Skip to content

Membantah Klaim Islam Agama Pedang

Suara-suara sumbang tentang Islam kerap menyebutnya agama pedang. Lalu, bagaimana sebenarnya makna Futuhat?

Photo by Istiqamatunnisak / Unsplash

Sering kali kita mendengar tuduhan-tuduhan yang menyudutkan ajaran Islam. Baik klaim tersebut datang dari kalangan orientalis ataupun dari sebagian cendekiawan yang tidak bertanggung jawab. Di antaranya sebagian dari mereka membuat analisa kesimpulan bahwa penyebaran Islam ke penjuru dunia ini melalui perantara peperangan. Islam diklaim sebagai agama pedang atau dengan kata lain ajaran Islam sarat akan unsur-unsur kekerasan. Pernyataan seperti ini akan banyak kita temukan dari sebagian oknum peneliti ataupun anasir terpelajar yang tidak mampu membaca warisan intelektual Islam secara komprehensif. Sejatinya mereka harus bersikap adil dan jujur di dalam meneliti objek khazanah keislaman.

Tentunya penulis berkeyakinan penuh bahwa Islam adalah agama terbaik di muka bumi ini. Namun, keyakinan mendasar dari penulis tidak akan memaksa hingga melegalkan bentuk-bentuk kekerasan terhadap orang lain yang berbeda keyakinan. Demikian yang terjadi dalam rentetan fakta-fakta sejarah penyebaran ajaran Islam berikut praktik yang diteladankan oleh para ulama terdahulu. Agama ini secara gamblang mengajarkan tentang hakikat perdamaian. Agama Islam pun sebenarnya bisa dengan mudah diterima dan dicerna oleh akal serta hati nurani manusia. Alquran sebagai kitab suci dan pedoman utama kaum muslim melarang secara jelas untuk memaksa kehendak orang lain agar memeluk agama Islam. Allah Swt. memberikan kebebasan bagi umat manusia apakah mereka akan memilih untuk beriman ataupun tidak.

Alasannya, lantaran tabiat keimanan tidak bisa dipaksakan begitu saja. Andai kata seseorang masuk agama Islam dengan cara dipaksa dan seketika itu hatinya merasa berat untuk beriman, maka yang akan timbul dalam diri justru kemunafikan. Bukan lagi menjadi muslim yang baik dan mukmin sesungguhnya. Alquran secara terang menegaskan, “Lâ ikrâha fiddîn, [Tidak ada paksaan dalam agama],” (QS. Al-Baqarah: 256). Maka, tuduhan bahwa Islam sebagai agama pedang (simbol kekerasan) adalah kekeliruan yang nyata dan sebagai bentuk kebohongan serta kekeliruan atas pembacaan sejarah.

Memorabilia Para Santri di Masjid Al-Azhar
Mengenang hari-hari para talib yang dahulu hidup di sekitaran (mujawir) masjid Al-Azhar.

Syekhul-Azhar Prof. Dr. Ahmad Ath-Thayyib saat ditanya kebenaran Islam sebagai agama pedang, ia menanggapinya dengan argumentasi yang sangat logis. Menurutnya kata saif saja yang bermakna pedang itu sendiri tidak ditemukan dalam redaksi ayat Alquran. Bahkan, Ibnu Mandzur seorang penyusun kamus bahasa Arab dalam Taj AlArus-nya mengatakan ada seribu lebih bentuk kata di dalam bahasa Arab yang mempunyai makna saif. Akan tetapi, nyatanya tidak ditemukan satu kata pun baik bentuk asal katanya, bentuk tunggal (mufrad), ganda (tasniah) atau jamak (plural) dari kata saif di dalam Alquran.

Lalu bagaimana mereka menyimpulkan sekaligus mengklaim bahwa Islam adalah agama pedang? Sedangkan dalam Alquran—kalam Allah dan petunjuk umat Islam—tidak ditemukan satu pun kata saif itu sendiri?

Apakah Futuhat Sama Halnya dengan Praktik Penjajahan Kolonial?

Dr. Mustafa Asy-Syak’ah penulis buku AlFiraq wa AlJama’at Al-Islamiyyah, Islam bila Madzahib mengatakan bahwa futuhat (perluasan wilayah ke negara-negara selain jazirah Arab) bukan bertujuan untuk menyebarkan Islam dengan kekuatan pedang. Melainkan untuk menundukkan para pemimpin-pemimpin yang terkenal zalim. Aplikasi dan implementasi futuhat dalam ajaran Islam justru agar menyelamatkan manusia dari kekejaman yang dilakukan oleh penguasa-penguasa lalim. Dengan demikian, Islam mengenalkan nilai-nilai substansi ajarannya dengan jalan perdamaian berikut nilai-nilai keadilan universal.

