Membaca Secara Mendalam dengan Adab Al-Muthala'ah

Tradisi keilmuan sebuah peradaban tidak akan berkembang tanpa adanya budaya baca-tulis, bahkan dewasa ini semakin canggih lagi, tingkat penguasaan pengetahuan oleh suatu masyarakat bisa diukur dengan kemampuan literasinya. Berdasarkan survei yang dirilis Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) pada tahun 2019 menunjukkan bahwa tingkat literasi Indonesia berada di urutan ke-62 dari 70 negara. Sungguh menjadi suatu ironi bagi bangsa mayoritas muslim, bukankah wahyu pertama adalah tentang membaca: Iqra’?

Membaca yang dimaksud tentunya tidak sekedar aktivitas membunyikan huruf-huruf yang tertulis. Untuk mencapai penguasaan penuh atas sebuah ilmu diperlukan kemampuan membaca khusus, membaca analitis atau bahkan kritis. Dunia Barat boleh berbangga dalam hal ini, sebab Mortimer J. Adler pada tahun 1940 melahirkan sebuah magnum opus, kitab babon dalam seni membaca berjudul How to Read a Book. Adler secara terperinci menjelaskan kategori buku atau objek bacaan lain, tingkatan dalam membaca, dan teknis menangani masing-masing jenis bacaan. Namun, siapa sangka ternyata apa yang ditulis Adler sudah disampaikan oleh Hamid Al-Ghifari sejak abad ke-15 Masehi.

Jejaring Keilmuan Ash-Shabban dan Ulama Nusantara di Al-Azhar
Para santri Indonesia tak asing dengan kitab karangan Syekh Ash-Shabban. Tulisan ini mencoba menyelisik jejaring alim ulama Al-Azhar & Nusantara.

Sebagai sebuah disiplin ilmu tersendiri, seni membaca atau adab al-muthala’ah tidak seheboh ilmu-ilmu ghayat seperti fikih, akidah, dan tasawuf, pun semasyhur ilmu-ilmu alat lain seperti nahwu, sharaf, balaghah, dll. Padahal sebenarnya mustahil seorang penuntut ilmu agama tidak bersinggungan dengan buku atau teks, sebab agama Islam termasuk agama skriptural yang tidak bisa lepas daripada teks.

Pada tahun 2016, Ahmad Husain Al-Azhari melakukan usaha untuk membawa seni membaca versi turats Islam ke permukaan dengan menghimpun enam risalah dalam bukunya, Al-Mathali’ fi Adab Al-Muthali’. Memang setelah diteliti, tidak ada satupun risalah yang bisa disandingkan dengan ke-rigid-an penjelasan Adler dalam How to Read a Book, namun demikian, secara garis besar inti yang disampaikan adalah sama.

Kata adab dalam adab al-muthala’ah tidak terlalu mengarah pada etika atau panduan sikap moral ketika membaca buku, melainkan lebih tepat jika diartikan sebagai metode. Sedangkan sebagaimana disinggung sebelumnya, muthala’ah bukan sekedar membaca cepat, membaca untuk menghafal, apalagi membaca dengan suara lantang. Syekh Sajiqli Zadah menyebutkan dalam Tartib Al-'Ulum bahwa dalam muthala’ah adalah seni untuk menghidupkan teks, berdialog dengan teks, memunculkan segala kemungkinan interpretasi dari satu teks.

Tentu praktik membaca seperti ini tidak mudah. Oleh sebab itu, syarat utama sebelum mulai masuk pada seni ber-muthala’ah adalah mempelajari ilmu logika atau manthiq. Tanpa mempelajari manthiq agaknya akan sukar sekali bagi pembaca untuk mampu membaca secara mendalam (muthala’ah). Itulah mengapa seni membaca ini tidak diperuntukkan bagi pelajar tingkat awal, atau jika kita menggunakan klasifikasi pelajar ilmu agama menjadi 3: mubtadi’, mutawasith, dan muntahi, maka seni ini diperuntukkan bagi mereka yang hendak beralih dari tingkat mutawasith ke muntahi. Tidak disarankan pelajar pemula menelaah literatur secara mandiri tanpa arahan guru, ibarat balita yang tidak boleh mengonsumsi makanan orang dewasa.

Pemikiran

Kumpulan tulisan bertopik pemikiran dan keislaman bisa teman-teman temukan

di sini

Menurut Ahmad Husain Al-Azhari yang menyunting dan menulis kritik teks atas enam risalah turats yang terhimpun dalam kitab Al-Mathali’ itu, tulisan Al-Ghifari relatif mudah dipahami dan komprehensif jika dibanding lainnya. Al-Ghifari menjelaskan bahwa setiap teks, dalam disiplin ilmu apapun, berada di antara dua kemungkinan: apakah membahas tentang hal-hal definitif (tashawwuri) atau argumentatif (tashdiqi). Jelas sekali bahwa dua istilah ini adalah istilah khusus dalam ilmu manthiq, untuk itu mari sekilas kita pahami secara perlahan.

