Mengkaji Spiritualitas Sayidina Umar

Selama ini sahabat Umar bin Al-Khaththab sering kali dibaca dan dikaji sebagai Role Model akan kepemimpinan Islam, politik Islam dan teladan sosok yang adil nan bijak. Padahal, sebagian dari kita mungkin belum banyak mengetahui aspek spiritualitas Sayidina Umar. Mengingat sebelum para wali, para sahabatlah pewaris pertama spiritualitas (batin) Nabi Muhammad SAW sehingga derajat ‘sahabat’ tak sekedar dipahami sebagai Khalifah dalam arti zahir, melainkan meliputi aspek zahir dan batin. Dari situ, di balik sosok Sayidina Umar yang tegas dan adil terdapat kedudukan spiritual yang tinggi hingga Nabi memasukkannya sebagai “Al-Muhaddatsun”. Apa itu Muhaddatsun? Sejauh apa spiritualitas Sayidina Umar?

Sebelum kita membahas lebih jauh makna “Muhaddatsun”, saya akan  memulai  dengan membahas karamah sosok Sayidina Umar. Lalu, sejauh mana karamah itu dipahami dalam dunia tasawuf.

Ada dua kisah menarik—dari sekian banyak kisah—Sayidina Umar yang menunjukkan karamah beliau yang luar biasa. Kisah pertama adalah riwayat dari Sariyah bin Zunam. Suatu ketika Umar memerintahkannya untuk menjadi pasukan dalam peperangan di wilayah Persia. Tiba-tiba kondisi umat Islam dalam peperangan itu terpojokkan di Lembah Nahawand. Umat Islam, beserta Sariyah terkepung hingga hampir terkalahkan. Umar yang saat itu berada di Madinah, sedang berkhutbah di atas mimbar seketika berkata dengan nada yang begitu tinggi, “Wahai Sariyah, (Larilah) ke gunung” lalu Allah dengan kekuasaannya memperdengarkan suara Umar ini kepada Sariyah dan seluruh pasukan muslim. Mereka pun berkomentar, ini adalah suara amirul mukminin. Bersegeralah mereka berlindung ke gunung, lalu mereka selamat dan menang di peperangan ini. (Yusuf An-Nabhani, “Hujjat Allah ‘ala Al-‘Alamina fi Mu’jizat Sayyid Al-Mursalin”)

Peristiwa tersebut dikomentari oleh Tajuddin As-Subki. Menurutnya, Umar sebenarnya tidak bermaksud mempertontonkan karamah yang ada pada dirinya. Melainkan Allah telah menyingkap (kasyaf) penglihatannya, sehingga ia melihat secara nyata keadaan tentara umat Islam yang terpojokkan. Seolah ia berada di antara mereka dan hilang dari Madinah: panca indra Sayidina Umar sudah tak di sana. Sehingga muncul kemudian ungkapan di khutbah yang menyuruh Sariyah pergi ke arah gunung. Seolah, “Allahlah yang mengeluarkan kalimat-kalimat tersebut dari mulut kekasih-Nya”.

Kisah kedua, dan yang ini lebih populer, yaitu Umar menyurati Sungai Nil di masa Amr bin Al-‘Ash yang konon enggan mengalir karena tidak diberikan tumbal berupa budak perempuan perawan. Lalu Umar menyuratinya, “Amma Ba’du, jika engkau memang mengalir dari dirimu sendiri, maka jangan mengalir. Akan tetapi Allahlah yang Esa dan yang Maha Menakluklan yang membuatmu mengalir, maka kita mohon kepada Allah agar membuatmu mengalir.” Setelah surat itu dilempar oleh Amr bin Al-‘Ash, mengalirlah Sungai Nil sedalam 16hasta dalam waktu semalam. Konon, hingga kini Sungai Nil tak pernah berhenti mengalir.

