Menjawab Tuduhan Terhadap Al-Quran

Banyak ilmuan Barat ingin meruntuhkan citra Islam yang autentik dan toleran. Mereka menulis jurnal dan buku yang ditujukan kepada pembaca Barat demi membangun wacana negatif terhadap Islam. Tentu para sarjana Islam tidak tinggal diam. Mereka membantah tuduhan Barat dalam jurnal maupun buku. Salah satu di antaranya adalah Syekh Muhammad bin Abdullah Diraz (wafat 1958 M). Ulama kenamaan Al-Azhar ini menulis buku An-Naba Al-‘Azhim Nazharat Jadidah fi Al-Quran. Banyak ulama yang mengapresiasi karya ini karena dianggap mampu memunculkan Ulum Al-Quran dengan wajah baru. Sebelum membahas epistemologi Al-Quran, di bab awal, Syekh Muhammad Diraz memulainya dengan melacak sumber asli Al-Quran sekaligus membantah tuduhan Barat bahwa Al-Quran adalah buatan Nabi Muhammad.

Syekh Muhammad bin Abdullah Diraz melacak bukti-bukti ilmiah bahwa Al-Quran murni berasal dari wahyu, di antaranya:

Pertama, kejadian terfitnahnya Sayidah Aisyah. Pada saat itu Aisyah mendapatkan giliran untuk  pergi bersama Rasulullah SAW dalam Perang Bani Al-Mushthaliq. Di suatu malam, ketika pasukan hendak meneruskan perjalanan, Aisyah meninggalkan kemah tanpa sepengetahuan orang, untuk membuang hajat. Saat hendak kembali ke rombongan, di tengah jalan Aisyah menyadari bahwa kalungnya tertinggal. Tanpa berpikir panjang ia langsung berbalik arah untuk mencarinya.

Masjid ‘Amr bin Al-’Ash, Masjid Pertama di Tanah Afrika
Sejarah masjid pertama di Afrika yang didirikan oleh Sayidina ‘Amr bin Al-’Ash. Masjid tua di Al-Fusthath, Mesir ini masih eksis hingga hari ini.

Rombongan mengira kalau Sayidah Aisyah sudah berada di dalam haudaj (rumah kecil yang terpasang di atas punuk unta). Mereka melanjutkan perjalanan dan meninggalkan Aisyah sendirian. Mengetahui rombongan telah berangkat, Aisyah hanya bisa pasrah. Ia kemudian membuka jilbab dan menjadikannya selimut untuk tidur di bekas perkemahan rombongan. Mengetahui kalau Aisyah tidak ada di dalam haudaj, Sahabat yang bertugas menuntun untanya bergegas menjemputnya.

Inna lillahi wainna ilaihi rajiun, istri Rasulullah!”. Aisyah terbangun mendengar suara lelaki di sampingnya. Ternyata itu adalah Shafwan bin Al-Mu'aththal. Ia kemudian mempersilakan Aisyah menaiki unta dan menuntunnya menyusul rombongan hingga waktu Nahr Azh-Zhahirah (siang bolong). Dari sinilah fitnah muncul.

Setibanya di Madinah, gosip perselingkuhan Aisyah semakin kencang. Abdullah bin Ubay bin Salul menambah-nambahi cerita dan menyebarkan berita bohong kepada banyak orang agar hati Nabi semakin tersayat. Nabi meminta pendapat kepada Sahabat. Ali bin Abi Thalib memberi isyarat agar ia menjatuhkan talak. Namun, Nabi sekuat hati ingin meyakinkan diri, “Aku tidak pernah menemukan apapun dalam dirinya kecuali kebaikan”.

Sebulan berlalu dan wahyu belum turun memberi kabar tentang kebenaran gosip Aisyah. Nabi semakin gelisah dan perlakuannya terhadap Aisyah mulai tampak berbeda, tidak seperti biasa. Nabi kemudian menemui Aisyah dan bersabda: “Wahai Aisyah, telah kudengar berita begini dan begitu. Jika engkau memang terbebas dari tuduhan tersebut, tentu Allah akan membebaskanmu. Dan jika engkau telah melakukan dosa, maka mohon ampun dan bertaubatlah kepada Allah, maka Allah akan mengampunimu”. Tangis Aisyah pecah, tak menyangka jika Nabi memercayai berita bohong itu.

Lihatlah! Kata-kata ini adalah ucapan seorang yang jujur dan tidak suka berkata bohong. Jika Al-Quran buatan Nabi Muhammad, mengapa ia harus gelisah selama sebulan menunggu wahyu turun. Mengapa ia tidak membuat sendiri saja ayat yang membebaskan Aisyah dari tuduhan keji itu. Bukankah persoalan ini bisa menurunkan harga diri Nabi dan istrinya?

