Memaknai Ulang Barakah dalam Pesantren

KH Jamaluddin Kafie yang merupakan penulis buku berjudul Tasawuf Kontemporer pernah memberikan statement mengenai pembahasan seputar barakah, “Barakah merupakan karunia Allah, maka sudah sangat jelas bahwa sumber barakah hanya Allah, sementara seorang hamba hanya mempunyai hak untuk menerima barakah dari-Nya.” Pernyataan ini agak sedikit berbeda dengan Abuya Sayyid Al-Maliki yang mengatakan bahwa seorang makhluk juga bisa menjadi media perantara orang lain untuk mendapatkan barakah, dengan catatan bahwa Al-Mu’tsir Al-Haqiqi (Yang Maha Mempengaruhi Segala Sesuatu) tetap hanya Allah semata. Dari kedua pendapat tersebut, saya menangkap setidaknya dalam kehidupan serba materialistis sekarang, beberapa orang masih percaya pada Dzat Yang Maha Kuasa di balik setiap perilakunya, apa yang mereka lakukan tidak semata-mata hanya mengandalkan usaha. Hal yang terjadi setelahnya adalah, apakah ‘usaha’ dalam menjemput barakah tersebut yang menjadi perhatian utama atau hanya berharap adanya barakah tanpa dibarengi dengan usaha yang setimpal?

Pasalnya, term barakah yang banyak digandrungi santri—setidaknya selama dua bulan saya berada di Indonesia, berputar pada orientasi pekerjaan yang mapan atau status sosial yang tinggi ketika pulang ke kampung halaman. Perkara ini wajar didambakan semua orang, akan tetapi sayangnya pada saat yang bersamaan juga diiringi dengan penafian belajar atau hal-hal yang berkaitan dengan al-kasb (usaha) dalam mencari ilmu dengan dalih sudah ngalap berkah dengan cara membantu pekerjaan kiainya. Selain itu, tidak sedikit fenomena hormat kepada kiai atau zuriahnya dengan bersikap ndlosor atau sendheku ketika mereka lewat, atau menggunakan bahasa halus kepada mereka tapi mirisnya justru bernada tinggi kepada orang tua kandungnya.

Pesan Sosial Surah At-Takatsur
Tafsir dengan pendekatan sosial dirasa menarik untuk dibaca hari ini. Antara lain Tafsir Al-Maraghi terhadap Surah At-Takatsur berikut ini.

Kaji Ulang Barakah

Kata barakah sering kita temui dalam beberapa ritual seperti membaca tasyahud dalam salat, ucapan doa, atau salam. Dalam Al-Quran sendiri terdapat tidak kurang dari 32 kata yang merujuk istilah barakah sebagai kalimat penting dalam upaya meraih kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Secara bahasa, kalimat barakah juga memiliki arti bertumbuh dan berkembang (an-numuw wa az-ziyadah), bahkan dalam kesehariannya, beberapa ulama juga menyebutkan makna yang sama. Seperti contohnya Abu Ishaq Az-Zajjaj seorang ulama nahwu pada masa Abbasi yang memaknai lafal “Wa hadza kitabun anzalnahu mubarokun” memiliki arti kitab yang turun dengan penuh barakah sebagai arti dari kitab yang turun dengan penuh kebaikan yang sangat banyak.”

Syekh Prof. Dr. Muhammad Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbah mengatakan bahwa kata barakah adalah sesuatu yang menetap juga kebijakan yang melimpah serta beraneka ragam. Sebuah kolam disebut birka dalam bahasa Arab karena air yang ditampung dalam kolam itu menetap di dalamnya tidak tercecer kemana-mana. Keberkahan ilahi datang dari arah yang sering tidak terduga atau dirasakan secara materi dan tidak dapat dibatasi atau diukur. Segala penambahan yang tidak dapat diukur panca indra inilah yang dinamai berkah.

