Mengurai Benang Kusut Hubungan Agama dan Budaya

Hubungan agama dan budaya sering kali dipahami dengan salah kaprah. Sebagian dari kita tak jarang gagap ketika dihadapkan dengan keduanya. Di antaranya ada yang gagal membedakan mana produk agama, mana produk budaya. Sementara sebagian lain juga gagal mengurai kesamaan spirit agama dan budaya yang beririsan.

Agama sebagai landasan dan pedoman fundamental hidup manusia pada hakikatnya tidak memandang remeh budaya. Selagi ia memiliki spirit yang sama dengan agama, produk budaya apa pun bisa diterima, bahkan disambut dengan tangan terbuka.

Dalam ilmu Ushūl Fiqh misalnya, budaya dan kebiasaan sebuah kaum (atau masyarakat) bisa digunakan sebagai dalil pengambilan hukum. Imam Malik dalam metodologi pengambilan hukum misalnya, ia menjadikan adat kebiasaan masyarakat Madinah sebagai dalil pelaksanaan salat tarawih dalam 36 rakaat. Pada tahap ini, adat dan khazanah kebudayaan tidak lagi menjadi sekedar ciri masyarakat tertentu, bahkan manjadi pondasi dalam membangun logika pelasanaan ibadah ritual.

Tradisi Pernikahan Paling Tua di Dunia
Mesir mempunyai banyak tinggalan dari sejarah yang panjang. Salah satunya adalah tradisi perayaan pernikahan.

Seperti yang kita tahu, budaya bisa sangat berbeda antara suatu daerah dengan yang lain. Dalam posisi ini, kita juga harus paham mana saja yang termasuk dalam domain agama, mana juga yang hanya sebatas budaya suatu masyarakat. Implikasi dari kesadaran ini adalah keidealan kita salam menghadapi keduanya. Kita tidak lagi salah mengartikan produk budaya sebagai dogma agama yang harus diikuti semua orang secara utuh. Pun kita mampu dengan senang hati membenahi produk budaya yang tidak selaras dangan prinsip agama.

Hal ini menjadi penting untuk dikaji mengingat sebagian dari kita begitu keukeuh memegang dan mempromosikan budaya masyarakat tertentu—sebab sangkaan bahwa ia bagian dari dogma agama—kepada masyarakat lainnya, padahal produk budaya ini dirasa kurang cocok untuk diterapkan—dengan berbagai pertimbangan yang ada.

Fashion atau mode busana sebagai contohnya. Jubah dan gamis di sebagian besar wilayah Timur-tengah menjadi pakaian khas mereka. Pedagang, petani, sopir, dan profesi lainnya biasa mengenakan mode busana semacam ini sebagai pakaian sehari-hari. Bukan karena Kanjeng Nabi Saw. berasal dari Timur-tengah berarti kita wajib menirukan mode penampilan semacam itu. Sekali lagi, bukan sebuah keharusan, dalam artian jika mau meniru pun sah-sah saja.

Begitu pula sebaliknya. Masyarakat kita memiliki mode busana khas, di antaranya sarung. Bahkan dalam dimensi masyarakat dan komunitas tertentu, mengenakan sarung menjadi standar kesopanan ketika beribadah, mengaji, atau mengikuti sebuah acara tertentu. Namun hal ini menjadi masalah ketika kita bawa ke Mesir misalnya, di mana masyarakatnya memandang penggunaan sarung di tempat umum sebagai aib. Mereka memiliki standar mode busananya sendiri, dalam hal ini sarung adalah busana khas yang digunakan pasangan suami istri ketika hendak memadu kasih. Menjadi aneh ketika ia dipakai di ruang terbuka.

Diskursus Moderasi versus Diskursus Ekstrem
Buku baru keluaran Akademi Riset Keislaman (Majma’ Al-Buhus Al-Islamiyyah) Al-Azhar yang lugas dan tegas mengusung moderasi Islam.

Pada prinsipnya, agama hanya mengatur batasan dan standar tertentu mengenai mode busana, yaitu menutup aurat. Selagi prinsip ini terpenuhi, mode busana apa pun, selama masih sesuai budaya yang lazim dalam sebuah masyarakat, sah-sah saja untuk digunakan.

Pada akhirnya, agama adalah prinsip dan pedoman hidup. Selagi substansi ini bisa diejawantahkan dalam hal apa pun termasuk budaya, maka apa pun itu juga bisa kita amalkan dan praktikkan dengan riang gembira. Menjadi fanatik dengan irasional adalah pilihan, bersikap inshāf (bijaksana) dengan kesadaran moderat juga pilihan. Sekarang saatnya kita memilih hendak yang mana.


Baca juga artikel lain di rubrik ISLAMUNA atau tulisan menarik Azuma Muhammad