Lingkungan

Kumpulan tulisan yang mengangkat isu lingkungan dapat teman-teman baca

di sini

Dua kisah tentang karamah Sayidina Umar menguatkan kedudukan spiritual Sayidina Umar. Dalam tasawuf istilah “karamah” yang berarti “kejadian di luar kebiasaan yang Allah berikan pada selain nabi” adalah tanda spiritualitas tinggi seseorang. Jika karamah para wali adalah penanda spiritualitas mereka dan hukumnya tidak wajib, maka mukjizat itu wajib bagi para nabi dan harus disertai pengakuan sebagai nabi (Tahaddi An-Nubuwwah). Hal yang penting ditekankan di sini, sebagaimana Syekh Yusuf An-Nabhani katakan dalam kitabnya, Hujjat Allah ‘ala Al-‘Alamina fi Mu’jizat Sayyid Al-Mursalin, mayoritas para pembesar sufi sepakat bahwa sejatinya karamah para wali itu (termasuk sahabat) sejatinya adalah bagian penyempurna mukjizat dari Nabi (di masa tersebut).

Dengan demikian, setiap karamah yang muncul pada seorang wali, setelah masa nabi, sejatinya karamah tersebut tidak lain adalah bentuk penyempurnaan mukjizat Nabi tersebut. Syekh An-Nabhani mempertegas, “Keberadaan para wali di bumi hari ini adalah bagian dari mukjizat Nabi SAW yang terus menerus ada. Sebab karena dan dengan mereka (para wali) itu seluruh hajat umat manusia teratasi, dengan berkah mereka, suatu negara bisa selamat dari bala dan dengan doa mereka rahmat turun ke negara tersebut.”. Kesimpulannya, “..Seolah-olah dengan itu, Nabi SAW masih ada (hidup) di tengah-tengah umatnya, menyaksikan mukjizatnya setelah kematiannya, sebagaimana mereka (umat) itu menyaksikan mukjizat itu di zaman Nabi.”

Setelah mengerti makna karamah di atas, kita beranjak pada kedudukan spiritual Sayidina Umar. Sebagaimana Nabi jelaskan eksplisit dalam  hadits, “Sungguh telah ada di setiap umat itu kelompok Muhaddatsun, jika memang ada di umatku, maka orang itu adalah Umar”. Sebagian ulama memaknai “Muhaddatsun” dengan “pembaharu”, makna lain “orang yang perkataannya bisa menjadi nyata”. Yang lebih tepat dalam konteks ini adalah Muhaddatsun sebagai keududukan spiritual. Sebagaimana Imam Al-Qusyairi dalam tafsirnya, memaknai dengan “Orang yang bisa berkomunikasi / mendapat rahasia-rahasia ilahiah secara langsung (Bila Washithah)”. Dari sini Imam Al-Qusyairi menyebut kedudukan Sayidina Umar pada tingkatan Khawasul Khawas sebagai kebalikan dari orang-orang yang ditutup hatinya oleh Allah dalam ayat, “Khatamallahu ‘ala Qulubihim wa ala Sam’ihim” (Surah Al-Baqarah: 7)

Berdasarkan ulasan di atas kita semakin memahami betapa tingginya kedudukan sosok Sayidina Umar ini baik secara zahir maupun batin. Karamah Sayidina Umar tidak hanya kita baca sebagai “keajaiban” atau “kisah adimanusiawi” secara lahiriah semata. Alih-alih hal itu membuat kita menjadikan ‘karamah lahiriah’ sebagai tujuan dalam perjalanan spiritualitas. Melainkan karamah ada sebagai penanda spiritualitas di mana Sayidina Umar adalah sosok  “Al-Muhaddatsun” yang senantiasa berdialog tanpa hijab dengan Allah SWT. Sosok yang—sebagaimana Imam Al-Qusyairi jelaskan— hatinya tak tergoda oleh bisikan setan (waswasah)dan jiwa (hawajiz), pikirannya tak disibukkan oleh ilmu (Khawatir Al-Ulum) dan problematikanya, sehingga bisa menerima kebenaran dan rahasia ilahiah (Asrar Al-Haq) secara langsung. Wallahu a’lam bi ash-shawab.


💡
Baca juga artikel lain di rubrik ISLAMUNA atau tulisan menarik Lukman Hakim Rohim