Skip to content

Memahami Kembali Fleksibilitas dan Elastisitas Produk Fikih

Fikih kerap dicap kaku dan jumud. Tulisan ini mengajak kita memahami kembali sisi fleksibel dari dunia fikih.

Foto: Ilustrasi (Tom Hermans/Unsplash)
Foto: Ilustrasi (Tom Hermans/Unsplash)

Tidak semua produk fikih bersifat kaku dan jumud. Selain yang telah disepakati sebagai konsensus, tiap-tiap produk fikih bisa berubah berdasar ruang dan waktu. Menjadi keniscayaan bahwa produk fikih terbagi menjadi yang tetap dan yang berubah juga berkembang. Produk fikih yang tetap, yakni yang tidak akan pernah berubah dan tidak boleh diubah, adalah pokok-pokok ibadah, seperti salat, puasa, zakat, haji, dan turunannya. Selain pokok-pokok ibadah dan akhlak universal maka dikategorikan menjadi yang —mungkin— berubah dan berkembang.

Banyak faktor yang melatarbelakangi elastisitas dan fleksibiliatas produk fikih. Mulai dari ‘illat hukum, objek terapan hukum hingga subjek taklīf-nya. Begitu pula perbedaan metodologi penggalian hukum seorang mujtahid dengan mujtahid yang lain bisa juga memengaruhi hasil olah penggalian hukum. Oleh karenanya, dalam fikih terbuka lebar ruang ijtihad, penggalian sebuah hukum yang bisa berkembang dari waktu ke waktu, dari suatu tempat ke tempat yang lain. Juga, memang menjadi keharusan bagi ulama untuk terus berijtihad, supaya kemaslahatan agama tetap langgeng tanpa batas ruang dan waktu.

Seiring berkembangnya zaman, kita juga tahu bahwa banyak sekali problematika-problematika baru yang belum terhukumkan oleh para ulama terdahulu. Di lain sisi, kemaslahatan dari produk fikih yang terhukumkan pada sebuah era belum tentu maslahat untuk era yang lain. Fenomena ini juga yang melatarbelakangi keharusan fikih untuk berkembang.

Diskursus Moderasi versus Diskursus Ekstrem
Buku baru keluaran Akademi Riset Keislaman (Majma’ Al-Buhus Al-Islamiyyah) Al-Azhar yang lugas dan tegas mengusung moderasi Islam.

Sejarah mencatat banyak sekali fenomena fleksibilitas dan elastisitas produk fikih. Salah satu yang terkenal ialah tatkala khalifah kedua Sayyiduna Umar bin al-Khatthab Ra. mengganti hukum pidana potong tangan kepada para pencuri di zaman paceklik karena syarat pemberlakuannya tidak terpenuhi. Juga, para ulama modern berijtihad bahwa ketidakbolehan wanita menduduki jabatan publik tidak relevan lagi di zaman modern sebagai contoh lainnya.

Pada dasarnya, agama —termasuk di dalamnya fikih— adalah landasan, ruh, dan spirit. Selama aspek-aspek tersebut terakomodir secara total dalam produk fikih, maka penggalian hukum-hukum baru atau bahkan mengganti sama sekali produk hukum —dalam domain hukum yang tidak tetap— tidak menjadi problem. Tentu saja dengan mempertimbangkan metodologi yang ketat, bukan sekedar serampangan dalam rangka pemenuhan hawa dan nafsu.

‘Ala kulli hāl, prinsip agama kita adalah ad-dīnu yusrun, lā ‘usrun. Agama Allah Swt. itu mudah, bukan sesuatu yang pelik. Maka, jangan pula kita persulit.


Baca juga artikel lain di rubrik ISLAMUNA atau tulisan menarik Azuma Muhammad

Latest