Skip to content

Mari Merayakan Ultah Nabi!

Perayaan maulid nabi menjadi momen bahagia umat Islam sedunia. Tapi, kenapa hari lahir Sang Nabi yang diperingati, alih-alih hari wafatnya?

FOTO Masjid Nabawi, Al-Madinah Al-Munawwarah. (Mishaal Zahed/Unsplash)
FOTO Masjid Nabawi, Al-Madinah Al-Munawwarah. (Mishaal Zahed/Unsplash)

Merayakan maulid bisa diartikan merayakan hari kelahiran atau ulang tahun (ultah) seseorang. Perayaan maulid Nabi Muhammad berarti merayakan hari ultah Nabi Muhammad SAW. Meski terdengar kurang sopan, tapi secara pemahaman awam dan secara bahasa memang interpretasinya begitu. Jika istilahnya mauludan, berarti kita merayakan kemuliaan dan keutamaan bayi (Muhammad) yang telah dilahirkan. Dalam perkembangannya, istilah maulid atau mauludan sendiri telah lekat dan identik dengan perayaan lahirnya sosok mulia bernama Muhammad SAW.

Di Indonesia, Rabiul Awal sebagai bulan kelahiran Nabi Muhammad SAW dirayakan secara gegap gempita di seantero negeri. Perayaan maulid Nabi Muhammad SAW tidak hanya dilakukan di surau-surau, masjid, majelis taklim, pesantren, tetapi juga dilaksanakan di sekolahan, instansi pemerintahan, bahkan hingga sampai istana negara.

Di Balik Nama Qashidah Burdah dan Bur’ah
Terdapat satu jenis gubahan syair Arab yang kerap disebut Qashidah. Yang terbilang masyhur dan punya asal-usul menarik adalah Burdah dan Bur’ah.

Bentuk perayaannya mulai dari melantunkan syair-syair pujian, shalawatan, membaca ayat-ayat suci Al-Quran, membaca madah-madah pilihan, santunan, hingga mendengarkan ceramah-ceramah agama yang menceritakan seputar kepribadian, kehidupan dan keteladanan Rasulullah SAW.

Syahdan, perayaan maulid tidak hanya gegap gempita di Indonesia saja, tapi juga hampir merata di negara-negara muslim di berbagai belahan dunia manapun. Bahkan di Al-Azhar Kairo Mesir pun setiap tahunnya pasti mengadakan perayaan maulid nabi. Untuk tahun ini, perayaan perayaannya bertempat di Masjid Al-Azhar Kairo dengan menghadirkan para ulama senior Al-Azhar sembari mengkhatamkan kitab Ad-Durrah As-Saniyyah fi Maulid Khair Al-Bariyyah karya Imam Shalahuddin Abu Sa’id Khalil Al-‘Alai Al-Maqdisi dan kitab Al-Arba’in.

Masjid Al-Azhar Rayakan Maulid dengan Ijazahan Kitab Hadits
Masjid Al-Azhar mengadakan pembacaan dua kitab hadits. Pada momen perayaan Maulid Nabi ini, guru besar ilmu hadits Al-Azhar membagikan ijazah.

Dari gempita perayaan maulid Nabi Muhammad tersebut, terkadang timbul pertanyaan kritis, “Kenapa terkait Nabi Muhammad, kita merayakan hari kelahiran atau hari ulang tahunnya? Kenapa tidak hari wafatnya nabi saja yang kita rayakan, sebagaimana biasanya kita memperingati haul para ulama?”

Jawaban pertama, tersebab kelahiran Nabi Muhammad SAW merupakan puncak keagungan segala nikmat dan rahmat dari Allah SWT, sementara meninggalnya Nabi Muhammad merupakan paling agungnya selaksa musibah. Agama Islam memang selalu mendorong kita untuk menampakkan syukur atas nikmat-nikmat yang kita terima, terlebih atas sebuah puncak nikmat yang telah kita terima. Ini sebagaimana firman Allah SWT dalam Al-Quran Surah Yunus ayat 58, “Qul bifadlillah wa birahmatihi, fa bidzalika falyafrahuu; Katakanlah, dengan anugerah Allah dan rahmat-Nya (lahirnya Muhammad), hendaklah mereka menyambut dengan senang gembira.”

