Skip to content

Menelaah Makna I’jaz dalam Al-Quran

Al-Quran adalah mu'jizat. Sementara i'jaz yang terkandung kerap diarahkan kepada teori ilmiah yang selalu baru. Apa sebenarnya makna i'jaz ini?

FOTO Ilustrasi Menelaah Makna i'jaz dalam Al-Quran (Tehzeeb Kazmi/Unsplash)
FOTO Ilustrasi Menelaah Makna i'jaz dalam Al-Quran (Tehzeeb Kazmi/Unsplash)

Banyak orang terjebak dalam kesalahan ketika mereka menginginkan agar Al-Quran mengandung segala teori ilmiah. Setiap lahir teori baru mereka mencarikan untuknya kemungkinan dalam ayat, lalu ayat ini mereka ta’wilkan sesuai dengan teori ilmiah tersebut. Kemukjizatan ilmiah Al-Quran bukanlah terletak pada pencakupannya akan teori-teori ilmiah yang selalu baru dan berubah, serta merupakan hasil usaha manusia dalam penelitian dan pengamatan. Tetapi, ia terletak pada dorongannya untuk berfikir dan menggunakan akal.

Al-Quran mendorong manusia agar memperhatikan dan memikirkan alam. Ia tidak membatasi aktivitas dan kreativitas akal dalam memikirkan alam semesta, atau menghalanginya dari penambahan ilmu pengetahuan yang dapat dicapainya. Al-Quran menjadikan pemikiran yang lurus dan perhatian yang tepat terhadap alam dan segala apa yang ada di dalamnya sebagai sarana terbesar untuk beriman kepada Allah SWT. Al-Quran mendorong manusia untuk melakukan aktivitas intelektual sebagaimana dijabarkan dalam ayat-ayatnya.

Etika Lingkungan dalam Islam
Etika lingkungan di era Industri 4.0 menjadi hal yang perlu dipahami masyarakat muslim. Nilai-nilai terkait hal ini sudah tertanam dalam Islam.

Pertama, Al-Quran mendorong kaum muslimin agar memikirkan makhluk-makhluk Allah yang ada di langit dan di bumi, seperti yang sudah dijelaskan dalam firman Allah SWT pada Surah Ali Imran ayat 190-191. Kedua, Al-Quran mendorong umat Islam agar memikirkan dirinya sendiri, bumi yang ditempatinya dan alam yang mengitarinya Al-Quran Surah Ar-Rum ayat 8. Ketiga, Al-Quran membangkitkan pada diri setiap muslim akan suatu kesadaran ilmiah untuk memahami dan melakukan perbandingan, Al-Quran Surah Al-Baqarah ayat 219 dan Surah Al-Hasyr ayat 21.

Dari sini sudah jelas, bahwa tuntunan di atas menghimbau manusia untuk tidak hanya membaca Al-Quran dengan hanya sekedar membaca, melainkan sekaligus mengajak manusia menerapkan bacaan dan kandungan isi Al-Quran dalam kehidupan sehari-hari khususnya, sebagaimana pesan M. Quraish Shihab, yaitu “Membumikan Al-Quran”.

I’jaz Al-Quran Menurut Para Ulama

Penggunaan kata i’jaz Al-Quran memiliki keterkaitan terhadap kata mu’jizat Nabi. Dikarenakan bagian dari mu’jizat Rasulullah dianggap yang paling utama adalah Al-Quran. Dengan demikian Al-Quran mengandung kemampuan i’jaz, maka i’jaz Al-Quran tidak terlepas dengan istilah mu’jizat Nabi. Akan tetapi, perlu diperhatikan perkembangan dari penggunaan istilah ini sehingga memberikan makna dan pengertian yang utuh berkenaan dengan istilah i’jaz Al-Quran.

Sekurang-kurangnya, penulis menggunakan istilah i’jaz Al-Quran dan mu’jizat Al-Quran dengan menekankan perhatian kepada awal munculnya kedua istilah ini. Pertama, istilah i’jaz Al-Quran dan mu’jizat Nabi tidak terdapat baik dalam Al-Quran mau pun hadits Rasul saw. Bahkan istilah ini juga tidak terdapat pada perkataan Sahabat, juga tidak muncul dalam ungkapan-ungkapan Tabi’in. Istilah ini mulai muncul pada abad ke-3, kemudian berkembang dengan sangat pesat pada abad-abad selanjutnya hingga masa kita sekarang ini. Maka, dikatakannya bahwa kedua istilah ini merupakan kata yang muhdats (kata jadian) dan muwallad (istilah baru yang dimunculkan).

