Skip to content

Mudahnya Mempelajari Ilmu Qiraat

Ilmu qiraat kerap dianggap rumit untuk dipelajari hingga peminatnya kian sedikit. Padahal ilmu ini tidaklah susah jika kita mau mulai mengenalnya.

FOTO: Ilustrasi mudahnya mempelajari qiraat 7 dan 10 (Haidan/Unsplash)
FOTO: Ilustrasi mudahnya mempelajari qiraat 7 dan 10 (Haidan/Unsplash)

Gaung “ilmu qiraat itu rumit” sepertinya sudah menyusup pada diri sebagian besar penuntut ilmu syariat dan para santri. Gaung yang menyebutnya ilmu rumit dan hanya sebatas qila wa qal ini telah menyebabkan minimnya peminat ilmu qiraat, terlebih ahlinya. Bagaimana tidak? Banyak dari kalangan santri beranggapan bahwa ilmu qiraat itu rumit dan untuk mempelajarinya membutuhkan waktu yang tidak singkat, sedang pengaplikasiannya di masyarakat sangat jarang dibutuhkan. Sehingga hal tersebut turut menjadi penyebab keengganan santri mempelajari qiraat. Jika terus berkelanjutan, maka akan menjadi kekhawatiran tersendiri bagi kelestarian ilmu qiraat di Nusantara.

Pelestarian ilmu qiraat sangatlah penting dilakukan. Dan itu hanya bisa dilakukan oleh para santri, penuntut ilmu agama. Sebab, jika rumitnya ilmu qiraat merupakan asumsi para santri, maka bagaimana dengan mereka yang bukan santri?

Menganggap rumit ilmu qiraat hanyalah asumsi tanpa dasar. Yang menjadi penyebab utama “kerumitan” itu tersemat dalam pikiran ialah rumus yang hanya terus dipikirkan tanpa dilanjutkan dengan mengambil langkah untuk mempelajarinya. Sehingga tanpa disadari asumsi “rumit” tersebut merasuk ke dalam hati hingga melahirkan keyakinan. Ya, keyakinan bahwa ilmu qiraat itu rumit mampu memberhentikan langkah untuk mempelajarinya.

Ath-Thayyib An-Najjar, Suri Teladan Guru Besar Tafsir Al-Azhar
Mengenal sosok alim ulama Al-Azhar bernama Syekh Ath-Thayyib An-Najjar. Guru besar tafsir dan anggota Dewan Ulama Senior Al-Azhar di era 50-an.

Ilmu qiraat tidaklah serumit asumsi di pikiran yang tanpa aksi. Untuk membuktikan hal ini, kita perlu mengenal salah satu ilmu keislaman ini terlebih dulu meskipun secara singkat. Apa itu ilmu qiraat? Apa saja pembahasan yang ada di dalamnya? Dan bagaimana rumus berikut praktik membacanya di dalam Al-Quran?

Mengenal Ilmu Qiraat dan Para Imamnya

Ilmu qiraat adalah ilmu yang membahas tentang tata cara para ulama (qurra') dalam membaca atau mengucapkan sebagian huruf-huruf Al-Quran, baik persamaannya maupun perbedaannya.

Adapun jumlah qiraat yang sampai kepada kita sampai saat ini ada 14 macam qiraat. Di antaranya 10 qiraat boleh diamalkan (dibaca) di dalam salat dan 4 sisanya hanya boleh dipelajari, tidak boleh diamalkan di dalam salat. Empat qiraat yang tidak boleh diamalkan di dalam salat inilah yang disebut dengan qira'ah syadzdzah.

Sementara sepuluh qiraat yang boleh dipelajari sekaligus diamalkan ini menyandang nama para imam.Masing-masing imam tersebut memiliki dua rawi (pembawa riwayat) sebagaimana berikut:

