Meriahnya Maulid Nabi di Masjid Sayidina Al-Husain Mesir

Di Mesir ada sebuah ungkapan yang sudah tidak asing lagi didengar telinga dari masyarakat setempat yang selalu digaungkan oleh para guru besar di Al-Azhar, “Jikalau kita tidak gembira karena Rasulullah SAW, lalu karena siapa lagi kita bergembira?”. Ungkapan ini telah menyatu di hati masyarakat Mesir dari semua kalangan, baik tua maupun muda, pria dan wanita, alim ulama, bahkan orang awam sekalipun.

Bagi masyarakat Mesir, maulid nabi bukan hanya sekedar peringatan tahunan yang setelah peringatannya berlalu, mereka akan kembali melupakannya. Lebih dari itu, setiap hari bagi masyarakat Mesir adalah peringatan maulid Nabi.

Perayaan peringatan maulid Nabi di Mesir dimeriahkan dengan berbagai rangkaian acara. Seperti di Kota Kairo, sebelum adanya wabah Covid-19, maulid Nabi dirayakan semenjak tanggal 1 Rabiulawal, berjalan selama 12 hari hingga peringatan puncak Al-Lailah Al-Kubra pada 12 Rabiulawal. Masyarakat Mesir dari pelbagai daerah datang beserta keluarga dan rombongan demi merayakan maulid di Kota Kairo. Tenda-tenda kemah terpasang di setiap sudut jalan. Berbagai macam boneka mainan serta manisan dijual hingga di pinggiran jalan.

Keutamaan Menyambut Maulid dengan Gembira
Umat Islam dianjurkan bersenang hati menyongsong bulan maulid. Alim ulama dalam sejumlah kitab klasik menjabarkan keutamaannya.

Ketika memasuki hari puncak maulid, para masyarakat dengan dipimpin oleh para imam, guru besar Al-Azhar, serta pimpinan tokoh ulama sufi mengadakan pawai bersama yang dimulai dari Masjid Syekh Shalih Al-Ja’fari hingga berakhir di Masjid Sayidina Al-Husain. Jalanan di area yang dilalui barisan pawai ditutup saking banyaknya yang hadir dalam memeriahkan pawai tersebut. Semua tarekat muktabar yang berada di Mesir ikut mengisi barisan pawai, diiringi dengan nyanyian-nyanyian dan senandung selawat bersama-sama. Setelah pawai selesai, malam puncak maulid Nabi diisi dengan lautan manusia yang berkumpul di Masjid Imam Al-Husain yang berseberangan dengan Masjid Al-Azhar.

Melihat hal ini, timbul sebuah pertanyaan, “Mengapa mesti di Masjid Imam Al-Husain? Sesakral itukah tempat tersebut bagi masyarakat Mesir? Bukankah tempat mereka berkumpul terdapat perbedaan pendapat di kalangan sejarawan?”

Perbedaan pendapat di antar sejarawan sudah tidak berarti lagi bagi masyarakat Mesir. Pasalnya, selain memiliki dalil mutawatir dari mayoritas para ulama dan sejarawan yang meyakini bahwa kepala mulia Imam Al-Husain berada di Kota Kairo, bukan di Karbala, Damaskus, maupun Asqalan, mereka juga memiliki dalil berdasar penglihatan (musyahadah) yang terjadi pada abad 12 Hijriah silam.

Dalam kitab Al-‘Adl Asy-Syahid fi Tahqiq Al-Masyahid dalil itu disebutkan secara gamblang. Syahdan, Wali Negeri Mesir Abdurrahman Katkhuda ketika hendak merenovasi serta memperluas masjid dan masyhad Imam Al-Husain mendengar berita miring bahwa kepala mulia Imam Al-Husain belum pasti dikuburkan di dalamnya. Sebab mendengar hal tersebut, ia berkeinginan untuk membongkar makam dan menyuruh dua orang perwakilan dari ulama Al-Azhar yang adil, alim, lagi bijaksana untuk turun ke bawah melihat langsung. Yaitu Syekh Ahmad Al-Mallawi Al-Maliki dan Syekh Ahmad Al-Jauhari Asy-Syafii. Dua sosok yang sangat masyhur hingga saat ini, yang mana tidak ada silsilah keilmuan Islam saat ini, kecuali melewati sanad mereka berdua.

Perangkat Ilmu Bahasa Arab yang Wajib Dikuasai Dai
Apa jadinya jika seorang dai tidak menguasai bahasa Arab dan perangkatnya?

Walhasil, setelah turun ke bawah, mereka melihat langsung kepala mulia Imam Al-Husain terbungkus dalam sebuah kain dari sutra hijau, yang ditaruh dalam sebuah peti emas dan masih tercium bau misik, safron, dan wewangian yang semerbak. Syekh Al-Mallawi dan Al-Jauhari kembali naik ke atas dan memberitahukan hal tersebut kepada Abdurrahman Katkhuda. Mendengar jawaban tersebut, ia segera merenovasi masjid dan masyhad Imam Al-Husain dan mewakafkan segala keperluan masjid. Perhatian penuh itu berlangsung selama sang wali negeri itu hidup.

Semenjak hari bersejarah itu, masyarakat Mesir sampai hari ini sudah tidak pernah membahas keabsahan sosok yang dimakamkan di sana. Yang tersisa adalah rasa cinta dan sabda Baginda Nabi SAW, “Husain adalah bagian dariku, dan aku adalah bagian dari Husain. Dan semoga Allah senantiasa mencintai orang yang mencintai Husain.”


Baca juga artikel lain di rubrik BUDAYA atau tulisan menarik lain Amirul Mukminin