Kedua, kata lainnya yang semakna dan menyertai kemunculan kata i’jaz adalah at-tahaddi. Kata ini juga merupakan kata yang muhdats dan muwallad. Tidak terdapat baik di dalam Al-Quran maupun Hadits Rasulullah, juga tidak terdapat pada perkatan para Sahabat dan tidak ditemukan dalam ungkapan-ungkapan Tabi’in. Kata ini juga baru muncul pada abad ke-3, kemudian berkembang pada abad ke-4 dan menyebar luas pada abad-abad setelahnya sampai masa sekarang ini. Selanjutnya, i’jaz Al-Quran menjadi istilah yang populer digunakan untuk mengusung pembicaraan seputar keunggulan Al-Quran sebagai firman Allah SWT yang diwahyukan kepada Rasulullah SAW.

Al-Quran

Kumpulan tulisan dengan kata kunci Al-Quran dan cabang ilmunya bisa teman-teman temukan

di sini

Pada abad ke-3, ulama dan sarjana-sarjana muslim telah banyak membahas persoalan i’jaz Al-Quran. Ibnu Sayyar An-Nazhzham (w. 221-231 H), seorang teolog Mu’tazilah menegaskan adanya sharfah (pengalihan) dalam kemampuan manusia untuk tidak mampu menandingi bahasa yang dipergunakan oleh Al-Quran. Teori ini menyatakan bahwa manusia sebenarnya memiliki kemampuan untuk meniru Al-Quran, baik dari sisi substansi maupun redaksionalnya. Hanya saja, kemudian Tuhan melakukan intervensi kepada manusia dengan mengalihkan kemampuan tersebut sehingga menjadikannya tidak mampu meniru Al-Quran meskipun satu ayat saja.

Teori sharfah merupakan tempat pijakan An-Nazhzham dalam menjelaskan i’jaz Al-Quran. Maka dengan demikian An-Nazhzham memandang bahwa i’jaz Al-Quran tidaklah berada pada keunggulan ungkapan, struktur kalimat, maupun gaya bertutur, akan tetapi berada pada posisinya sebagai bahasa yang bersumber dari Tuhan. Dengan demikian, Al-Quran sebagai teks tidaklah berbeda dengan teks lainnya, keunggulannya terletak pada isi yang dibawa dalam ungkapan Al-Quran tersebut, baik sesuatu yang gaib pada masa sekarang atau pun akan datang, yang tidak dapat diketahui oleh manusia.

Sedangkan Ali bin Isa Ar-Rummani (w. 384 H / 994 M), seorang teolog yang juga beraliran Mu’tazilah berpendapat bahwa i’jaz Al-Quran terletak pada dua hal yang tidak dapat dipisahkan dari Al-Quran itu sendiri. Keduanya yakni: Pertama, status Al-Quran sebagai bahasa Tuhan dan; Kedua, struktur serta gaya tutur yang dimiliki oleh Al-Quran itu sendiri. Lebih dari itu, i’jaz Al-Quran terletak pada harmoni yang menakjubkan antara statusnya sebagai firman Tuhan dan gaya tutur yang digunakan, serta aspek-aspek linguistik lainnya yang tersusun dengan cermat di dalam Al-Quran.

Membumikan Akidah Asy’arian ala Abah Cipulus
Bagaimana Alm. KH. Adang Badruddin mampu membumikan ajaran akidah Asy’ari di tengah masyarakat.

Abu Bakar Al-Baqillani (w. 403 H / 1013 M), seorang ulama yang anti terhadap Mu'tazilah menegaskan menegaskan bahwa i’jaz Al-Quran terkandung di dalamnya, dan bukanlah i‘jaz itu muncul dari intervensi Allah terhadap manusia berupa sharfah atau tindakan untuk mengalihkan bangsa Arab agar tidak mampu membuat yang semisal dengan Al-Quran. Meskipun ia tidak menafikan keunggulan Al-Quran dalam mengungkap berita-berita gaib, akan tetapi Al-Baqillani lebih menyoroti bahwa i’jaz Al-Quran lebih jelas terlihat dari sisi kebahasan dan susunan kata-katanya. Dalam hal ini Al-Baqillani masih dipandang belum tuntas untuk menjelaskannya, sehingga terlihat ia hanya mengungkap keindahan bahasa Al-Quran.