Rasulullah

Kumpulan tulisan dengan spirit kecintaan kepada Rasulullah SAW dapat teman-teman temukan

di sini

Kedua, adanya ayat-ayat Al-Quran yang mengkritik keputusan Nabi. Salah satunya ketika Abdullah bin Ubay, pembesar kaum munafik meninggal. Anaknya, Muhammad bin Abdullah bin Ubay meminta Nabi untuk memberikan gamisnya untuk ayahnya, kemudian mengafaninya. Nabi menyanggupi. Kemudian, ia meminta Nabi untuk menyalatinya juga. Nabi memberi isyarat mengiyakan. Umar seketika berdiri memegang baju Nabi melayangkan protes. “Apa engkau akan menyalatinya sedangkan ia adalah orang munafik, dan Tuhanmu telah melarangmu untuk memintakan ampun?” “Sungguh Allah telah memberi pilihan kepadaku (antara memintakan ampun atau tidak)”, jawab Nabi. Lalu, Nabi membacakan ayat “Kamu mohonkan ampun kepada mereka atau tidak (sama saja). Kendatipun kamu memohonkan ampun kepada mereka tujuh puluh kali, sekali-kali Allah tidak akan memberi ampun kepada mereka” (Surah At-Taubah ayat 80) “Saya akan menambah tujuh puluh kali lagi untuk memintakan ampun”. Maka, Nabi tetap menyalatinya bersama Sahabat, kemudian turun ayat ”Janganlah sekali-kali kamu menyalatkan jenazah mereka, dan janganlah kamu berdiri (mendoakan) kuburnya. Sungguh mereka kafir kepada Allah dan Rasul-Nya dan mereka mati dalam keadaan fasik” (Surah At-Taubah ayat 84).

Lihatlah kisah ini secara seksama dalam kumpulan Hadits sahih. Kisah ini menceritakan sosok yang sangat mulia dan penuh kasih sayang. Orang yang semasa hidupnya pernah menyebarkan berita bohong kepada Sayidah Aisyah saja Nabi masih berupaya memintakan ampun kepadanya. Namun, dari kisah ini pula kita tahu bahwa Nabi hanyalah hamba yang lemah yang tidak dapat menentukan nasib manusia. Jika Al-Quran adalah buatan Nabi Muhammad, mengapa ada ayat yang mengkritiknya karena salah dalam mengambil keputusan. Bukankah dia bisa membuat ayat sesukanya jika mau?

Risalah Nabi Melawan Domestikasi Perempuan
Tradisi jahiliah memandang perempuan sebagai makhluk kelas dua, kotor, dsb. Risalah Nabi Muhammad SAW datang dengan pandangan yang berlainan.

Ketiga, kejadian turunnya ayat pertanggungjawaban atas niat. Ketika turun ayat “Dan jika pun kalian tampakkan atau sembunyikan apa yang ada di dalam diri kalian, Allah akan memberi perhitungan atas perbuatan kalian” (Surah Al-Baqarah ayat 284), para Sahabat gelisah. Hal ini karena mereka memahaminya, semua yang dilakukan manusia, bahkan apa yang terlintas dalam hati, akan dimintai pertanggungjawaban. Para Sahabat mengadu kepada Nabi, “Wahai Rasulullah, ayat ini turun untuk kami tetapi kami tidak kuat”. Nabi menjawab, “Apa kalian ingin berkata seperti perkataan Ahli Kitab, kami mendengarnya tetapi kami mengabaikannya?”. Para Sahabat hanya bisa pasrah dan berdoa semoga apa yang pernah dilakukan mendapat ampunan. Kemudian turun ayat “Allah tidak akan membebani seseorang di luar kemampuannya…” (Surah Al-Baqarah ayat 286). Dari situ para Sahabat tahu bahwa yang akan dimintai pertanggungjawaban adalah perbuatan hati yang berupa niat, bukan angan-angan atau gejolak hati yang terkadang tiba-tiba datang.

Kejadian ini menunjukkan, saat ayat pertama turun, Nabi memang tidak tahu apa maksud dari “sesuatu yang disembunyikan” sampai ayat selanjutnya turun. Ini bukti bahwa Al-Quran berasal dari wahyu Allah, sampai Nabi sendiri sebagai penerima wahyu terkadang tidak tahu makna spesifik dari ayat sampai ayat selanjutnya turun untuk menerangkan maksudnya.

💡
Baca juga artikel lain di rubrik ISLAMUNA atau tulisan menarik M Fazal Himam