Pembahasan tashawwuri berkutat pada keterangan awal tentang sebuah objek, atau biasa kita sebut juga dengan definisi. Jika sebuah definisi sudah disepakati, maka berikutnya adalah penentuan hukum atas objek tersebut. Secara sangat sederhana inilah yang disebut dengan tashdiq. Misal dalam perdebatan tentang hukum nikah beda agama, pertama perlu diperjelas aspek tashawwuri-nya. Apa yang dimaksud dengan nikah, apakah nikah sama dengan menggauli? Kemudian apa yang dimaksud dengan agama, apakah ada beda antara agama samawi dan watsani? Selanjutnya barulah kita bisa membahas hal-hal tashdiqi-nya, apa hukumnya haram atau halal, apa argumen atau dalil yang menjadi sandaran. Bahasa manthiq-nya: apa premis yang digunakan?

Dengan memilah antara menggunakan klasifikasi tersebut, kita akan mengetahui kemungkinan irad yang bisa diajukan pembaca. Maksud irad di sini adalah pembacaan kritis atas teks. Proses ini disebut dengan istibshar dan dari sinilah pembacaan yang mendalam benar-benar dimulai. Untuk mencapai tahap ini pembaca harus melakukan skimming sebagai langkah awal pemetaan konsep, mulahazhah yang megarah pada pemahaman, dan diqqatun nazhar yang mengarah pada ketelitian.

Fase istibshar adalah fase penting dalam muthala’ah teks, pada tahap ini pembaca dihadapkan dengan tiga kemungkinan, menemukan irad, menemukan irad lemah yang bisa dijawab dengan mudah, dan tidak menemukannya sama sekali. Jika irad yang diarahkan pada teks tidak mampu ia jawab, maka langkah berikutnya adalah menoba mencari jawaban melalui diskusi dengan teman sejawat. Jika tidak juga menemukan titik terang, barulah permasalahan tersebut boleh diajukan pada guru. Seakan Al-Ghifari mengkritisi para pelajar yang manja, tidak berusaha mencari, dan hanya mengandalkan jawaban dari sang guru.

Irad dalam prosesnya mungkin lebih dari satu lapis, artinya terkadang kita mengajukan satu sanggahan atau mempertanyakan maksud dari penulis teks. Kemudian setelah berdiskusi, kita menemukan jawaban dari pertanyaan tersebut. Namun, setelah pengetahuan kita bertambah, kita bisa menyanggah jawaban tersebut, sehingga menjadi satu pertanyaan lain dan begitu seterusnya. Metode inilah yang kemudian menjadi titik mula perkembangan tradisi keilmuan Islam. Bermula dari teks sederhana seperti matn kemudian berkembang menjadi syarh dan hasyiyah.

Dai Intoleran dan Krisis Dakwah Bil Akhlaq
Bukan sekali ini khalayak dibuat ramai oleh ucapan pendakwah. Fenomena ini menegaskan bahwa muslim Indonesia dilanda krisis dakwah bil akhlaq.

Bagaimana jika pembaca tidak mampu menemukan irad? Apakah itu berarti mualif telah menciptakan sebuah teks sempurna yang suci dari celah? Al-Ghifari menghindari pandangan ini, ia lebih mengarahkan hal tersebut terjadi karena kurangnya kecakapan pembaca, sehingga yang perlu ia lakukan adalah mengulang proses dari tahap awal, membaca skimming. Bisa dipastikan setelah mempraktikkan proses membaca yang demikian dalam waktu satu atau dua tahun akan mengangkat kemampuan intelektual, sebab adab al-muthala’ah bukanlah disiplin ilmu yang memberikan tumpukan informasi. Layaknya ilmu alat lain, titik tekan ilmu ini adalah untuk menanamkan malakah (kecakapan), skill (kemampuan), dan seni dalam membaca, yang bertumbuh beriringan dengan praktik.

Barangkali seni membaca ini bisa menjadi solusi membangun peradaban Islam yang madani. Peradaban yang mampu menghadirkan mualif dan tidak hanya berhenti pada lahiriah teks saja, sehingga wacana-wacana keagamaan pun akan berkembang dinamis.

💡
Baca juga artikel lain di rubrik ISLAMUNA atau tulisan menarik Moh Sayidulqisthon N