Ia melanjutkan, bentuk perluasan wilayah Islam atau futuhat ke berbagai daerah dan kota bukan bertujuan untuk memindahkan agama seseorang agar memeluk Islam secara paksa. Akan tetapi bertujuan semata-mata untuk memperluas titik-titik hikmah kekuasaan Allah Swt. lewat perluasan makna beserta aspek keadilan dan ketenteraman di muka bumi.

Urgensitas Ujian Seleksi Masuk Al-Azhar
Hal ihwal seleksi nasional masuk universitas Al-Azhar yang dipersoalkan beberapa orang.

Menurut pandangan Prof. Dr. Ahmad Ath-Thayyib saat ditanya tentang pemahaman makna futuhat itu sendiri, ia menjawab, “Futuhat adalah perkara penyebaran ajaran keteladanan Nabi. Atau dengan kata lain kita sebagai muslim meyakini bahwa Islam merupakan agama yang universal, maka dari itu risalah Islam ditujukan bagi semesta alam. Di samping itu, kita meyakini kebaikan-kebaikan (universal) atas agama ini. Oleh karena itu, kita berusaha membawa ajaran universal ini kepada orang lain dengan tanpa paksaan.”

Kita katakan kepada mereka yang meyudutkan agama ini bahwa ajaran Islam sangat mengakomodir aspek-aspek kemaslahatan manusia. Salah satu buktinya adalah bahwa agama ini menyamakan posisi lelaki dan perempuan (asas egaliter). Selain itu, ajaran Islam pun tidak membeda-bedakan atau mengunggulkan suatu suku, bangsa, atau etnis tertentu. Ketika mereka menerima dan masuk Islam, kita tentu menerimanya dengan baik sekaligus mengakuinya sebagai saudara seiman (al-Ukhuwwah al-Islamiyyah) tanpa memandang jenis kelamin ataupun asal suku dan bangsanya. Sebaliknya, ketika mereka menolak ajakan untuk memeluk ajaran Islam dan tetap memilih agama sebelumnya, maka ia tetap mendapatkan perlakuan seperti sediakala, lantas ia juga berstatus sebagai saudara dalam ikatan kemanusiaan (al-Ukhuwwah al-Basyariyyah/al-Insaniyyah). Sebagai bentuk jaminan penjagaan terhadap hak-hak kewarganegaraan mereka diharuskan untuk taat kepada pemerintahan yang menguasainya dengan membayar jizyah (pajak). Demikian literatur-literatur fikih klasik menyebutkan tentang aturan-aturan muamalah umat Islam dengan non-muslim dalam naungan pemerintahan Islam.

Yang patut digarisbawahi juga bahwa Islam memperluas wilayah dengan masuk ke daerah-daerah tersebut tanpa memaksa penduduk negara itu agar memeluk agama Islam. Tawaran yang diajukan kepada penduduk wilayah tersebut berupa jaminan keselamatan apabila mereka tidak menghendaki peperangan. Pun apabila harus terjadi peperangan ada beberapa perkara yang wajib dihindari oleh pasukan muslim, misalnya, larangan membunuh anak-anak, perempuan, orang tua renta, dan sebagainya. Hal itu menunjukkan bahwa di dalam peperangan tetap ada etika berikut batasan-batasan yang harus dipenuhi oleh pasukan muslim.

Yang Luput dari Bazar Buku Kairo
Bazar buku kali ini bertema Fi al-Qiraati Hayatun (di dalam membaca ada kehidupan). Sejumlah catatan disarikan demi mewujudkan harapan-harapan.

Prof. Dr. Ahmad Ath-Thayyib lalu memperkuat argumentasinya, faktanya penyebaran Islam ke negara kawasan Afrika-Asia, termasuk Indonesia—Melayu secara umum—atau negara-negara yang penduduknya muslim yang kita ketahui sekarang ini, bukan dengan jalan peperangan seperti yang dituduhkan oleh para orientalis. Syekhul-Azhar meyakini penuh bahwa Islam masuk dan diterima oleh banyak orang dengan jalan dakwah persuasif serta penuh kedamaian sebagaimana yang diajarkan Alquran, “Ud’û ilâ sabîli Rabbika bilhikmah wal mau’idzah al-Hasanah wa jâdilhum billati hiya ahsan, [Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik], (Surat An-Nahl: 125).


Baca juga artikel menarik di rubrik ISLAMUNA atau tulisan lain Irfan Rifqi Fauzi

Latest