sekian banyaknya tulisan yang diterbitkan oleh Lembaga Riset Islam Al-Azhar adalah risalah kecil yang berjudul Al-Hurriyyah fi Al-Islam (Kebebasan di dalam Islam).

Risalah ini ditulis oleh Syekhul-Azhar Muhammad Al-Khadhir Husain. Melihat latar belakang di mana beliau dilahirkan dan hidup di akhir abad 19 hingga awal abad 20, wajar apabila banyak karya pemikirannya yang beraliran revolusioner, termasuk risalah ini. Beliau dilahirkan di sebuah desa di wilayah Tunisia bernama Nafta. Tunisia memiliki Universitas Zaitunah, yang menurut penuturan Syekh Muhammad Rajab Al-Bayyumi sebagai miniatur dari Al-Azhar di dalam tradisi keilmuan Islam, walaupun fakta yang masyhur adalah Zaitunah merupakan universitas pemberi gelar tertua di dunia. Di Zaitunah-lah Syekh Muhammad Al-Khadhir menimba ilmu dan talaqqi kepada para ulamanya hingga beliau masyhur akan kealiman, kefakihan, dan keluasan ilmunya.

Memaknai Ulang Barakah dalam Pesantren
Makna barakah belakangan diiringi dengan ketiadaan usaha lahiriah. Esai ini mengajak khalayak muslim untuk memaknai ulang barakah dalam kehidupan.

Syekh Muhammad Al-Khadhir Husain dikenal sebagai sosok ulama yang lantang menentang penjajahan dan penindasan. Sikapnya ini tak ayal membuat beliau berkali-kali masuk bui dan menjadi ‘orang buangan’. Sifat lantangnya menyuarakan kebenaran ini pula yang membuat beliau sangat dicintai ulama dan masyarakat kala itu, termasuk ulama-ulama di Mesir. Hingga pasca jatuhnya Kekhalifahan Utsmaniyyah, tepatnya pada tahun 1921 M beliau memutuskan bahwa perhentian akhir dari perjalanannya adalah di Mesir. Di tahun berikutnya, teman diskusi Syekh Muhammad Ath-Thahir bin ‘Asyur ini mendaftar untuk mengikuti ujian untuk memperoleh gelar dari Al-Azhar, Syahadah Al-‘Alamiyyah, sehingga diakuilah beliau sebagai salah satu dari alim Al-Azhar dan mengajar di Fakultas Ushuluddin, Universitas Al-Azhar. Puncak dari karirnya di Al-Azhar adalah diangkatnya beliau menjadi Syekhul-Azhar pada tahun 1952 M.

Pada preambul risalah Al-Hurriyyah fi Al-Islam ini, Syekhul-Azhar Muhammad Al-Khadhir Husain menyampaikan keprihatinannya terhadap umat yang dengan mudah disusupi dan takjub dengan pengaruh asing. Salah satu yang beliau kritisi adalah diskursus kebebasan yang digemborkan oleh pemikir Eropa yang mereka sebarkan ke tanah Islam kala itu. Padahal, jika melihat kepada latar belakang munculnya propaganda dari diskursus tersebut di Benua Biru hingga mahiyah (hakikat) dari mafhum (pemahaman) yang ingin mereka sampaikan, dibandingkan dengan yang dibawa si asing, mafhum Islam jelas lebih unggul. Oleh sebab itu, untuk menyifati bagaimana sih makna dan mafhum kebebasan di dalam Islam itu, beliau menulis sebuah esai yang terdiri dari enam pembahasan yang saling berkaitan satu sama lain ini.

Benarkah Asy’ariah Terbelakang dan Membingungkan?
Sekilas mengenal Asy’ariyah yang sempat disebut terbelakang dan membingungkan oleh seorang dosen. Mazhab yang diugemi Al-Azhar Asy-Syarif, Kairo.

Pembahasan pertama di risalah ini beliau fokuskan pada makna kebebasan di dalam Islam secara umum. Di bawah pembahasan ini beliau menganalisa makna kebebasan, musyawarah, dan ekualitas. Di pembahasan berikutnya, beliau membahas kebebasan di dalam Islam yang lebih terfokus lagi dalam hal harta benda, kehormatan, keselamatan nyawa, keberagamaan, dan peraturan pemerintah. Tak luput pula, di pembahasan terakhir tentang kebebasan dalam peraturan pemerintah, beliau menyelipkan pembahasan terkait akibat dari kesewenang-wenangan.