1. Imam Nafi’ Al-Madani memiliki rawi: Imam Qalun dan Imam Warsy

2. Imam Ibnu Katsir memiliki rawi: Imam Al-Bazzi dan Imam Qunbul

3. Imam Abu ‘Amr memiliki rawi: Imam Ad-Duri dan Imam As-Susi

4. Imam Ibnu Amir memiliki rawi: Imam Hisyam dan Imam Ibnu Dzakwan

5. Imam 'Ashim memiliki rawi: Imam Syu’bah dan Imam Hafsh

6. Imam Hamzah memiliki rawi: Imam Khalaf dan Imam Khallad

7. Imam Al-Kisai memiliki rawi: Imam Abu Al-Harits dan Imam Ad-Duri

8. Imam Abu Ja’far memiliki rawi: Imam Ibnu Wardan dan Imam Ibnu Jammaz

9. Imam Ya’qub memiliki rawi: Imam Ruwais dan Imam Rauh

10. Imam Khalaf (Al-‘Asyir) memiliki rawi: Imam Ishaq dan Imam Idris

Itulah nama sepuluh imam qurra’ beserta para rawinya. Jika dijumlahkan seluruhnya maka ada dua puluh riwayat. Setiap rawi itu pun memiliki riwayat (bacaan) yang berbeda-beda.

Adapun empat qiraat syadzdzah memiliki nama-nama imam sebagai berikut:
1. Ibnu Muhaishin
2. Yahya Al-Yazidi
3. Al-Hasan Al-Bashri
4. Al-A'masy

Inti atau pokok pembahasan dalam ilmu qiraat dibagi menjadi dua, yaitu: ushul dan farsy. Ushul adalah pembahasan kaidah setiap imam (rawi) seperti hukum mad dan qashr, idgham, hamzah, imalah, taqlil, dan lain-lain. Sebagai contoh: riwayat Qalun membaca mad munfashil dengan qashr (2 harakat) dan tawassuth (4 harakat), dan riwayat Warsy membaca mad munfashil juga mad muttashil dengan isyba’ (6 harakat). Contoh lain: Jika ada dua hamzah qath’i dalam satu kalimat, maka Madaniyyan (Qalun & Abu Ja’far) dan Bashri (Abu ‘Amr) membacanya dengan tashil (membunyikan suara antara hamzah dan alif) pada hamzah yang kedua.

Adapun farsy adalah perbedaan riwayat setiap imam pada suatu lafal atau kalimat di dalam Al-Quran. Misalnya seperti lafal وهو , Imam Qalun, Imam Abu ‘Amr, Imam Al-Kisai, dan Imam Abu Ja’far membacanya dengan mematikan (sukun) huruf ha’ menjadi wahwa, sementara imam yang lain membacanya dengan memberi harakat dhammah pada huruf ha' menjadi wahuwa. Contoh lain seperti lafal عليهم  , Imam Hamzah dan Imam Ya’qub membacanya dengan memberi harakat dhammah pada huruf ha’ sehingga berbunyi 'alaihum, dan selainnya membacanya dengan kasrah pada huruf ha’ sehingga berbunyi 'alaihim.

Setelah mengetahui  macam qiraat beserta imamnya secara runtut, juga memahami pembahasan yang ada di dalamnya, hal penting lain yang harus diketahui adalah rumusnya. Nah, sebelum membahas rumus, maka kita perlu sedikit mengenal pencetusnya. Beliau adalah seorang penyandang tunanetra yang dikenal sebagai salah satu Nabih Al-Azhar (Yang Cemerlang dari Al-Azhar). Beliaulah Imam Asy-Syathibi rahimahullah.

Nama lengkapnya adalah Abu Muhammad Al-Qasim bin Fairuh bin Abi Al-Qasim Khalaf bin Ahmad Ar-Ru’aini Asy-Syathibi. Dilahirkan di Syathibah, Andalusia pada tahun 538 H. Asy-Syathibi kecil menimba ilmu kepada banyak ulama besar Negeri Andalusia. Kepada gurunya, Syekh Abu Abdillah Muhammad bin Abi Al-‘Ash An-Nafari ia mempelajari ilmu qiraat. Kemudian pergi ke Valencia, ia menyetorkan hafalannya atas kitab At-Taisir karya Abu 'Amr Ad-Dani dan menyetorkan qiraat kepada Imam Ibnu Hudzail. Ia juga mempelajari hadis kepadanya.

