Skip to content

Menelaah Makna Hijrah

Sekilas menyelisik makna hijrah dari mula-mula di era Nabi hingga dewasa ini.

Kita sering mendengar kata-kata hijrah belakangan ini, khususnya di kehidupan muslim urban yang semangat agamanya cenderung menggebu-gebu. Namun, baik disadari atau tidak, dasar pemahaman mereka akan ajaran Islam masih terkesan rendah, hal seperti ini sering terjadi pada kalangan pemuda-pemudi ataupun para artis ibu kota. Mereka seringkali melabelkan diri sebagai pemuda-pemudi yang telah berhijrah. Sekilas, hal ini sebenarnya memiliki kontribusi yang positif lantaran telah memperlihatkan syiar semangat keberislaman. Mereka berusaha mencoba memaknai dan memetik nilai dari perjalanan hijrahnya Sahabat Nabi dari Mekkah (sebagai daerah asal kalangan Muhajirin) ke kota Madinah.

Apabila diselisik lebih jauh, fenomena hijrah seperti di atas menurut penulis perlu adanya pembacaan kritis dan pemahaman yang lebih matang serta komprehensif. Lebih khusus terkait esensi dari hijrah itu sendiri. Mengingat terdapat segelintir oknum yang memperlihatkan hijrah sekadar tren yang ujung-ujungnya untuk menampakkan sisi formalitas keberagamaan, semisal demi menarik minat pembeli busana muslim dengan motif tertentu. Sehingga, pemahaman dan nilai substansial dari hijrah itu sendiri tidak tersingkap. Tulisan ini berusaha untuk mengungkap sisi lain pemaknaan terhadap terma hijrah.

Pendar Lampu Al-Azhar
Banyak talib dan ulama dahulu tinggal di serambi Al-Azhar. Menghabiskan malam-malamnya berteman pelita.

Pada masa Nabi, hijrah bermaksud sebagai berpindahnya Nabi dan para Sahabat dengan meninggalkan kota kelahiran, tanah, rumah dan kekayaan yang mereka punya. Para Sahabat dan Nabi merelakan itu semua demi menciptakan kedamaian dan mengembangkan jaringan dakwah Islam. Sekalipun bagi mayoritas Sahabat pada waktu itu terasa berat oleh sebab harus meninggalkan tanah kelahirannya.

Sedangkan fenomena hijrah yang kita pahami hari ini, yaitu berhijrah dari sesuatu yang tidak diridai Allah SWT menuju sesuatu yang diridai-Nya. Kendati demikian, untuk mendapatkan keridaan Allah SWT, aspek urgensitas hijrah yang benar-benar dibutuhkan di masa ini sebenarnya adalah hijrah dari kemunduran dan keterbelakangan kita. Awal dari penyebab keterbelakangan adalah kebodohan sebagai bentuk akumulasi dari keterpurukan pembelajaran dalam sistem pendidikan kita. Penulis mengamini, negara ini tidak akan maju jika bukan melalui upaya optimal untuk meningkatkan potensi nalar kecerdasan anak bangsanya. Apalagi jika negara ini masih belum bisa berdikari dan mandiri, segala aspek kehidupan dari mulai ekonomi, sosial, dan politik seolah masih didikte oleh negara luar. Tentunya, tak mungkin seorang anak membiarkan rumahnya rusak begitu saja, jika ia mempunyai alat dan kemampuan untuk menjaga dan merawatnya.

Ironisnya generasi muda kita hari ini lebih mengenal dan tergerakkan oleh sebuah aplikasi Tik-Tok daripada tergerak oleh ajakan membaca atau mengenal berbagai budaya literasi. Jika pendidikan negeri kita belum bisa menghijrahkan pembelajaran anak didiknya ke pendidikan yang lebih baik, lebih-lebih tidak ada kontribusi maksimal untuk membiayai kajian riset para sarjana yang berkompeten, maka, sampai kapan pun negara ini tak ada peluang untuk berkembang dan maju.

Diskursus Moderasi versus Diskursus Ekstrem
Buku baru keluaran Akademi Riset Keislaman (Majma’ Al-Buhus Al-Islamiyyah) Al-Azhar yang lugas dan tegas mengusung moderasi Islam.

Salah satu solusi untuk melawan keterbelakangan yaitu dengan membudayakan semangat membaca. Allah SWT memerintahkan untuk membaca segala hal dan realitas makhluk di muka bumi, “Iqra' bismirabbik (Bacalah! Dengan menyebut nama Tuhanmu), QS. Al-‘Alaq (1: 96). Jika kita lihat dalam susunan redaksinya, ayat ini tidak memakai redaksi maf'ul bih (objek kata kerja). Padahal jika dilihat, bentuk kata kerjanya muta'addi (kata kerja yang lazim membutuhkan objek). Dengan demikian Allah SWT memerintahkan manusia untuk membaca apa saja yang ia kehendaki. Tetapi dengan pembacaan yang menghasilkan nilai-nilai kebaikan untuk dirinya dan orang-orang di sekitarnya (bismirabbika). Bukan berarti agar memperoleh ilmu yang bersifat ‘menjajah’, untuk membodohi orang lain. Bukan juga ilmu yang berakibat menghancurkan pemikiran umat manusia.

Hijrah masa kini justru seharusnya kita pahami lebih luas, bukan hanya mengubah segi penampilan saja. Seperti, berhijrah dari kezaliman menuju keadilan yang sebenar-benarnya; berhijrah dari sikap putus asa menuju sifat percaya diri; berhijrah dari apapun yang nilainya tidak diridai Allah, menuju hal yang diridai-Nya. Dengan  demikian, kita semua bisa hijrah tanpa merusak khazanah budaya keindonesiaan kita.

Tabik.


Baca juga artikel lain di rubrik ISLAMUNA atau tulisan menarik Irfan Rifqi Fauzi

Latest