Merevisi Pemahaman Ekstrem dan Takfiri

Al-Quran adalah kalam Allah dan mukjizat Baginda Nabi Muhammad yang paling agung. Ia memiliki keagungan tersendiri bagi umat beragama Islam. Ia adalah wahyu yang nyata, yang dengannya, Allah memberi petunjuk kepada para hamba-Nya. Dengan diturunkannya dalam bahasa Arab, maka tidaklah ada manusia yang mampu memahami Al-Quran dengan sebenar-benarnya kecuali mereka yang mengerti bahasa Arab dan memahami rahasia di dalamnya.

Al-Quran adalah salah satu madar ali (sumber pedoman utama) umat manusia hingga akhir zaman. Dengan pedoman tersebut, para Sahabat, Tabiin dan para ulama mengimplementasikannya dalam kehidupan sehari-hari setelah wafatnya baginda Nabi Saw.

Namun, implementasi dalam menafsirkan Al-Quran dan memahaminya tak sepenuhnya berjalan dengan mulus bagi orang-orang setelah itu. Di sana, ada yang memahaminya dengan sebenar-benar pemahaman dan ada yang memahaminya dengan pendapat yang rancu sesuai nafsunya sendiri.

Dalam hal ini, khawarij adalah salah satu kelompok yang menggunakan Al-Quran sebagai alat untuk membenarkan pendapatnya. Dari sejarah, kita bisa melihat bagaimana pemahaman mereka yang buruk terhadap Alquran berimbas kepada pemikiran yang ekstrem dan takfiri (bersifat mengafirkan) kepada sesama Muslim. Dalam Shahih-nya, Imam al-Bukhari menuturkan perkataan Ibnu Umar tentang Khawarij, “Sesungguhnya mereka (khawarij) telah melemparkan ayat-ayat (Alquran) yang turun (tertuju) kepada orang kafir, lalu justru menjadikan ayat-ayat tersebut (tertuju) kepada orang-orang beriman.”

Sinergi Umara dan Ulama di Masa Pandemi
Corona kian menggila, para umara, ulama, dan tokoh-tokoh publik dituntut harus lebih berperan dalam menetralisir kekhawatiran umat.

Pemikiran ekstrem dan takfiri terus melahirkan benih-benih baru bahkan hingga saat ini, neo-khawarij. Yang dengannya, benih baru ini melakukan hal yang sama dengan para pendahulunya, yakni menafsirkan Alquran dengan pemahaman yang terlampau bahaya. Melihat hal ini, para ulama kontemporer menjawab pemahaman tersebut dengan berbagai macam cara. Baik secara lisan maupun tulisan.

Di antara sekian banyak ulama yang menjawab, Syekh Usamah Al-Azhari adalah salah satunya. Beliau menulis buku khusus seputar jawaban atas pemahaman mereka terhadap tafsir Al-Quran yang terlampau ekstrem tersebut. Beliau memberi judul bukunya Al-Fahm Al-Munir li Al-Ayat allati Akhtha’a fi Fahmiha Ahlu At-Tatharruf wa At-Takfir. Buku ini beliau tulis setelah sebelumnya menuliskan buku tentang kelompok radikalis yang berjudul Al-Haqq Al-Mubin fi Ar-Radd ‘ala man Tala’aba fi Ad-Din.

Buku Al-Fahm Al-Munir diterbitkan oleh maktabah Dar Al-Faqih, Abu Dhabi, Emirat pada tahun 2015 silam dengan tebal 136 halaman. Pada mukadimah buku tersebut, beliau terlebih dahulu merincikan tentang Baginda Nabi Muhammad Saw. yang datang dengan membawa risalah Alquran, bagaimana beliau mengajarkan adab-adab dalam memahaminya, tata-cara mengekstrak cabang keilmuan, adab, dan pengetahuan yang tersimpan di dalamnya. Begitupun halnya dengan tata-cara mengalihkan pemahaman ayat tersebut kepada praktik dan pelaksanaan dalam membangun peradaban, mengisi kehidupan, menyebarkan kemakmuran, dan memancarkan akhlak serta nilai-nilai kebaikan dari Alquran.

Selanjutnya, beliau menerangkan tentang betapa bahayanya kelompok yang berpaham radikalisme dalam menafsirkan Al-Quran. Mereka benar-benar melewati batas dan tanpa memedulikan ketentuan yang ada. Padahal, para ulama sejak dahulu hingga abad ke-15 saat ini telah menyusun berbagai ketentuan dalam menafsirkan Al-Quran, baik dari syarat menjadi mufasir, metodologi dalam menafsirkan Al-Quran, mengetahui betul ail dan dakhil dalam tafsir, dan sebagainya. Dengan hal tersebut, para Muslim diharapkan agar tidak semena-mena dalam memahami Al-Quran.

Namun, apalah daya. Atas dasar semangat beragama yang terlampau menggebu, ta’aub (fanatisme) yang besar terhadap kelompok dan golongan, sebagian orang berani menerobos benteng suci demi memenuhi hawa nafsu dan pemahaman yang mereka kehendaki. Walhasil, terjadilah apa yang telah terjadi. Pembunuhan atas nama agama, perebutan kekuasaan demi cita-cita Khilafah Islamiyah yang palsu, dan pengafiran golongan yang tidak sama dengannya.

Nyala Api Menara
Menara tidak hanya dipergunakan untuk mengumandangkan azan. Ada fungsi lain yang menarik untuk ditilik.

Di sini, Syekh Usamah Al-Azhari memberikan 14 contoh ayat Al-Quran dan hadis Nabi yang menjadi rujukan utama mereka. Pertama, beliau menyebutkan satu ayat/hadis. Kedua, memaparkan pemahaman mereka. Dan ketiga, beliau menjawab pemahaman tersebut dengan pemahaman para mufasir dalam buku-buku mereka, penjelasan para pakar hadis, menjelaskan ayat dengan ayat, ayat dengan hadis dan sebagainya, tertuju kepada siapa ayat tersebut diturunkan, dan disertai dengan kaidah-kaidah dalam beberapa contoh.

Walakhir, semoga Allah senantiasa menjaga para ulama yang telah banyak berdedikasi kepada umat Islam dalam menjaga penafsiran dan pemahaman kitab suci Alquran. Sehingga, dengan hal tersebut umat Islam dapat terjaga dan tidak terjerumus dalam pemikiran ekstrem dan takfiri. Amin.


Baca juga artikel lain di rubrik TAKARIR atau tulisan menarik Amirul Mukminin