Memaknai Kembali Takdir dan Kematian

Problem terbesar umat manusia ialah ketika ia berhadapan dengan takdirnya sendiri, yaitu kematian. Realitas hidup yang begitu kompleks dan terus berubah memaksa manusia untuk mengundi nasib, bertaruh keberuntungan dengan dirinya. Orang kaya takut menghadapi takdir kematiannya sehingga ia mencari cara untuk terus hidup. Orang miskin yang tak mampu menghadapi takdir hidupnya mencari cara untuk bunuh diri. Kematian kemudian menjadi batas dari segala pencapaian manusia, sekaligus tempat kembali, yakni ke surga ataukah neraka.

Kematian, kehidupan, kesuksesan, kegagalan, dan berbagai realitas hidup manusia, semua itu erat kaitannya dengan takdir manusia. Takdir adalah rahasia yang tidak pernah mampu ditebak oleh siapapun. Bahkan sekelas Mark Zuckerberg, pendiri Facebook itu, tidak mampu melanggengkan bahtera rumah tangganya dan berakhir cerai. Artis Vanessa Angel dan suaminya yang viral belakangan ini, tidak akan menyangka bahwa ruas tol itu adalah akhir dari perjalanan hidupnya. Dan masih banyak kejadian-kejadian serupa yang membuat manusia kembali merenungi jalan hidupnya, takdirnya.

As-Subki, Sepanjang Hidup untuk Ilmu dan Al-Azhar
Riwayat hidup ulama bernama Abdullathif As-Subki. Sosok yang mendedikasikan seluruh hidupnya untuk ilmu dan Al-Azhar.

Oleh sebab itu, takdir adalah keniscayaan hidup, manusia akan terus merenunginya sepanjang kehidupannya. Dan selama ia belum ‘mengalaminya’, tafsir-tafsir, orientasi terhadap takdir akan terus muncul. Yang patut disayangkan, sebagian masyarakat modern telah mengerdilkan pemahaman akan takdir itu sendiri. Takdir terbatas dipahami pada surga dan neraka saja sebagai simbol dari kesuksesan dan kegagalan. Hidup dan mati adalah hanya soal surga dan neraka, maka orientasi semacam ini akan banyak membuat tindakan-tindakan meresahkan di masyarakat.

Seperti halnya kita lihat dalam pemahaman teroris. Untuk menghindari persoalan dan keruwetan hidup, mereka memilih jalur terorisme yang bagi mereka akan mengantarkan kepada surga—dengan surga yang bersifat 'materi'. Dengan 'menerakakan' orang lain, mereka berani melakukan pengeboman, penembakan, serta tindakan-tindakann teror lainnya. Bahkan terorisme dari aspek lain, sebenarnya lahir dari konsep “neraka” dan “surga” yang diterjemahkan secara sempit. Sehingga banyak orang yang mudah merasa dirinya sudah mendapatkan surga, sehingga 'menerakakan' orang lain, begitu juga sebaliknya.

Takdir itu sebenarnya tidaklah sesempit neraka dan surga. Dalam ilmu akidah, kita mengenal pembahasan Qadha’ dan Qadar. Qadha’ sebagaimana dalam kitab Fath Al-'Allam Syarh Aqidat Al-'Awam, karangan Syekh Hisyam Kamil, bermakna al-hukmu (sebuah hukum) sebagaimana dalam ayat “Waqadhâ rabbuka allâ ta’budzû Illâ Iyyâh.” Surat Al-Isra’ ayat 23. Hukum di sini bermakna kehendak Allah SWT atas segala sesuatu untuk terjadi sebagaimana mestinya. Sedangkan Qadar berarti al-haddu yang bermakna sebuah ketentuan sebagaimana mengacu pada ayat “Innâ Kulla Syai’in khalaqnâhu biqadar.” Surat Al-Qamar ayat 49. Maka, ketentuan di sini bermakna bahwa Allah SWT telah menentukan segala sesuatu yang meliputi kapan, dimana, terjadi pada siapa itu berdasarkan ketentuan Allah.

