Nyala Api Menara

Di Mesir, khususnya di kota tua Kairo terdapat banyak sekali masjid bersejarah dari berbagai masa. Dari era Fatimi, Ayyubi, Mamalik, hingga Utsmani, dan Mesir Modern. Jika kita menjelajahinya, rasa-rasanya hitungan hari, bulan, atau bahkan tahun pun akan kurang untuk menamatkannya.

Keindahan masjid-masjid bersejarah itu tak lepas dari majunya arsitektur Islam pada masa-masa itu. Pada setiap masa mempunyai kekhasannya. Pada setiap bagian bangunan masjid pun memiliki istilahnya tersendiri. Selain estetis, ia juga mempunyai fungsinya tersendiri. Menara misalnya.

Tulisan kali ini membahas sekilas tentang menara. Apakah menara sebatas untuk kumandang azan?

Menurut pakar arkeologi Islam Dr. Khalid ‘Azb, seruan azan sudah dikenal bahkan sebelum Islam datang. Seiring berjalannya waktu, kumandang azan mempunyai peran yang lebih terbatas yakni untuk panggilan beribadah. Sedangkan mi’żanah (dari zaman Nabi Saw.) menurutnya bermula dari atap rumah seorang perempuan dari Bani an-Najjar di Madinah Al-Munawwarah.

Sahabat Bilal bin Rabah mengumandangkan azan di atas atap-rumah bangunan yang tertinggi di sekitaran masjid. Seperti lazimnya istilah yang memiliki mafhumnya tersendiri pada setiap zaman, mi’żanah yang masih sebatas atap rumah tertinggi saat itu disebut dengan istilah al-Mittmar (المطمار). Dalam istilah lain juga dikenal dengan nama as-Showma’ah (الصومعة), az-Zawra’ (الزوراء), atau seperti yang sudah diserap dalam bahasa Indonesia menara dari al-Manarah (المنارة).

Menara memiliki fungsi yang tidak sebatas tempat mengumandangkan azan. Secara bahasa kata menara dalam bahasa Arab ialah tempat cahaya. Di Kairo misalnya kita masih bisa melihat sisa-sisa gantungan di ujung menara untuk meletakkan lampu (api). Beberapa lampu yang digantung akan dipadamkan sebagai pertanda fajar akan datang atau waktu imsak hendak menjelang. Dr. Khalid dalam bukunya Fiqh Al-‘Umran: Al-‘Imarah wa Al-Mujtama’ wa Ad-Daulah fi Al-Hadarah Al-Islamiyyah juga menambahkan adanya fungsi lain dari menara seperti fungsi alarm penanda bahaya bahwa ancaman musuh sedang dalam perjalanan. Penduduk akan melihat sinyal-api pertanda bahaya dari atas menara.

Sinergi Umara dan Ulama di Masa Pandemi
Corona kian menggila, para umara, ulama, dan tokoh-tokoh publik dituntut harus lebih berperan dalam menetralisir kekhawatiran umat.

Namun, temuan yang tak kalah menarik adalah adanya kecerdasan arsitektur yang diselimuti hiasan di menara-menara tua. Para muazin zaman dahulu lazimnya adalah penyandang difabel, tunanetra. Hal itu tak lepas dari maksud bahwa pemilihan orang tunanetra lebih mampu menjaga kehormatan privasi penduduk sekitar.

Dari situlah bangunan menara pun dirancang dengan tangga mengular, spiral. Bagi orang yang tidak buta, tentu rancangan seperti itu akan membuat pusing saat ia naik. Tapi akan sangat membantu bagi mereka para tunanetra, penyandang difabel.

Tim muazin dahulu kala juga dilengkapi dengan ahli ilmu perhitungan waktu. Oleh sebab itu, kita kan temukan sebagian kitab ilmu hisab yg ditulis oleh muazin.

Jika dahulu masyarakat Islam begitu memulyakan penyandang difabel, menghormati privasi masyarakat sekeliling masjid, mengutamakan profesionalitas, juga tak mengesampingkan estetika dalam banyak hal, lantas bagaimana masyarakat Muslim dan budaya keislaman hari-hari ini?


Baca juga artikel lain di rubrik BUDAYA atau tulisan menarik Mu'hid Rahman