Mengenang Prof. Dr. Muhammad Abdulfadhil Al-Qushi (1)

Organisasi Internasional Alumni Al-Azhar (OIAA) Pusat memperingati haul Syekh Muhammad Abdulfadhil Al-Qushi, Wakil Ketua Dewan Direksi OIAA Pusat. Dalam video ini, OIAA menayangkan kembali pesan beliau kepada para alumni Al-Azhar.

Transkripsi wasiat Syekh Muhammad Abdulfadhil Al-Qushi di Sekretariat OIAA Pusat

Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam.

Salawat dan salam semoga tercurahkan pada Rasul paling mulia, Sayidina Muhammad, seluruh keluarga dan sahabatnya.

Maha Suci Engkau, tiada yang kami tahu, kecuali apa yang telah Engkau ajarkan.

Sungguh Engkaulah yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana

Rombongan dari Britania membawa saya kembali pada kenangan 40 atau 50 tahun lalu, ketika kami menjadi calon sarjana, Prof. Dr. Ahmad Ath-Thayyib dan saya, dalam misi mengumpulkan bahan ilmiah di London. Sedangkan Syekhul-Azhar yang mulia, beliau juga ke Prancis dengan tujuan serupa.

Saat itu, terdapat sebuah gaya teori (mode), seperti ungkapan orang Mesir, yang populer di London dan Inggris, yang dinamakan dengan analitis. Ada juga yang dinamakan logical positivisme.

Gaya juga ada di Prancis, yang dikunjungi oleh Prof. Dr. Ahmad Ath-Thayyib. Seperti gaya eksistensialisme. Dan apa yang membuatmu tahu tentang wujud, ketika kamu merasa hidup.

Dan adapun seruan-seruan ini, baik analitis atau logical positivisme, di London atau Inggris, begitu pun pragmatisme di Amerika, juga analitis dan eksistensialisme di Prancis, hal itu bagi kita, pemuda Al-Azhar yang berkunjung saat itu, berambisi dan haus untuk menyerap seluruh peradaban dunia.

Kita, saat itu, adalah pemuda yang ingin membangun pembaruan atas hal yang dahulu, atas ilmu klasik, berupa ilmu kalam, etika penelitian dan debat (adabul-bahs wal-munazharah, tafsir dan hadis). Kemudian menambahkan pengetahuan baru yang didapat dari kunjungan, baik ke Inggris atau lainnya.

Di sana, ada seruan dan majalah-majalah dan para ilmuan yang berkunjung pada kita di Al-Azhar. Kita, saat itu, belum ada internet dan tidak ada sosial media. Kita terbatas pada buku cetak.

Dan kita, saat itu, jika boleh saya katakan, hilang pandangan dalam mengetahuinya dan mengenali pembahasannya. Dan, di saat yang sama, dalam mengenali sikap Islam terhadapnya.

Dan saya ingat, saat itu, ketika saya menjadi wakil rektor atau beberapa tahun setelahnya, populer dalam judul-judul disertasi dan tesis: ”Demikian dan sikap Islam terhadapnya”, “Eksistensialisme dan sikap Islam terhadapnya”, “Logical positivisme dan sikap Islam terhadapnya”.

Seakan-akan kita, saat itu, Prof. Dr. Ahmad Ath-Thayyib, Syekhul-Azhar, semoga Allah memberinya kesehatan, saya dan generasi kita, dibunuh oleh rasa haus dan dahaga, untuk mengetahui apa yang terjadi di dunia. Dan, saat itu, kita membaca semua ini. Dan hal itu didasarkan pada penghormatan terhadap ilmu.

Kita, tatkala pergi ke negara-negara itu, karena tertarik pada ilmunya. Kita, punggung kita, akal kita dan hati kita tertarik pada ilmunya. Bahkan kita pergi ke sana berusaha mengenal apa yang ada di sana. Karenanya, saat itu, kalau kita lihat tesis atau disertasinya —sebagian  guru kita, saat itu, rahimahullah, membiasakan hal itu dan kita pun terbiasa— tesis dan disertasi, saat itu, adalah: “Demikian dan sikap Islam terhadapnya”, “Eksistensialisme dan sikap Islam terhadapnya”, “Logical positivisme dan sikap Islam terhadapnya”, “Eksistensialisme dan sikap Islam terhadapnya”.