Syekh Muhammad Al-Khadhir Husain menggambarkan kebebasan di dalam Islam tidak jauh dari makna kemerdekaan berkehendak. Maksudnya adalah di mana umat dapat hidup di dalam koridor –‘isyatan radhiyah- atau kehidupan yang memuaskan, di bawah naungan dari pemerintahan yang berpegang teguh pada perundangan yang kokoh sehingga membawa ketenteraman, dan lazimnya dari hal tersebut adalah setiap individu memiliki kesadaraan akan batasan yang tidak seharusnya ia lewati. Dalam pembacaan saya, maksud dari Syekh Muhammad Al-Khadhir Husain tentang teori kebebasannya di dalam Islam itu adalah suatu kebebasan yang terbatas. Jadi kebebasan di dalam Islam bukanlah kebebasan mutlak, melainkan ada batasan yang harus dijaga sebagai bentuk penghormatan terhadap kebebasan itu sendiri.

Al-Azhar

Sepilihan tulisan yang mengisahkan sejarah Al-Azhar dapat teman-teman temukan

di sini

Selanjutnya, untuk dikatakan seorang individu telah mencapai derajat manusia yang bebas, Syekhul-Azhar kelahiran Tunis itu memberikan 4 prasyarat. Empat tersebut yaitu: makrifat manusia akan hak dan kewajibannya; kemuliaan dan kesucian jiwa serta kebersihan niat untuk menjauhi segala hal yang dapat menghantarkannya pada mengambil yang bukan haknya; ketundukan terhadap hukum yang berlaku; dan kemurahan hati untuk membantu meringankan beban orang lain yang kesulitan. Hal ini menurut beliau hanya dapat dicapai melalui metode tarbiyah dan taklim, untuk menciptakan pemahaman yang sahih. Selain itu, beliau memberikan konsep untuk menuju kebebasan di dalam Islam, yakni dengan musyawarah atau dialog dan ekualitas (persamaan). Mengutip ungkapan Syekh Muhammad Al-Khadhir Husain:

“fa bi al-musyawarah tatamayyazu al-huquq, wa bi al-musaawah yantazhimu ijrouha..”

Artinya: dengan bermusyawarah terbentuklah perundangan, dan dengan persamaan terorganisirlah pelaksanaannya (perundangan)..

Pesan Sosial Surah At-Takatsur
Tafsir dengan pendekatan sosial dirasa menarik untuk dibaca hari ini. Antara lain Tafsir Al-Maraghi terhadap Surah At-Takatsur berikut ini.

Lebih mendalam, beliau menjelaskan alasan musyawarah dan asas persamaan sebagai kaidah utama dalam mencapai kebebasan. Tak lain karena kedua hal ini merupakan ajaran fundamental yang diajarkan di dalam Islam dan diwariskan dari Nabi kepada para sahabatnya. Selain itu, dengan bermusyawarah pula setiap orang dapat mengetahui pikiran dan pandangan orang lain serta kebutuhannya, sehingga musyawarah dapat menghasilkan suatu konsensus bersama yang dapat menghilangkan belenggu kesulitan setiap orang. Sedangkan pentingnya asas persamaan (musawah) adalah bahkan dengan musyawarah pun, apabila belum ada rasa musawah, maka tentu kesepakatan yang notabenenya untuk kebebasan pun tidak akan tercapai. Perasaan superior yang dimiliki seseorang tentu akan menghalangi kebebasan dan hak orang lainnya.

Sampai di sini saja sudah ketara perbedaan gagasan kebebasan menurut Barat yang masyhur dengan kebebasan mutlak dengan kebebasan dari sudut pandang Islam, khususnya seperti yang digambarkan Syekh Muhammad Al-Khadhir Husain. Sebagai agama bagi sekalian alam, risalah Islam tidak berporos pada satu individu atau kebudayaan saja, risalah Islam adalah risalah yang bersifat universal. Jadi, di saat memaknai kebebasan, ulama Islam telah meramu dari pemahaman mereka akan nas wahyu hingga atsar dari Nabi dan sahabat agar menjadi seapik mungkin, sehingga kebebasan ini dapat dinikmati oleh setiap golongan. Wallahua’lam.


💡
Baca juga ulasan buku lain di rubrik RESENSI atau tulisan menarik Muhammad 'Auf Al Hariri