Kehendak dan ketentuan Allah ini menurut ahlusunah waljamaah dibangun berdasarkan sifat Maha Mengetahui Allah SWT, sehingga Allah menakdirkan sesuatu bermakna Allah telah mengetahuinya terlebih dahulu. Karena pengetahuan Allah meliputi segala sesuatu baik itu yang telah terjadi, sedang terjadi, dan akan terjadi, maka Allah menakdirkan segala sesuatu sebagaimana mestinya akan terjadi ('ala ma hiya 'alaihi). Oleh sebab itu, Allah sama sekali tidak sewenang-wenang terhadap hambanya dalam persoalan takdir.

Di Balik Pencapaian Greysia Polii dan Apriyani
Selain euforia yang beragam rupa, kemenangan Greysia Polii dan Apriyani menyimpan nilai-nilai untuk meraih kesuksesan.

Selanjutnya, apakah kemudian takdir hanya ditentukan oleh Allah tanpa ada peran dari tindakan manusia? Menurut ahlusunah, seorang muslim tetap wajib melakukan kasb yang berarti usaha dalam kehidupannya di samping beriman kepada takdir. Sebab takdir sama sekali tidak menafikan usaha manusia. Hal tersebut termaktub dalam sebuah kaidah yang berbunyi, “al-imânu bi qadhaillah la yunâfî al-akhdza bil asbâb”. Artinya, “beriman kepada takdir Allah itu tidak menafikan manusia untuk berusaha.”

Berkaitan dengan pemahaman ini, ada sebuah hadis yang menjadi Asbabun nuzul dari sebuah ayat di Surat Al-Lail, “fa ammâ man a’thâ wattaqâ, wa shaddaqa bil husnâ, fa sanuyassiruhu lil yusrâ.” Dalam Tafsir Ibnu Katsir disebutkan, bahwa Sayyidina Ali berkata, “Kami bersama Rasulullah SAW sedang berada di Pemakaman Umum Baqi’ ”, lalu Nabi bersabda, “Tiadalah seorangpun dari kalian, melainkan telah tertulis tempat kembalinya di surga atau di neraka.” lalu para sahabat bertanya, “Wahai rasul, jika demikian mengapa kami tidak pasrah saja (tanpa perlu beramal)”? Kemudian nabi bersabda: “beramal-lah, maka masing-masing orang itu akan dipermudah terhadap takdirnya.” Lalu, Nabi membacakan ayat dari Surat Al-Lail yang disebutkan di atas.

Hadis tersebut menjelaskan bahwa memang semua orang sudah ditakdirkan apakah ia masuk surga atau nereka. Sampai-sampai Nabi SAW menekankan kepada para sahabat bahwa persoalannya bukan pada kita berpasrah saja kepada takdir ke surga dan neraka, melainkan Nabi mewanti-wanti pada amal. Yakni pada sejauh mana usaha kita pada takdir tersebut. Selain itu, menurut saya makna yang tersirat dari hadis ini adalah bahwa takdir itu beriringan dengan usaha. Sehingga mengingat takdir adalah sekaligus motivasi untuk berusaha.

Keharusan Ijtihad di Masa Sekarang
Membincang krisis pemikiran Islam modern. Catatan pinggir atas buku Dr. Mahmud Hamdi Zaqzuq.

Usaha tersebut kemudian bukan hanya diorientasikan pada surga dan neraka secara pragmatis, akan tetapi diniatkan secara tulus kepada Allah SWT dan kepada kemanusiaan. Ikhlas beramal baik adalah sikap menjunjung tinggi nilai kebaikan itu dan imbasnya pada sesama manusia, surga hanyalah bonus. Begitu juga menghindari perbuatan kemungkaran itu karena hakikatnya itu dan imbasnya ke sesama manusia, bukan karena takut neraka. Alih-alih seseorang yang hanya memahami surga dan neraka secara ‘materi’, padahal surga dan neraka itu hakikatnya adalah sebuah wasilah bukan tujuan. Dalam tasawuf, surga dan neraka hanya simbol dari ketaatan dan kedurhakaan manusia itu sendiri. Di balik surga adalah makna dari hubungan hamba kepada Tuhannya. Maka, surga yang sesungguhnya adalah Sang Khalik itu sendiri. Begitu juga sebaliknya, neraka itu adalah kesengsaraan manusia itu sendiri karena jauh dari Sang Khalik. Maka, tak perlu jauh-jauh bertanya kelak di akhirat kita masuk surga atau tidak. Sudahkah kita menemukan surga itu terlebih dahulu dalam diri kita?


Baca juga artikel lain di rubrik ISLAMUNA atau tulisan menarik Lukman Hakim Rohim