Al-Quran

Kumpulan tulisan dengan kata kunci Al-Quran dan cabang ilmunya bisa teman-teman temukan

di sini

Kembali pada dua statement yang saya kutip di awal tulisan ini dan elaborasi dengan dua makna terminologi menurut Az-Zajjaj dan Quraish Shihab, dapat saya simpulkan bahwa keberkahan itu hanya bersumber dari Tuhan. Adapun manusia, hanya berhak menerima atau bisa menjadi wasilah untuk keberkahan bagi orang lain. Sebagai seorang wasilah perkara mulia yang langsung bersumber dari Sang Pencipta, maka seseorang ini ialah seseorang yang dekat dengan Tuhan—di mana kiai menduduki posisi teratas sebagai pengemban barakah dalam ruang lingkup di mana saya tinggal.

Kiai sebagai sosok yang peran dan pemikirannya mempengaruhi sistem nilai sosial membawa dampak yang signifikan kepada khalayak ramai. Perkara tersebut didukung oleh santri sebagai massa yang mencermikan bagaimana isi dari sebuah pondok pesantren, keduanya menjelma menjadi entitas tidak terpisahkan. Dari kedua elemen esensial tersebut, saya rasa ada pergeseran makna barakah yang awalnya berupa limpahan kebaikan dari Tuhan, menjadi limpahan kebaikan dari kerelaan dan keikhlasan seseorang yang memiliki status sosial lebih tinggi. Sosok tersebut berubah menjadi seorang figur otoritas kharismatik, dengan wilayah pesantren sebagai pusat kekuasaan mutlak. Keadaan tersebut lantas dibungkus oleh budaya Jawa dan tasawuf yang melahirkan kepuasan spiritual berupa barakah.

Hal ini dapat dilihat dari realitas kehidupan masyarakat sekitar. Fungsi awal mondok yang berubah dari mempelajari agama Islam secara komprehensif berubah menjadi ‘ngalap (mencari) barakah’ semata. Misal lain dapat kita temui penafian usaha mendapat ilmu dengan dengan waktu yang minim, karena menurut mereka, keikhlasan dan kesenangan hati para pengasuh lebih utama.

Solusi Maraknya Kasus Pemerkosaan di Pesantren
Kasus pencabulan dan rudapaksa banyak terjadi belakangan. Mirisnya aksi itu dilakukan oknum pengajar agama. Kontrol sosial ialah jalan keluarnya.

Saya mengamini bahwa sosok figur kharismatik tidaklah buruk secara inheren, karena bagaimana pun hal tersebut diperlukan dan merupakan ciri yang penting dan utama bagi setiap tradisi agama khususnya. Akan tetapi, perkara yang perlu digaris-bawahi adalah bahaya yang diasosiasikan dengan tiadanya telaah intelektual. Terlebih, hal ini akan berdampak pada gagasan atau doktrin yang berpengaruh, lebih buruk lagi jika hal tersebut menjadi taklid (kepatuhan) buta terhadap suatu otoritas. Contohnya dalam kehidupan sehari-hari telah kita temui banyaknya kekerasan seksual di beberapa pondok pesantren, hingga amukan warga yang menolak sosok panutan beragamanya diseret ke jeruji besi.

Walakhir, bingkai kata barakah yang mengajarkan untuk mempercayai adanya campur tangan Tuhan dalam setiap laku kita layak untuk dipertahankan, dengan catatan tanpa menafikan atau menganak-tirikan mutu dan proses pendidikan. Pemaknaan barakah sebagai ‘kebaikan yang tak terduga’ bukan berpusat pada keridaan dan kesenangan seseorang, akan tetapi juga terletak pada proses, usaha, dan ketekunan. Selain itu, hubungan kiai dan santri hendaklah sedekat orang tua dan anak, bagaimana orang tua berbicara dan memberikan nasihat kepada anak dengan bertutur kata yang baik, didudukkan di tempat yang nyaman, bukan seperti ibarat kawula dan gusti.

💡
Baca juga artikel lain di rubrik OPINI atau tulisan menarik Makkis Fuadatal Qodisiyiah