I’jaz dalam Al-Quran

Kata i’jaz merupakan bagian yang tak terlepaskan dari seorang Rasul yang diutus Allah SWT kepada umatnya untuk menyampaikan risalah. I’jaz merupakan kemampuan untuk menundukkan manusia, sehingga secara serta-merta menjadikan seorang manusia mempercayai akan kebenaran dari ajaran atau risalah yang dibawa oleh seorang Rasul. Kemampuan i’jaz ini kemudian menjadi bagian dari seorang Rasul yang disebut dengan mu’jizat.

Mu’jizat atau kemampuan i’jaz bagi setiap rasul berbeda antara satu dengan lainnya, sesuai dengan kondisi masyarakat tertentu dimana Rasul diutus-Nya. Sebut saja, misalnya, Nabi Musa yang diberikan mu’jizat kemampuan untuk mengalahkan para penyihir Firaun. Hal ini karena kemampuan yang sangat diagungkan dan disanjung pada masa itu adalah kemampuan dari para penyihir, sehingga bentuk mu’jizat yang diberikan kepada Nabi Musa adalah kemampuan menaklukkan penyihir-penyihir Firaun.

Dengan kalahnya para penyihir tersebut, menyadarkan umat yang menyaksikannya bahwa Nabi Musa memiliki kekuatan di luar dari kemampuan mereka, sehingga menghilangkan kesombongan diri dan mengakui adanya kekuatan yang lebih dari yang ada pada dirinya. Apabila mereka menerimanya secara objektif, maka hal tersebut akan menggerakkan keimanan di hati mereka. Akan tetapi, bila bersikap sebaliknya, maka hal itu akan mengkristalkan sikap kufur dalam diri mereka.

Allah mengetahui dengan pasti kondisi umat dan Rasul yang diutus-Nya, sehingga Allah dengan cermat menentukan mu’jizat mana yang harus diturunkan kepada seorang Rasul sehingga memudahkan untuk menyampaikan risalah yang dibawanya. Memberikan Nabi Musa tongkat yang mampu mengalahkan para penyihir Firaun, memberikan kemampuan penyembuhan dan medis kepada Nabi Isa, memberikan kemampuan tidak terbakar kepada Nabi Ibrahim merupakan ketentuan yang telah diketahui Allah dan berdasarkan atas pengetahuan-Nya.

Di Balik Nama Qashidah Burdah dan Bur’ah
Terdapat satu jenis gubahan syair Arab yang kerap disebut Qashidah. Yang terbilang masyhur dan punya asal-usul menarik adalah Burdah dan Bur’ah.

Begitu juga halnya dengan Rasulullah SAW, beliau diutus kepada umat yang memiliki kemampuan yang mengesankan, baik dalam berbahasa dan berpikir. Maka, diturunkanlah Al-Quran sebagai mu’jizat untuknya. Al-Quran menjadi penguat dan media utama Rasul untuk menegaskan risalahnya dan menundukkan orang-orang Arab. Dengan demikian mereka mengakui kebenaran ajaran yang dibawa Rasul dan mengimaninya. Muatan Al-Quran tersebut menyadarkan manusia dari kelemahan dirinya, bahwa tak seorang pun mampu untuk membuat karya-karya yang setara dengan Al-Quran.

Syahdan, mengenai i’jaz Al-Quran yang berkenaan dengan bahasa telah memunculkan banyak ulama muslim yang mengkajinya, sebut saja dari semenjak An-Nazhzham, Al-Jubbai, Al-Jahizh, Al-Khattabi, Ar-Rummani, Al-Baqillani, Al-Qadhi Abduljabbar, dan Al-Jurjani. Akan tetapi, dalam pandangan teori linguistik modern, pandangan yang dikemukakan Al-Jurjani lebih representatif dalam mewakili kajian bahasa dan sastra Al-Quran yang sesuai dengan pendekatan ilmu-ilmu bahasa saat ini.

💡
Baca juga artikel lain di rubrik ISLAMUNA atau tulisan menarik Salman Akif Faylasuf

Latest