Sejarawan Ibnu Khallikan di dalam bukunya Wafayat Al-A’yan menggambarkan sosoknya dengan pernyataan, “Asy-Syathibi adalah seorang yang alim dalam ilmu Al-Quran dari segi qiraat juga tafsirnya, alim dalam ilmu hadis. Jika dibacakan kepadanya Shahih Al-Bukhari, Shahih Muslim, dan Al-Muwaththa’ ia mampu membetulkan hadis-hadis yang sudah di-nasakh (dihapus) dengan hafalannya. Ia juga merupakan alim nahwu dan ilmu bahasa, ahli tafsir mimpi, ikhlas dalam berucap dan beramal, membaca Al-Quran dengan riwayat, dan aku mengetahui banyak murid-muridnya di Mesir”.

Perangkat Ilmu Bahasa Arab yang Wajib Dikuasai Dai
Apa jadinya jika seorang dai tidak menguasai bahasa Arab dan perangkatnya?

Penguasaannya terhadap ilmu qiraat terbukti dengan masterpiece-nya berjudul Hirz Al-Amani wa Wajh At-Tahani yang sering disebut dengan Matan Asy-Syathibiyyah. Di dalamnya, Asy-Syathibi membahas kaidah tujuh macam qiraat (al-qira’at as-sab’ah) dari Surah Al-Fatihah sampai Surah An-Nas.

Ia menuliskan kitab matan itu dengan cara membuat rumus-rumus yang disarikan dari para imam qurra’ yang terdiri dari rumus infirad dan ijtima’ untuk mempermudah siapa saja yang hendak mempelajarinya. Rumus ini terdiri dari huruf-huruf abjadiah yang setiap hurufnya mengandung nama imam qurra’ atau rawi. Rumus infirad terkumpul dalam kalimat:

أَبَجْ دَهَزْ حُطِّيْ كَلِمْ نَصَعْ فَضَقْ رَسَتْ

Huruf hamzah adalah Imam Nafi’, huruf ba’ adalah Imam Qalun, huruf Jim adalah Imam Warsy, dan begitu seterusnya berurutan sampai Imam Ad-Duri Al-Kisai (rawi dari Imam Al-Kisai) berakhir pada huruf ta'.

Adapun rumus ijtima’, yaitu seperti صحبة  maksudnya adalah Imam Hamzah, Al-Kisai, dan Syu’bah. سما maksudnya adalah Imam Nafi’, Ibnu Katsir, dan Abu ‘Amr. عم  adalah Imam Nafi’ dan Ibnu Amir. Dan lain-lain.

Rumus infirad dan ijtima’ di atas adalah yang terdapat dalam Matan Asy-Syathibiyah. Adapun tiga imam qiraat lainnya dibahas dalam kitab Ad-Durrah Al-Mudhi’ah fi Al-Qira'at Ats-Tsalats Al-Mardhiyyah karya Ibnu Al-Jazari sebagai pelengkap dari tujuh qiraat menjadi sepuluh.

Mudahnya Membaca Al-Quran dengan 10 Qiraat

Untuk sekadar  bisa membaca Al-Quran dengan tujuh atau sepuluh qiraat, sebenarnya tidak mesti memahami rumus tersebut terlebih dulu. Cukup dengan memahami kaidah setiap imam, mengetahui letak farsy al-huruf, dan urutan nama imamnya maka membaca Al-Quran dengan qira’at sab’ah (tujuh) atau ’asyrah (sepuluh) sudah bisa dipraktikkan. Apalagi dengan adanya mushaf qira’at asyrah, saat ini mempelajari qiraat sudah semakin mudah. Kemudahan tersebut diharapkan dapat memikat para santri untuk mempelajarinya. Sehingga ilmu qiraat tetap lestari sampai generasi-generasi mendatang.

Namun, seorang yang mempelajari qiraat hendaknya mempunyai bekal hafalan serta pemahaman yang baik atas Matan Asy-Syathibiyah untuk sab’ah dan ditambah Ad-Durrah Al-Mudhi’ah untuk ’asyrah. Paham dan hafal kedua matan tersebut mampu menghindarkan pelajar dari kesalahan atau ketertukaran antar riwayat satu dengan yang lainnya. Maka, rasanya kurang afdal jika seorang yang mempelajari qiraat tidak menghafal dan memahami kedua matan tersebut. Wallahu waliyyuttaufiiq.


Baca juga artikel lain di rubrik ISLAMUNA atau tulisan menarik Hafidzah Assa'adah

Latest