Membumikan Akidah Asy'arian ala Abah Cipulus

Dalam membumikan akidah Ahlussunnah wal-Jamaah yang mengikuti paham Imam Abu Al-Hasan Al-Asy'ari di Jawa Barat khususnya, dan umumnya di Indonesia, Almarhum KH. Adang Badruddin atau yang akrab disapa Abah Cipulus adalah sosok ulama yang meneruskan estafet Asy'arian (ulama-ulama pengikut mazhab Imam Abu Hasal Al-Asy'ari) abad ini. Selain intens mengajarkan akidah Asy'ari di pesantren, Abah juga mengagendakan kegiatan 'Pasaran' atau 'Kilatan' Ilmu Kalam tahunan bagi kalangan umum yang tidak bermukim di Cipulus, dengan menggunakan kitab acuan Tijan ad-Darari karya Syekh Nawawi Al-Bantani yang mensyarah kitab Matn Ar-Risalah karya Syeikhul-Azhar Imam Al-Bajuri yang dilaksanakan setiap tanggal 5 Syawal-15 Syawal atau selama 10 hari setiap tahunnya. Menurut sejumlah sumber, kegiatan pasaran Abah (Kitab Tijan dan Taqrib) ini telah dimulai semenjak tahun 1979-2019.

Saat penulis mengenyam atau melanjutkan pendidikan Al-Azhar Kairo Mesir, ada celetukan mahasiswa entah siapa yang berpandangan bahwa ajaran akidah atau teologi Asy'ari terlalu rumit. Akibatnya, banyak kalangan muslim milenial yang tidak sanggup menalar cara berpikir mereka (Teologi Asy'arian). Sehingga akidah menjadi disiplin ilmu yang tidak mudah untuk dikuasai.

Merevisi Pemahaman Ekstrem dan Takfiri
Buku Al-Fahm Al-Munir yang ditulis oleh Syekh Usamah Al-Azhari hadir menjawab kesalahan-kesalahan penafsiran ayat yang berujung fatal.

Perkataan itu ada benarnya, sebab untuk bisa memahami kitab-kitab teologi ala Asy'ari dibutuhkan kematangan dalam berbagai ilmu alat yang menunjang untuk memahaminya. Minimalnya kita perlu menguasai fan atau cabang ilmu-ilmu penunjang seperti Ilmu Maqulat Aristoteles (Ten Categories), Ilmu Mantik (Ilmu Logika), dan Ilmu Adabul Bahs wal-Munadharah. Namun Abah dengan kecerdasan dan kepiawaiannya, serta transmisi ilmu akidah yang didapat dari guru-guru yang tersambung kepada Rasulullah Saw., Abah mampu menjelaskan ajaran teologi yang sulit itu dengan bahasa sederhana dan mudah dipahami oleh berbagai kalangan, baik kiai, santri, ataupun masyarakat umum yang boleh dikatakan tidak akrab dengan istilah dalam ilmu-ilmu keislaman.

Dalam upayanya menyarikan teologi Asy'ari itu, Abah menuliskan karya berupa nadzam atau Cacarakan yang menggunakan bahasa Sunda berjudul 'Aqa'idul Iman. Selain itu, Abah juga menjelaskan banyaknya perdebatan yang serius dalam konsep-konsep tentang iman. Misalnya seorang muslim yang melakukan dosa besar, apakah ia muslim atau tidak? Menurut Khawarij, mereka menghukumi kafir kepada pelaku dosa besar dan menyatakan kekekalannya di neraka. Berbeda dengan kelompok Murji'ah yang berpaham bahwa mereka yang berdosa tetap dihukumi muslim dan bahwa amal tidaklah termasuk bagian dari keimanan. Adapun Asy'ari, menjelaskan bahwa seorang muslim tidak keluar dari Islam dengan dosanya walau ia pelaku dosa besar. Ia dianggap muslim yang fasik, sementara perihal diampuni serta mendapatkan syafaat atau siksa itu dikembalikan kepada Allah Swt.

Definisi iman dalam Cacarakan Abah adalah mengakui dan menerima dengan sepenuh hati apa-apa yang telah dibawa oleh Baginda Nabi Muhammmad Saw.

Hal ini adalah kesadaran Abah dalam memahami konteks paradigma abad ini; melihat perkembangan kecendrungan keislaman di indonesia yang semakin tertutup dan dangkal, menguatnya paham islamisme transnasional, syubhat-syubhat yang mengusik keyakinan muslim di perkampungan, dan cara beragama yang keras dengan cita-citanya yang utopis, yaitu mendirikan khilafah, yang akhir-akhir ini menjalar ke setiap elemen masyarakat awam.

Kisah Al-Hadrami di Pasar Buku Cordoba
Bagaimana buku menjadi incaran para muslim di Cordoba. Namun sayangnya, tak semua pembeli buku benar-benar membeli dengan maksud mendarasnya.

Abah berjuang secara intens baik di pesantren ataupun di sela-sela dakwahnya menyuarakan dan menekankan kembali implementasi pola beragama yang sesuai dengan pandangan Aswaja NU, yang dalam ranah teologinya harus mengikuti pandangan Imam Abu Al-Hasan Al-Asy'ari, dimana titik berat permasalahannya berhubungan dengan ketuhanan (Ilahiyyat);  permasalahan yang berhubungan dengan kenabian dan kerasulan (Nubuwwat); dan permasalahan yang tidak memungkinkan istidlal kecuali melewati khabar dan pendengaran yang disampaikan oleh Baginda Nabi sebagai itikad yang harus diyakini oleh seorang muslim (Sam'iyyat).

Beliau mengatakan dalam anggitannya;

"......Aqaid nu lima puluh lamun can di i'tikadkeun...
Ibadah can ditarima sabab tacan sah Imanna."

"Aqaid yang lima puluh (sifat wajib, mustahil, dan ja'iz bagi Allah dan Rasul-Nya) jika belum diyakini, ibadah belum diterima sebab tidak sah imannya."

Sebagai Pimpinan FSGN (Forum Silaturahmi Guru Ngaji se-Indonesia), Abah berinisiatif menyamakan langgam nadzam 'Aqa'id-nya dengan direkam dalam format CD, agar disebarluaskan ke guru-guru ngaji yang ada di kota dan pelosok-pelosok kampung untuk diajarkan kembali kepada masyarakat abangan di majelis taklim dan langgar-langgar pengajian.


Baca juga artikel lain di rubrik ISLAMUNA atau tulisan menarik Irfan Rifqi Fauzi