Seakan-akan seruan kita, saat itu, adalah: “Ketahuilah, pelajarilah apa yang ada di dunia dan hisaplah dari sumbernya dan minumlah dari airnya. Lalu letakkanlah itu di samping dan datangkanlah pemikiran klasik yang ada dalam hasyiah-hasyiah dan kitab-kitab klasik”

Dulu, Prof. Dr. Ahmad Ath-Thayyib belajar tentang Abul Barakat Al-Baghdadi. Sedangkan saya mempelajari Shadruddin Asy-Syirazi. Keduanya adalah madrasah yang mulia. Tetapi kita tidak memejamkan mata dari apa yang ada di dunia. Akan tetapi kita terbuka terhadap apa yang ada di dunia, baik timur atau barat, baik dalam hati, akal atau jiwa. Dan itu disertai dengan pengetahuan klasik.

Kemuliaan generasi kita adalah dengan pembaruan (mustahdatsat). Saya tidak katakan “muhdatsat”, tapi “mustahdatsat”. Kita mempelajari logical positivisme, dasar eksistensi dan dasar konstruktivisme, ini masalah penting, dan logical analitis.

Semua ini kita mempelajarinya atau kita belajar di sampingnya. Mata dan hati kita buta terhadap kitab Al-Mawaqif dan Al-Maqasid dan Al-'Aqaid An-Nasafiyyah. Dan hampir seperti gelombang yang diketahui dan disaksikan, yaitu untuk menghidupkan kitab-kitab turas terdahulu, dan Allah mengembalikannya sekali lagi dengan bentuk baru, dan membandingkannya dengan apa yang kita pelajari, saat itu.

Kalian telah mengembalikan pada saya, dalam pertemuan mulia ini, kenangan yang hampir saya lupakan. Tetapi saya berharap dari anak-anak kita agar kembali membahas permasalahan ini dengan bentuk lain.

Kalian sekarang berbeda dari kami. Pemuda sekarang berbeda dengan kami.

Dulu kami belajar dengan kesusahan. Sekarang ada internet dan Facebook dan banyak lagi. Dengan menyentuh satu tombol saja dapat mengetahui sedang terjadi ini dan itu.

Maka, apakah saya boleh berharap —akan saya akhiri sebentar lagi— apakah saya boleh berharap. Saya ulangi. Apakah saya boleh berharap pada saudara-saudara kita di Britania dan Inggris untuk mengembalikan peran ini?, yang sedang tertutup oleh awan-awan yang sangat tebal, kepada Al-Azhar sekali lagi. Sehingga, kita memiliki ulama besar seperti guru-guru kita yang kita ketahui. Saya tidak ingin menyebutkan nama. Semuanya adalah guru kita.

Barang siapa yang tidak mengerti bahasa Inggris maka ia akan kesusahan —jika saya dapat berkata demikian— dengan buku-buku terjemah. Bahkan dalam menterjemah itu sulit. Wujudiyah bagaimana kamu menerjemahkannya? Apakah eksistensialisme atau yang lainnya?

Dahulu kita sedikit bahan mengenai ilmu-ilmu ini. Sementara sekarang, internet dan sosial media memberi kalian sumber baru dan ranah yang lebih luas, yang sangat luas.

Apakah saya, sebelum Allah mengizinkan saya untuk meninggal, dapat melihat semangat ini terwujud, agar membangkitkan semangat saya, membangkitkan jiwa muda saya, dengan melihat semangat ini, melihat tulisan tentang wujud struktural saat ini yang mendeskonstruksi dan lainnya. Ia memiliki madrasah. Ia memiliki kecenderungan. Ia juga memiliki dampak di negara kita. Kalian sangka ia mendirikan falsafah baru. Padahal itu tiada lain adalah apa yang dibangun oleh para salaf dahulu. Dan pemuda kita tumbuh berdasarkan kebiasaan ayahnya.

Saya siarkan dalam sambutan ini, perasaan seorang lelaki yang mengharap pada Allah agar husnulkhotimah.

Saya meminta pada Allah untuk memberikan taufik dan kebenaran. Wassalamualaikum Warahmatullah

💡
Simak terjemahan lain di kanal YouTube Tawazun ID dan Subscribe untuk mengikuti update terkini.

Penerjemah: Ahmad Nasrullah
Penyelaras bahasa: M Ali Arinal Haq