Mengapa Perbedaan Pendapat Biasa Terjadi dalam Islam?

Banyak di antara kita meyakini Islam sebagai agama dengan dogma dan interpretasi tunggal, bahwa Allah SWT. memberikan Al-Quran dan Sunnah kepada Nabi Muhammad sebagai pedoman yang “lugu” seadanya. Atau, bahwa dogma dan interpretasi yang sudah terlanjur diyakini selama ini adalah ia yang tunggal, tanpa adanya interpretasi atau dogma pembanding. Namun pada hakikatnya Allah SWT. justru menganugerahi perbedaan (khilafiah) untuk hambanya. Khilafiah adalah salah satu anugerah terbesar yang diberikan oleh-Nya agar kita mempunyai pikihan-pilihan tertentu yang sesuai dan memudahkan.

Selain hal yang menyangkut keimanan kita pada entitas tunggal Tuhan juga pokok-pokok agama yang memiliki interpretasi tunggal, semuanya memiliki peluang untuk dinterpretasikan dan didogmakan dengan berbagai macam opsi. Masing-masing opsi yang ada bebas untuk kita pilih dan kita jalani, bisa karena sesuai dengan kebutuhan kita, atau karena selaras dengan logika kita.

Sejak zaman Nabi SAW. khilafiah sudah ada, dalam hal ini adalah konteks interpretasi para sahabat atas perintah Nabi. Sahabat sebagaimana manusia pada umumnya tentu saja memiliki metodologi dan kecakapan berpikirnya masing-masing. Ketika dihadapkan pada suatu permasalahan atau perintah Nabi, meraka menggunkan metodologi dan kecakapan berpikirnya untuk berijtihad. Sehingga antara satu dengan yang lain kadang memiliki konklusinya masing-masing. Selama Nabi mendiamkan atau tidak merevisi ijtihad sahabat ini, maka setiap interpretasinya dianggap sah.

Keharusan Ijtihad di Masa Sekarang
Membincang krisis pemikiran Islam modern. Catatan pinggir atas buku Dr. Mahmud Hamdi Zaqzuq.

Salah satau contoh yang sangat terkenal adalah perbedaan interpretasi para sahabat atas perintah Nabi SAW. untuk melaksanakan salat Asar di Bani Quraidzah saat melaksanakan misi pengepungan. Ketika sebagian pasukan Muslim masih dalam perjalanan, waktu Asar telah tiba. Sebagian sahabat menafsiri perintah Nabi. sebagai metafora agar pasukan Muslim bergegas dalam perjalanan, sehingga merka tetap mendirikan salat Asar sebagaimana lazimnya. Sebagian yang lain meyakini bahwa perintah itu berlaku sebagaimana adanya, sehingga sebelum sampai tujuan, merka tidak akan melaksanakan salat Asar. Ketika kejadian ini sampai pada Nabi SAW., Beliau hanya mendiamkan saja. Dalam artian, Baliau mengakomodir khilafiah yang terjadi. Khilafiah yang muncul akibat perbedaan metodologi berpikir ini juga berkelanjutan pada era imam madzhab. Masing-masing imam memiliki metodologi pengambilan hukumnya masing-masing. Sebagian beririsan, sebagian yang lain sama sekali berbeda.

Namun, khilafiah tidak hanya bersumber dari perbedaan metodologi pengambilan hukumnya saja. Lebih lanjut, salah satu faktor penting yang melatarbelakanginya ialah sumber pengambilan hukum. Dalam metodologi usul fikih, terdapat empat sumber pokok yang disepakati: Al-Quran, Hadis, Ijmak (konsesus ulama) dan Qiyas. Sisanya, masing-masing mazhab memiliki keyakinan atas sumber hukumnya masing-masing.

Dari masing-masing sumber hukum—baik yang disepakati maupun tidak, tak jarang menghasilkan konklusi yang berbeda. Seperti yang disebutkan di atas, metodologi pengambilan hukum bisa saja berbeda. Ditambah interpretasi atas teks sumber hukum yang kemudian mengerucut pada dalil, petunjuk dalil, atau bahkan illat hukum (kausalitas) bisa jadi berbeda. Inilah yang menyebabkan khilafiah biasa terjadi di dalam agama Islam.

Yang perlu digarisbawahi adalah, khilafiah tidak pernah terjadi pada pokok universal agama. Ia terjadi pada aspek-aspek parsial yang ruang interpretasinya memang terbuka. Khilafiah tidak ada begitu saja, melainkan ia adalah sebuah keleluasaan yang patut kita syukuri. Bayangkan jika aspek-aspek parsial dalam agama juga menjadi dogma dan interpretasi tunggal, betapa sulitnya kita menjalankan agama ini dalam konteks ruang dan waktu tertentu.

Contoh kecilnya ialah khilafiah dalam perkara pembatal wudu. Mazhab Syafii berkeyakinan bahwa salah satu pembatal wudu ialah bersentuhnya kulit laki-laki dan perempuan. Sedang dalam mazhab yang lain, bersentuhan dengan lawan jenis tidak mutlak membatalkan wudu. Sebagian menyaratkan adanya nafsu, bahkan ada yang menginterpretasikan bersentuhan kulit dengan lawan jenis sebagai kegiatan seksual. Lalu, betapa susahnya kita saat menjalankan ibadah tawaf yang penuh-sesak tanpa pembatas antara laki-laki dan perempuan jika ternyata interpretasi mazhab Syafii atas salah satu pembatal wudu—yaitu bersentuhan dengan lawan jenis—di atas sebagai interpretasi tunggal? Bukankah khilafiah justru menjadi solusi dan kemudahan yang diberikan Tuhan keapada kita?

As-Sais, Guru Besar Tafsir nan Fakih
Riwayat hidup guru besar tafsir universitas Al-Azhar. Tak hanya pernah menjabat dekan Usuluddin, ia pun dipercaya mengepalai fakultas Syari’ah.

Begitu juga dalam konteks produk fikih modern. Fatwa atas kehalalan mutlak produk perbankan bisa menjadi solusi ketika semua lini ekonomi saat ini susah dipisahkan darinya. Betapa susahnya kita jika keharaman produk perbankan adalah interpretasi tunggal? Produk mata uang, uang elektronik, model pembayaran dan transaksi, semuanya berkelindan dengan bank dan produk perbankan. Apa iya kita di era milenium ini masih bakal mempraktikkan barter?

Walhasil, khilafiah adalah nikmat yang tidak perlu kita perdebatkan. Masing-masing bebas meyakini dan memilih produk hukum yang masih diperdebatkan. Yang tidak boleh adalah, memilih pasangan orang lain sebagai pasangan Anda. Jelas itu adalah sumber pertikaian dan perdebatan!


Baca juga artikel lain di rubrik ISLAMUNA atau tulisan menarik Azuma Muhammad