Mengurai Kebenaran Tunggal dan Kebenaran Jamak dalam Islam

Betapa sering kita mendengar narasi “selain kita adalah mereka yang salah, tersesat, dan berdosa” lantas distigmakan kepada siapa saja yang berbeda. Saya kira, fenomena ini bukan hal asing lagi di antara kita, muslim Indonesia, atau bahkan dunia. Ya, dewasa ini kita—yang banyak di antaranya kian bersemangat dalam beragama—kerap kali gagap dalam menyikapi kebenaran dan perbedaan. Kegagapan yang berbuah arogansi tersebut salah satunya lahir dari rahim kebodohan. Kebodohan kita sendiri yang tidak—atau setidaknya belum—mengenal dengan baik agama yang kita yakini dan imani dengan segala isi dan dinamikanya; Islam.

Dalam Islam, kebenaran dan perbedaan selayaknya disikapi secara proporsional yang berlandaskan ilmu serta metodologi yang jelas, bukan sekedar ngawur nan membabibuta selaras dengan nafsu dalam jiwa. Oleh karenanya, hal yang paling mendasar bagi kita untuk terbebas dari arogansi ini salah satunya dengan mengenal kebenaran dan perbedaan itu sendiri.

Kebenaran dalam Islam adalah kebenaran yang bersumber dari nas-nas agama—baik Al-Quran maupun Hadis—dan logika yang benar. Tanpa nas atau minimal intisari dan ruh nas yang selaras, logika bisa menjadi kurang tepat dalam mengolah kesimpulan. Apalagi nas tanpa logika, sangat mungkin cacat kesimpullan lahir karena nafsu hadir sebagai pemain utama.

Pendar Lampu Al-Azhar
Banyak talib dan ulama dahulu tinggal di serambi Al-Azhar. Menghabiskan malam-malamnya berteman pelita.

Dari proses olah nas dan logika, Islam mengenal kebenaran tunggal dan kebenaran jamak. Kebenaran tunggal biasanya berkaitan dengan akidah dan keimanan, meskipun beberapa poin dalam yurisprudensi Islam juga memilikinya. Kebenaran tunggal ini memiliki konsekuensi serius untuk diimani dan diamini sepenuhnya, dalam artian tidak menerima perbedaan sedikitpun. Dalam akidah contohnya mengimani Allah Swt. sebagai entitas tunggal yang menciptakan dan menuhani alam semesta. Sedang, dalam fikih ibadah misalnya kewajiban salat lima waktu bagi setiap muslim yang balig, berakal, dan mampu. Secara sederhana, kebenaran tunggal dihimpun dalam kaedah mā huwa ma’lūm fi ad-dīn bi adh-dharūrah, segala hal yang diketahui secara pasti—hukum dan kebenarannya—dalam agama.

Dalam pembahasan usul fikih misalnya, kebenaran tunggal tidak hadir begitu saja melainkan melalui proses yang serius. Nas yang menjadi landasan logika adalah nas yang qath’iy ats-tsubūt (sumber dan kehadiran nas dipastikan keotentikannya) juga qath’iy ad-dilālah (memiliki interpretasi tunggal), atau kebenaran ini sudah menjadi konsesus ulama yang terdokumentasi secara pasti. Jika produk hukum dilandasi oleh nas yang tidak memenuhi syarat di atas, otomatis melahirkan kebenaran jamak atau yang sering kita pahami sebagai khilāfiyyah, perbedaan pendapat.

Kebenaran jamak lahir dari interpretasi para ulama kompeten dan kredibel yang berbeda-beda. Setiap penggalian hukum oleh ulama—tentunya yang dilandasi logika dan metodologi keilmuan yang valid—dalam konteks ini memiliki posisi kebenarannya masing-masing. Dalam artian, kita bebas memilih kebenaran yang mana yang ingin kita imani dan amini. Contoh kecilnya, perbedaan pendapat dalam membaca basmalah dalam salat. Khilāfiyyah ini memberikan kebenaran jamak kepada kita; kita bebas memilih apakah akan mengimani dan mengamini kebenaran yang menyatakan wajib membaca basmalah, atau kita bakal memilih kebenaran sebaliknya. Masing-masing adalah kebenaran dan masing-masing menjadi pilihan bagi Muslim.

Ya, kebenaran jamak memiliki konsekuensi untuk toleran kepada siapa pun yang meyakini kebenarannya masing-masing, selama ia dibangun atas nas, logika, dan metodologi yang jelas. Dalam konteks ini, kita tidak berhak untuk menjustifikasi keyakinan saudara kita atas sebuah kebenaran sebagai “yang sesat”. Oleh karenanya, kebijaksanaan dan kedewasaan dalam bersikap mutlak dibutuhkan untuk menghadapi kebenaran yang semacam ini.

Merevisi Pemahaman Ekstrem dan Takfiri
Buku Al-Fahm Al-Munir yang ditulis oleh Syekh Usamah Al-Azhari hadir menjawab kesalahan-kesalahan penafsiran ayat yang berujung fatal.

Pada akhirnya, hal-hal demikian selayaknya menjadi pemahaman fundamental bagi setiap Muslim. Kebodohan dan ketidaktahuan akan kaedah dasar semacam ini sudah pasti menimbulkan arogansi, stigma, dan justifikasi bar-bar sebagaimana yang sering kita saksikan belakangan ini. Mau tidak mau, ilmu pengetahuan dan wawasaan memang menjadi kunci kesuksesan dan kedamaian baik di dunia maupun akhirat. Kebahagian dan harmoni yang menyeluruh di antara manusia, juga ridha, dan rahmat Allah Swt.

Tentu jamak diketahui bahwa Nabi Saw. telah bersabda: “Man arāda ad-dunyā fa ‘alaihi bi al-‘ilmi, wa man arāda al-ākhirata fa ‘alaihi bi al-‘ilmi, wa man arāda bihimā fa ‘alaihi bi al-‘ilmi”. Sesiapa pun yang menghendaki dunia, maka (wajib) atasnya ilmu pengetahuan, dan sesiapa yang menghendaki akhirat maka (wajib) atsnya ilmu pengetahuan, dan sesiapa yang menghendaki keduanya maka (wajib) atasnya ilmu pengetahuan. Lalu, dari mana datangnya arogansi? Jawabnya mudah: nafsu dan kebodohan.


Baca juga artikel menarik di rubrik ISLAMUNA atau tulisan lain Azuma Muhammad