Rasulullah

Kumpulan tulisan dengan spirit kecintaan kepada Rasulullah SAW dapat teman-teman temukan

di sini

Oleh karenanya, sebagaimana ketentuan syariat di atas, bahwasanya sangat bagus jika dalam bulan Rabiul Awal ini kita lebih menampakkan kebahagiaan kita tersebab telah lahirnya Nabi Muhammad SAW pada ribuan tahun yang silam. Bahkan sebagai bentuk rasa bahagia dan syukur atas hari lahirnya, Rasulullah merayakannya dengan berpuasa. Hal ini sebagaimana termaktub dalam Hadits dalam kitab Shahih Muslim. “An Abi Qatadah Al-Anshari, anna Rasulallah SAW suila ‘an shaumil itsnain? Faqala: Fihi wulidtu wa fihi unzila ‘alayya; Diriwayatkan dari Abi Qatadah Al-Anshari, sesungguhnya Rasulullah pernah ditanya tentang puasa hari Senin, beliau menjawab: Pada hari itu aku dilahirkan dan pada hari itu diturunkan Al-Quran kepadaku.” (Hadits riwayat Imam Muslim)

Kedua, karena Nabi Muhammad SAW berbeda dengan para ulama, terlebih dengan orang biasa. Tidaklah mungkin kita membandingkan Rasulullah SAW dengan orang biasa, bahkan dengan para ulama sekalipun.

Rasulullah SAW berbeda dengan para ulama, meski para ulama adalah para penerus (pewaris) anbiya. Oleh karena itulah kita justru dianjurkan menampakkan kebahagiaan atas kelahiran Nabi Muhammad, bukan menampakkan duka sebab meninggalnya beliau. Bahkan orang-orang yang menampakkan kesedihan berlebihan atas tragedi yang menimpa cucu Rasulullah SAW sekalipun, yakni Sayidina Husain pun akan dianggap menyalahi syariat Islam. Ini sebagaimana penyataan Syekh Ibnu Rajab dalam kitab Al-Lathaif yang mencela Kaum Rafidhah usai menjadikan Hari Asyura sebagai hari bela sungkawa atas kematian Sayidina Husain.

Dalam menghadapi musibah atau kesedihan, agama Islam telah mengarahkan kita untuk sabar serta diam (tidak mengeluh), bahkan tatkala ketika tertimpa musibah apapun. Karena itulah syariat Islam melarang seseorang menangis, meratapi, dan menampakkan rasa dukanya secara berlebihan.

Meriahnya Maulid Nabi di Masjid Sayidina Al-Husain Mesir
Sebelum masa wabah, masyarakat Mesir merayakan maulid Nabi secara meriah. Malam puncak Al-Lailah Al-Kubra digelar di Masjid Sayidina Al-Husain.

Ketiga, para ulama atau pahlawan bangsa mereka itu dikenang pada hari wafatnya jika mereka terlihat jasa dan perjuangannya semasa hidupnya. Jika tidak terlihat jasa-jasanya, maka mereka umumnya tidak terkenang dan tidak akan diperingati haulnya. Pun karena faktor, selain para nabi dan Rasul yang maksum, siapapun tetap ada potensi “berbalik arah” dan menjadi suul khatimah semasa masih hidup. Sementara Rasululullah SAW, beliau adalah pribadi luhur yang berpredikat baik dan mulia sejak lahir, kecil, dewasa, hingga masa kepulangan tiba. Bahkan Nabi Muhammad SAW sebelum kelahirannya pun, sudah membawa banyak keberkahan bagi seluruh alam.

Walhasil, sebagaimana dalil-dalil di atas, syariat Islam menunjukkan bahwasanya sangat bagus jika dalam menyambut dan mengisi bulan Rabiul Awal ini kita lebih menampakkan kebahagiaan dan syukur atas lahirnya Nabi Muhammad SAW, bukan justru menampakkan kepiluan untuk memperingati meninggalnya beliau.


💡
Baca juga artikel lain di rubrik ISLAMUNA atau tulisan menarik Ahmad Muhakam Zein

Latest